The Queen
Oleh: Himawan Bayu Patriadi, PhD.
Dosen HI Universitas Jember dan Taiwan’s MoFA research fellow di Wenzao Ursuline University.
----------------
Jumat dini hari, saat browsing, saya mendapati mangkatnya Ratu Elizabeth II menjadi headlines media terkemuka dunia. Jauh dari Kastil Balmoral di Aberdeen, Skotlandia, kabar duka itu menyebar. Sontak saya memprediksi akan terjadi gelombang penghormatan, simpati, dan empati yang luas terhadap tokoh besar ini. Alasannya sederhana, melalui takhtanya, sang Ratu pernah memerintah 32 negara berdaulat. Pada saat meninggalnya Beliau masih menjadi Ratu dari 15 negara. Tak pelak, sesaat kemudian, ucapan bela sungkawa mengalir dari seluruh dunia. Bukan hanya kalangan petinggi negara yang bersuara, tapi tokoh dengan berbagai latar belakang juga ikut menyatakan rasa duka.
Mungkin ada yang heran begitu besarnya atensi dunia atas mangkatnya sang Ratu. Meski sebagai kepala negara, Beliau toh bukan kepala pemerintahan. Dalam tatanan monarki konstitusional Inggris, posisinya memang above day-to-day politics, tanpa kuasa untuk mengeksekusi sebuah kebijakan negara. Perannya lebih pada fungsi simbolis , khususnya dalam menjalankan tugas seremonial kenegaraan. Jadi, apa signifikansi politiknya?
Dalam wawancara live dengan CNN Sabtu siang kemarin, muncul pertanyaan serupa. Bagaimana menjelaskan peranan sang Ratu dalam diplomasi negaranya? Saya menjawab, memang akan sulit memahami peran sang Ratu, bahkan bisa tersesat, jika menempatkannya dalam kerangka politik praktis, karena tempat semacam itu memang bukan maqom-nya. Secara konseptual pertanyaan semacam ini, tanpa sadar, berangkat dari asumsi Realis. Perspektif ini dalam referensi diplomasinya menempatkan negara sebagai aktor utama.
Siapa pun sosok yang menjadi representasi negara secara imperatif dituntut mampu untuk melakukan persuasi agresif dengan cara tawar menawar (bargaining). Kalau perlu, dalam bargaining dia bisa memanfaatkan ‘kekuatan keras’ (hard power)-nya, seperti kekuatan ekonomi dan militer.
Namun, dengan posisi yang dimiliki, bukan berarti tidak ada lagi ruang diplomasi bagi sang Ratu. Perspektif ‘kekuatan lunak’ (soft power) justru menempatkan perannya dalam posisi strategis. Berbeda dengan perspektif Realisme, diplomasi soft power justru menuntut sosok representasi negara menampilkan identitas dengan misi branding.
Strateginya tidak dengan metode yang agresif dan menekan, melainkan melalui cara-cara atraktif untuk merebut hati dan mempengaruhi pikiran sang ‘lawan’. Di sini, secara umum, fokus dan target diplomasi adalah menyentuh ‘emosi’ publik (emotionalized publics).
Sang Ratu dengan monarki-nya merupakan representasi soft power utama Britania Raya. Selama lebih dari 70 tahun duduk dalam takhtanya, atas permintaan pemerintah Inggris, beliau telah mengunjungi lebih dari 100 negara.
Sementara sebagai tuan rumah, juga telah menyambut banyak pemimpin dunia, duta besar, dan anggota komunitas diplomatik lainnya. Setiap tahun, sang Ratu bahkan menyelenggarakan resepsi diplomatik, mengundang lebih dari 500 anggota korps diplomatik di Istana Buckingham.
Di balik audiensi ini, buka persuasi yang utama, melainkan sikap (gesture) dan nilai (values) yang mengemuka. Keanggunan penampilan tatanan monarki tak pelak menjadi elemen atraksi, bahkan glorifikasi, Britania Raya; yang pada gilirannya dapat menyentuh hati sekaligus menarik simpati para mitra.
Yang tak kalah menarik, ribuan pen-takziah dari berbagai kalangan dan lintas generasi datang setiap hari. Dengan berbagai ekspresi emosi, disertai untaian bunga dan lembar ucapan duka berjajar rapi di depan Windsor Castle maupun istana Buckingham.
