Thaha Hussein, Kontroversi Pemikiran, dan Tangkisan Al-Banna
Oleh: Ady Amar
Keterbatasan fisik tidak membuatnya pasrah pada nasib. Keterbatasan ekonomi keluarga pun tidak menyurutkan kemauan untuk mengenyam pendidikan.
Thaha Hussein (1889-1973), memiliki keterbatasan fisik. Kedua matanya tidak dapat melihat. Buta permanen saat usianya 2-3 tahun. Petugas kesehatan, kala itu, kurang terampil memberikan obat, dan itu tragis.
Thaha Hussein, anak ketiga dari tujuh bersaudara (ada pula sumber yang mengatakan, anak ketujuh dari tigabelas bersaudara), dari keluarga sangat sederhana. Ayahnya seorang petani, yang memiliki lahan dengan luas tidak seberapa.
Namun, keterbatasan fisik dan ekonomi keluarga tidak lantas menyurutkan Thaha untuk menimba ilmu. Dia mengenyam pendidikan sampai setingkat SMA di dusunnya, Izbet el Kilo, sebuah dusun kecil, di provinsi Minya, di bagian Selatan Mesir.
Selanjutnya, Thaha masuk Universitas Al-Azhar. Mengambil jurusan Bahasa dan Sastra Arab. Thaha, tidak merasa nyaman di Al-Azhar, yang dianggapnya tidak mengembangkan metode kritisisme, lalu dia melanjutkan jenjang berikutnya di Universitas Cairo (1908). Sampai dia mendapatkan gelar Ph.D. (1914), dengan disertasi "Membahas Penyair dan Filsuf Abu Al-Ma'arri".
Setelah itu, Thaha Hussein, atas biaya Cairo University, melanjutkan pendidikannya di Prancis. Dimulai dari University of Montpeller, dan di kampus ini ia berkenalan dengan perempuan asli Prancis, Suzanne Bresseu, yang usianya dua tahun lebih tua darinya, yang amat mengerti akan kondisinya dan menerima dirinya apa adanya. Ia pun kemudian mempersuntingnya. Memiliki 2 anak, Aminah Hussein dan Moenis Hussein.
Setelah mendapat gelar MA, Thaha melanjutkan ke Sorbonne University. Dan di sinilah Thaha Hussein mendapat Ph.D. untuk kedua kalinya. Disertasinya tentang "Pemikiran Ibnu Khaldun".
Pengakuannya, ada tiga orang yang diidolakan dan amat mempengaruhi karya-karyanya: Abu Al-Ma'arri, Ibnu Khaldun, dan Rene Descartes.
Dua tahun kemudian, tepatnya 1919, Thaha balik ke Mesir dengan memboyong keluarganya. Dan lalu, sepasang suami-istri itu mengabdi di Cairo University, pada bidang kajian Sejarah.
Sampai beberapa tahun kemudian, ia dikukuhkan sebagai guru besar bidang Sejarah. Thaha mengabdi selama 30 tahun di Cairo University, sampai pada saatnya ia harus meninggalkan tempat tumbuh kembang pemikirannya, itu karena sebuah buku karyanya, yang mengguncang jagad Mesir kala itu.
Fi Al-Syi'r Al-Jahily (On Pre Islamic Poetry)
Pemikiran Thaha Hussein dianggap nyeleneh oleh kalangan Ulama yang masih memegang tradisi, khususnya ulama Azhar, dikritisi dengan keras dan tajam.
Sampai di tahun 1926, sebuah buku kritik sastranya berjudul Fi Al-Syi'r Al-Jahily (Tentang Puisi Pra Islam), lalu diterjemahkan dalam bahasa Inggris, dengan judul On Pre Islamic Poetry, mengguncang dan membuat kemarahan luas.
Dalam bukunya itu, ia mempertentangkan kebenaran puisi pra Islam, yang lalu membentuk pemikiran Arab. Ia menyimpulkan, bahwa mayoritas puisi pra Islam disusun pada masa kemunculan Islam, bukan benar-benar berasal dari sebelum Islam datang. Bahkan al-Qur'an tidak boleh dianggap sebagai sumber sejarah obyektif, tulisnya. (The Arabic Literary Heritage, Roger Allen, 2005, h. 398).
Karena bukunya itu, Thaha diseret ke pengadilan. Namun, diputus bebas tidak bersalah, karena yang disampaikannya itu diskursus, dan itu ilmiah.
