The Next Ludruk Garingan, Dulu ada Markeso Sekarang Muncul Mbah Markun
MOJOKERTO : Dulu ada Ludruk Garingan, pelakunya pun melegenda, Cak Markeso namanya. Gaya meludruknya ada yang bilang Garingan, ada juga yang mengatakan Ontang-Anting. Belakangan nama Garingan lebih ngetop ketimbang Ontang-Anting. Pasalnya, terasa lebih pas dengan gaya dialek Suroboyoan.
Lama tak terdengar kabarnya, konon Cak Markeso yang warga Putat Jaya, Surabaya, sudah meninggal dunia. Ludruk Garingan yang dipopulerkannya pun lenyap seiring ketiadaan Cak Markeso. Sementara, tak ada pelaku alias penerus gaya Ludruk Garingan ala Merkeso ini.
Jejak Ludruk Garingan, setelah sekian lama tak terdengar lagi beritanya, tahu-tahu, siang ini, 26 Oktober 2017, muncul ke permukaan. Ngopibareng.id menjumpainya di atas bus antarkota dalam provinsi. Tidak seperti Cak Markeso yang keliling blusukan kampung agar ditanggap dengan upah beberapa rupiah, dia lebih enjoy di atas bus dan bergelantungan di sela sesaknya penumpang bus.
Dalam salam pembukanya, sang pelaku uluk salam dengan memperkenal diri sebagai Ludruk Ontang Anting. Dia tak menyebutnya sebagai Ludruk Garingan, seperti yang diperkenal oleh Markeso. Sang ludruk di bus kota itu menyebut dirinya sebagai Mbah Markun.
"Markun itu Margone Rukun," kata dia dengan jenaka. "Markun itu seperti orang bebojoan, selalu rukun meski sandang pangan mpot-mpotan."
Markun mengaku tak punya hubungan apa-apa dengan Markeso, juga bukan sebagai penerus Ludruk Garingan yang pernah dipopulerkan Cak Markeso. Selama ini dia ontang-anting sendirian, dan cari sandang pangan sendirian. Markun juga mengaku tak kenal dengan sang maestro, Markeso.
Beda Markeso beda Markun. Beda ludruk garingan beda pula ludruk ontang-anting si Markun. Paling kasat mata: Markeso selalu keliling kampung, menyusuri gang-gang Kota Surabaya. Necis memakai batik, disambung dengan jas safari kutungan tanpa lengan, memakai sepatu big boss mengkilat, kacamata rayband, dan sarung melilit dipinggang dengan kopiah hitam blawuk di kepala.
Sementara Markun tidak menyusuri gang-gang sempit melainkan naik bus AKDP (Antar Kota Dalam Provinsi). Naik dari pinggiran Jombang dan turun setelah pinggiran Mojokerto, dan sebaliknya. Markun memakai dadanan ludruk, plus riasan wajah khas pemain ludruk. Nampak gagang keris palsu terselip di pinggang yang dililit stagen dan jarik.
Cak Markeso minta ditanggap dengan upah setengah jam, sejam, dan seterusnya. Mbah Markun wis pokoke show dengan strategi ngamen. Dikasih oke gak diberi ya jalan. Recehan alhamdulilah kertas ungu dan biru wasyukurilah. "Rejeki itu ada yang atur," kata dia pasrah.
Suara Markun melengking membahana mengatasi riuhnya mesin dan klakson bus AKDP dengan Jula Julinya yang asyik. Jula Juli Jombang-Suroboyo. "Campuran," kata Markun kenes.
Itulah bentuk kesenian yang dilakoninya. Penting bisa melestarikan kesenian Ludruk daripada berpangku tangan. Lengkingan suara Markun tidak seperti Markeso yang dipadu dengan suara kendang dan gamelan dari mulutnya sebagai sampakannya. Markun sang Margo Rukun itu hanya mengalir Juli Juli asyik dari mulutnya tanpa riuhan musik dari made in mulut.
"Ojo sok nyepelekno wong lanang dulur, wong lanang iku rekoso. Golek sandang pangan, gawe keluarga. Semono uga wong lanang dulur ojo sok nyepelekne wanita, sebab wanita dulur panggone paling wani nitip senjata," lengking Jula Juli Markun beraroma seksualitas dengan sedikit semprotan ludah seperti datang gerimis. (idi)
Advertisement