The Show Must Go Down
Susilo Nugroho Den Baguse Ngarso bermain kuat sekali. Saat berperan menjadi Pak RT. Sedang menasehati warganya yang bandel kelayapan dengan sepeda tak pakai masker.
Adegan itu muncul dalam video layanan masyarakat yang dikeluarkan Dinas Komunikasi dan Informasi Daerah Istimewa Yogyakarta. Judulnya Ojok Sembrono. Viral di media sosial beberapa pekan.
Di Surabaya juga sedang viral video rekaman Walikota Surabaya Tri Risma Harini blusukan kampung. Dibonceng sepeda motor. Dengan megaphone ia mengimbau warganya selalu pakai masker, cuci tangan pakai sabun, dan hidup bersih.
Yah, dua video dengan konten pesan yang sama beredar luas di media sosial. Kampanye pakai masker dan tatanan hidup New Normal. Hanya yang satu digarap dengan serius. Satunya digarap kurang serius.
Video dari Yogyakarta dibuat dengan skenario matang. Juga menggunakan aktor seniman sungguhan. Susilo Den Baguse Ngarso dan Broto Wijayanto. Keduanya seniman teater Gandrik.
Video viral dari Surabaya menggunakan aktor tunggal walikota. Digarap amatiran. Lebih tepatnya bukan video. Tapi gambar dokumentasi walikota Surabaya saat turun ke lapangan.
Pemprov DIY memang gencar kampanye menuju New Normal. Tidak hanya dilakukan Dinas Kominfo. Tapi juga dinas lainnya. Pesan New Normal sesuai nomenklaturnya.
Susilo mengaku sudah membuat video layanan masyarakat beberapa episode. Selain Ojo Sembrono, ia sudah melakonkan episode kampanye terkait Covid. Judulnya Tepo Seliro, Lebaran Online, Gereja Kota Baru, dan masih banyak lagi.
Pemerintah Surabaya saat mengakhiri PSBB juga menugasi dinas-dinas untuk melakukan kampanye pencegahan Covid. Tapi fokusnya, sesuai arahan walikota, berdiskusi dengan kalangan kampus dan warga tentang tema itu. Menggunakan media dialog.
Seberapa efektif dua model kampenye pencegahan Covid ini? Masih perlu ada studi khusus. Yang sudah bisa dideteksi, kasus Covid di Yogyakarta jauh lebih terkendali dibandingkan dengan Surabaya.
Tentu sukses mengendalikan penyebaran Covid-19 di Yogyakarta bukan hanya karena hasil kampanye lewat media sosial. Struktur sosial-budaya, basis sosial kepemimpinan yang sangat kuat dan karakter warganya ikut andil semua.
Kebijakan komunikasi publik seperti kampanye Covid memang sudah seharusnya memperhatikan banyak hal. Apa pesan yang hendak disampaikan, siapa penyampainya, dan target akhir apa yang hendak dicapai.
Target pencapaian setiap strategi kampanye di Yogyakarta tampak jelas. Bagiamana warga sadar tentang bahaya virus Corona. Dengan kesadaran itu, mereka diharapkan secara sukarela mematuhi protokol kesehatan.
Berbagai pesan kampanye perang melawan Covid di Surabaya ada kekaburan target. Antara memahamkan warga tentang wabah Corona dengan target untuk menyampaikan kinerja pemerintahan dalam isu yang sama.
Dobel target ini mengakibatkan kekaburan pesan yang ingin disampaikan. Apalagi diikuti dengan suasana kontestasi antar pemimpin daerah di sini. Malah media sosial resmi pun menjadi bagian dari kontestasi ini.
Situasi krisis tak hanya membutuhkan kerja keras untuk mengatasinya. Tapi juga strategi untuk menyamakan langkah antar semua elemen dalam masyarakat. Strategi komunikasi yang jitu menjadi instrumen penting untuk mencapainya.
Covid-19 tentu bukan hanya persoalan bagaimana pemerintah mengatasinya. Tapi bagaimana menjadikan kesadaran warga secara bersama-sama untuk menghindarinya. Caranya dengan mematuhi protokol kesehatan.
Selain berhasil membangun kesadaran bersama melalui strategi komunikasi pencegahan Covid yang kreatif, Yogyakarta tidak ada kontestasi politik. Apalagi antar pemimpin daerah.
Menariknya, meski Gubernur sekaligus Raja Yogyakarta sangat dominan, ia tidak memonopoli pesan-pesan kampanye sosial. Media komunikasi yang dibikin orang lain pun malah mengukuhkan posisinya.
"Ngerso nDalem ngendiko. Dawuh karo masyarakat. ....Jogja iki memilih ora kesusu. Tidak tergesa-gesa menerapkan new normal," kata Pak RT menirukan ucapan Sultan Hamengkubuwono X.
Hanya sekali Raja Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat yang juga Gubernur DIY itu bersuara. Ketika titik nol di Yogyakarta dipenuhi pesepeda di tengah ancaman pandemi Covid yang tinggi.
Sultan mengancam akan menutup dan membubarkan kerumunan. Kapan saja dan di mana saja. Warga pun patuh. Setelah itu tak ada kerumunan pesepeda lagi.
Selebihnya, pemerintah DIY memilih banyak menggunakan influencer seniman seperti Susilo Den Baguse Ngarso. Juga para seniman lain dalam format kampanye yang berbeda-beda.
Di Surabaya, pesan resmi pemerintah terkaburkan dengan perdebatan cara dalam mengatasi Covid. Malah tergelincir pada saling balas dan sindir antar pemimpin daerah yang kebetulan semua perempuan.
Malah, selama PSBB Surabaya Raya yang berlangsung sampai 3 jilid, konten media mainstream maupun sosial didominasi isu perselisihan gubernur dan walikota. Subtansi penanganan Covid menjadi tenggelam karenanya.
Sebenarnya tidak hanya Surabaya yang gagap dalam memilih strategi komunikasi publik penanganan Covid-19. Pemerintah pusat juga mengalaminya di awal pandemi.
Dua pesan saling tumpang tindih disampaikan ke publik. Antara pesan penyelamatan nyawa rakyat dari Covid dan pesan penyelamatan ekonomi. Tapi kesalahan itu segera diperbaiki.
Setiap level pemerintah masih harus banyak membenahi komunikasi publik soal Covid. Apalagi saat warga makin tak sabar untuk memasuki kehidupan kembali yang normal.
Saya jadi teringat lirik lagu Queen The Show Must Go On. Lagu terakhir yang dinyanyikan Freddy Mercury. Kehidupan harus tetap berjalan. Dalam hati yang Hancur. Riasan yang mungkin terkelupas.
Krisis akibat pandemi ini pun membuat para pengambil kebijakan berada dalam situasi kebatinan seperti lirik lagu itu. Yang dinyanyikan Freddy dengan sepenuh hati. Enam bulan sebelum dia meninggal karena AIDS.
Hanya saja, dalam krisis pandemi Covid ini, pengambil kebijakan bisa tergelincir karena tak tepat memilih strategi komunikasi. Ikut terjerembab dalam krisis.
Maksud hati ingin segalanya tetap berlanjut: Show Must Go On. Yang didapat malah Show Must Go Down. Pertunjukan harus turun. Tergelincir dan terpuruk.
Maunya tetap terbang tinggi dengan isu pandemi Covid. Tapi yang didapat justru terjerembab jatuh dari citra baik yang telah dibangunnya.
Ndelosor.