Tapi, bukunya ditarik dari peredaran, dan ia "dipecat" dari Cairo University. Tidak lama kemudian, buku itu beredar kembali dengan menghilangkan bagian-bagian yang dianggap "sensitif".
Thaha terus berkarya, tidak ada yang bisa menghalangi kebebasan berpikirnya. Acap karyanya itu menyerang kelompok ulama yang disebutnya konservatif, dinilainya jumud, karena, katanya, tanpa mengembangkan pikiran kritis. Ia inginkan generasi muda Mesir mengikuti pemikirannya, bebas menggunakan akal sebagai bagian dari kaum terdidik, yang seharusnya terbebas dari pikiran-pikiran taklid.
Karena pemikirannya itu, ia oleh mereka yang mengaguminya disebut sebagai "Bapak Pembaharuan Mesir". Sedang kelompok berseberangan menyebutnya sebagai agen sekularisasi Barat.
"Dikuliti" Al-Banna Dengan Telak
Bisa jadi Thaha Hussein, itu orang yang paling dicaci pemikirannya, juga bahkan kerap "diserang" fisiknya, sepanjang sejarah pergulatan pemikiran intelektual di Mesir. Tidak ada orang yang begitu dimusuh, tapi terus dibicarakan; tidak saja dibicarakan di forum-forum ilmiah (kampus), tapi juga di warung-warung kopi, melebihi Thaha.
Di tahun 1930-an, sebuah buku karyanya lagi-lagi mengguncang, Mustaqbalus Tsaqafah fi Mishr ( Masa Depan Peradaban Mesir). Substansi buku itu lebih kurang menyatakan, bahwa jika Mesir ingin maju, maka jangan segan ambil pemikiran Barat 100%. Dia pun menyoroti Azhar yang dikatakan tidak mengembangkan pembelajaran tentang hakikat ilmu dengan sebenarnya, cuma hanya mengajarkan taqlid. Pendapatnya lagi-lagi kontroversial, dan tampaknya itu jadi passion buatnya.
Maka, lagi-lagi hujatan atas pemikirannya, itu tidak dapat dihindari. Bahkan menyasar fisiknya dengan sarkastis.
Sebuah karikatur satire beredar luas, dengan kalimat "Thaha A'mal Bashar wal Bashirah (Thaha Itu Buta Penglihatan dan Nurani)". Tentu itu perlakuan tidak pantas, dan tidak semestinya ia terima. Itu jauh dari budaya keilmuan.
Anak-anak muda yang berseberangan dengan pemikiran Thaha, tidak tinggal diam dan berinisiatif membedah buku itu. Dipilihlah tempat pertemuan di gedung "Syubbanul Muslimin". Sebuah gedung pertemuan yang cukup luas, dan dengan mengundang sebagai pembicara, juga anak muda, yang saat itu tengah digandrungi. Anak muda itu bernama Hasan Al-Banna.
Sampai pada saatnya acara bedah buku itu berlangsung, dimana gedung pertemuan itu sudah dipenuhi oleh para ilmuwan, sastrawan, dan tentu anak-anak muda berjejalan penuh antusias.
Lalu Al-Banna dipersilahkan ke podium. Al-Banna melangkah ke panggung tanpa membawa buku yang akan dibedahnya, juga tidak tampak dia membawa secarik kertas. Tampaknya isi buku, lebih kurang setebal 300 halaman itu, khususnya bagian-bagian "menyimpang", itu sudah dihafal di luar kepala.
Dan benar, satu per satu dari pemikiran kontroversi dari Thaha, di buku Mustaqbalus Tsaqafah fil Mishr "dikulitinya" satu per satu, tidak ada yang tertinggal, dengan dalil dan logika menawan.
Selesailah bedah buku itu, dan puaslah anak-anak muda itu, dimana Al-Banna mampu membalik pendapat Thaha dengan argumentatif dan, itu telak.
Umar Al-Tilmisani, menulis artikel, "Dzikrayaat Laa Mudzakkiraat" ("Kenangan Indah, Bukan Sekadar Peringatan"), berkenaan dengan bedah buku itu. "Tidak ada orang yang mengetahui, bahwa dalam diskusi itu Thaha juga hadir. Ia menyamarkan kehadirannya. Ia duduk di atas balkon, dan ada di bagian ujung."
