Tiada Maaf bagi Trumpkim
Gestur tubuh Kim juga amat ”presiden”. Tidak sedikit pun canggung. Padahal ia lagi tampil di puncak panggung dunia. Bersama presiden dari negara paling jaya di dunia.
Meski hari ini lebaran dan harusnya bermaaf-maafan, tapi tiada maaf bagi Trump dan Kim.
Potongan rambut mereka mengecewakan para penata rambut sedunia.
Ahli-ahli tata rambut tentu menangis melihat gaya rambut mereka berdua. Tidak jelas potongan gaya apa itu. Seperti gak mampu ke salon saja. Padahal mereka berdua lagi menarik perhatian. Lagi sengaja berusaha menarik perhatian.
Tapi seberapa besar pun Trump ingin lebih menonjol Kimlah yang ditakdirkan lebih menonjol.
Seberapa mahal pun penata rambut Trump, potongan rambut Kimlah yang lebih menarik perhatian. Setidaknya potongan rambut Kim mengingatkan pada gaya rambut kakeknya: Kim Il-sung. Pendiri Korut. Sahabat Bung Karno.
Tapi yang bikin tokoh dunia kagum pada Kim Jong-un: kemampuan gesturnya. Ia bisa tampil ”sangat presiden”. Padahal ia sangat muda: umurnya separonya Trump. Padahal negaranya kecil: separonya semenanjung Korea yang mungil. Padahal rakyatnya amat miskin: separonya kemiskinan negerinya ‘Pia Palen’.
Kim juga sama sekali tidak canggung saat menyapa Trump dalam bahasa Inggris: ”Nice to meet you Mr President.” Dengan logat yang baik. Natural. Dan seperti bukan hasil sebuah latihan.
Gestur tubuh Kim juga amat ”presiden”. Tidak sedikit pun canggung. Padahal ia lagi tampil di puncak panggung dunia. Bersama presiden dari negara paling jaya di dunia.
Saat ia menganggukkan kepala, anggukannya sempurna. Momen kapan ia mengangguk juga pas. Saat ia tersenyum kecil juga tampak sekali senyuman presidennya.
Misalnya saat berjalan-jalan bersama Trump setelah makan siang itu: Trump berhenti sebentar di depan kerumunan wartawan dunia. Berpose untuk difoto. Dengan Kim di sebelahnya. Saat Trump bercanda apakah wartawan sudah dapat pose terbaik Kim masih cool. Lebih cool dari Trump.
Saat Trump bercanda apakah fotonya nanti bisa membuat mereka berdua terlihat lebih langsing barulah Kim tersenyum. Senyuman yang lebih kuat. Tapi tetap sebatas senyuman presiden. Lepas tapi natural. Cukup lebar tapi terkontrol.
Dari mana Kim latihan menjadi pemilik gestur presiden seperti itu?
Padahal, sebelum itu, pengalamannya bertemu presiden belum banyak. Baru dua: Xi Jinping dari Tiongkok dan presiden tetangganya sendiri.
Pengalamannya naik pesawat kepresidenan juga belum ada. Sekali naik pesawat kecil sekali saat ke kota Dalian bertemu Xi Jinping yang kedua kalinya. Lalu naik pesawat besar milik Tiongkok, ke Singapura itu.
Saat pertama ketemu Xi Jinping pun gestur Kim sudah sangat presiden. Biar pun kedatangannya hanya dengan naik kereta api. Pun saat bertemu presiden Korsel di perbatasan itu Kim juga sudah sangat presiden.
Kim pun tidak ragu menyentuh punggung Trump saat minta Trump berjalan sedikit lebih di depannya. Sebagai hormat yang wajar dari seseorang yang lebih muda.
Kim juga tiba di tempat summit 6 menit lebih dulu. Dengan penjelasan yang sangat simpatik: adat kami mengharuskan yang muda harus tiba lebih awal.
Kim juga tahu bagaimana merebut hati publik. Tiba-tiba saja ia keluar malam-malam di Singapura. Menjelang summit itu. Ia ke Marina Bay yang ramai. Naik pula ke lantai 50. Melihat seluruh Singapura dari atas. Menyapa masyarakat dari kejauhan.
Kim seperti sedang belanja ide: akan diapakan Korut nanti setelah tidak dalam keadaan perang. Seperti sedang memimpikan sesuatu untuk negerinya.
Singkatnya: Kimlah yang memenangkan opini dunia. Bukan Trump. Sebuah pelajaran public relations yang sempurna. (dis)