Fenomena ini tak sendiri. Tahun 2016, di Thailand, mangkatnya Raja Bhumibol Adulyadej (1927-2016), yang juga memerintah selama lebih dari 70 tahun; telah mengundang ribuan rakyatnya berkumpul di depan istana utama Phra Borom Maha Ratcha Wan. Dengan memegang simbol kerajaan dan memeluk foto sang Raja, tidak jarang orang yang menangis meratapi kepergiannya. Bahkan, sekian bulan setelah pemakamannya, saya berjumpa dengan seorang kolega dosen asal Thailand dengan pita hitam masih bertengger di bahunya.
Begitu-pun juga di Yogyakarta. Pemakaman Sri Sultan Hamengkubuwono IX tak kalah fenomenalnya. Selo Soemardjan menggambarkannya: “Pada kematiannya pada tahun 1988, ia dihormati dengan parade terbesar Indonesia zaman modern. Selama enam belas jam lit-de-corps, ratusan ribu orang melakukan perjalanan ke Keraton Hadiningrat di pusat kota untuk memberikan penghormatan terakhir mereka. Dalam prosesi enam jam, lebih dari satu juta orang mengiringinya ke makam kerajaan di Imogiri”.
Fenomena ini sempat mengubah sikap seorang sahabat. Dia seorang mahasiswa filsafat yang cukup kritis terhadap apa pun yang dianggapnya tidak substantif. Eksistensi sebuah monarki juga tak lepas dari ujung tajam kritismenya. Baginya, yang simbolis bukanlah sesuatu yang substantif. Tapi, kehadiran fenomenal ribuan orang di saat pemakaman Sultan telah menggetarkan hatinya, sekaligus meluluh-lantakan pandangan keras substantifnya.
Pertanyaannya, apa di balik fenomena London, Bangkok, dan Yogyakarta? Mengapa ribuan orang secara emosional memberikan tribute pada Ratu dan Raja yang mangkat? Salah satu aspek sosial yang mana setiap orang tahu, tapi cenderung kurang memedulikannya adalah budaya. Kultur di sini, menurut Clifford Geertz (1973), bukanlah adat atau pemujaan; melainkan struktur makna (structure of meaning) yang membentuk pengalaman mereka terhadap setiap subyek, apa pun namanya. Sosok pemimpin, baik Ratu, Raja, ataupun Presiden; maupun bentuk pemerintahan, apakah itu monarki atau republik; bukanlah sekedar posisi dan konsep yang ‘mati’.
Semua itu bisa menjadi sesuatu yang ‘hidup’, karena dimaknai sebagai bagian dari identitas diri yang membuat orang merasa nyaman di dalamnya. Sikap pada kematian seseorang, baik itu susah dengan iringan doa maupun keramahan dengan untaian bunga, merupakan ekspresi dari makna yang disematkan.
Namun, pemaknaan tak bebas dari kontestasi. Guna menghormati pada sang Ratu, video BBC News Africa, menayangkan video bertajuk “Queen Elizabeth II's longstanding relationship with Africa”. Tapi, ada yang memaknainya secara berbeda. Akun Twitter @sifanelepotwana menampiknya dengan mengatakan: “Jangan rebranding kolonialisme dengan hubungan yang lama dengan Afrika”. Maklum, Afrika merupakan benua paling lama yang sebagian dari wilayahnya menjadi jajahan Inggris. Kenya, misalnya, tercatat sebagai bagian negara jajahan yang baru merdeka pada tahun 1963. Memang, kurang elok memberikan narasi negatif menyangkut kematian seseorang. Tapi, terlepas dari masalah etika ini, kontestasi makna akan terus berbunyi.
Ratu Elizabeth bukannya tak sadar akan kontestasi makna ini. Sejarah membuktikan, bahwa di ranah domestik-pun, Beliau senantiasa berjuang mempertahankan martabat monarki seiring debat publik yang terus berlanjut, menyangkut apakah institusinya tetap memiliki relevansi. Perjuangannya untuk mempertahankan citra baik dan relevansi monarki ini pun mempunyai makna tersendiri bagi rakyatnya. Rest in Peace, Queen Elizabeth II …!