Pada suatu waktu, Thaha bertemu Al-Banna, ia berkata, "Selamat anak muda. Mungkin kita bersimpangan jalan dalam pemikiran, tapi saya senang dengan cara Anda mengkritik. Selama ini saya membalas kritik dengan keras, karena mereka melakukan tanpa etika."
Al-Ayyam
Adalah sastrawan Ali Audah (1924-2017), yang pertama kali memperkenalkan Thaha Hussein, dengan menerjemahkan Otobiografinya, Al-Ayyam, dengan judul, Hari-harii Berlalu.
Buku ini berkisah tentang Thaha Hussein utuh, sejak masa kanak-kanaknya... hingga pergulatan pemikirannya. Amat menarik.
Buku ini pun diterjemahkan dalam edisi Inggris, The Days. Sampai sekarang The Days dicetak ulang dan dapat diperoleh di toko buku-toko buku terkemuka di Amerika dan beberapa negara Eropa, bahkan bisa dipesan melalui toko buku online Amazon.
The Days justru karyanya yang mendapat tempat di Barat, dibanding karya-karya sastra lainnya.
Thaha Hussein, penulis produktif. Meski dengan keterbatasan fisik, sekitar 60 buku karya sastranya diterbitkan. Karenanya, ia digelari "Amid al-Adab al-Araby", atau "Bapak Sastra Arab".
Ada satu pendapatnya yang sering dia ungkap, baik di bukunya dan dalam banyak peristiwa, dan itu penting untuk bisa melihat manusia satu ini secara baik.
"Metode kritis tidak bertentangan dengan al-Qur'an. Kedudukan agama tentu lebih tinggi dari akal. Karenanya, untuk menjadikan agama sejalan dengan akal, maka agama mestinya didekati dengan akal melalui jalan argumen rasional, dan dengan metode kritis."
Dalam konteks itu, seolah tidak ada yang salah dengan pemikirannya, meski banyak pendapat lainnya kontroversial. Dan menjadikan polemik tiada habisnya.
Karenanya, melihat pemikiran Thaha Hussein, itu mestinya juga melalui jalan argumen rasional dan kritis. Sebagaimana Hasan Al-Banna telah menunjukkan dengan begitu baiknya.
Kudeta Mesir
Di tahun 1952, Raja Farouk dikudeta oleh Jendral Muhammad Naguib. Tidak lama kemudian, Jendral Naguib pun dikudeta Letkol Gamal Abdul Nasser. Mesir menjadi negara Republik.
Tampaknya selama ini, Presiden Gamal Abdul Nasser memperhatikan pemikiran-pemikiran yang dikembangkan Thaha Hussein. Karenanya, Thaha direkrutnya menjadi Menteri Pendidikan Mesir dalam kabinetnya.
Thaha lalu bergerak cepat membidani departemen itu dengan konsep-konsep mencerahkan. Gebrakan pertamanya, adalah sekolah gratis. Tidak dipungut biaya sepeser pun.
Menuntut ilmu itu wajib, ujarnya, dan karenanya tidak ada yang boleh sampai tidak bersekolah, karena tidak adanya biaya atau masalah-masalah lainnya.
Tampaknya, kebijakan ini bertautan dengan kondisi keluarga dan fisiknya, dan itu bisa jadi penghalang generasi muda dalam menuntut ilmu. Inilah salah satu legacy yang diwariskannya. Dimana, hingga kini, Mesir memakai kebijakan itu. Sekolah tidak dipungut biaya.
Banyak kebijakan lainnya yang ditorehkan Thaha, diantaranya pada Sekolah Madrasah, yang awalnya cuma belajar ilmu agama semata. Maka ditambahkan dengan pelajaran umum lain dan keterampilan khusus, yang disesuaikan dengan kondisi setempat. Meski hal ini menimbulkan pro kontra.
Namun banyak juga kebijakan yang "ditelurkan" tampak liberal dan menimbulkan kemarahan mayoritas ulama. Dan, itu saat ia putuskan bahwa muslimah tidak wajib memakai hijab di sekolah. Tampaknya, sekali lagi, Thaha Hussein memang memilih passion semacam "olok-olok" melawan konvensi tanpa nurani.
Membincangkan Thaha Hussein tampaknya sulit menemui titik akhir. Sedang yang diungkap baru sebatas koma. Banyak sisi menarik, juga sisi tidak menarik darinya, yang bisa kita lihat, dan lalu kita menjadi tidak sepakat.
Tulisan ini lebih dimaksudkan mendudukkan, bahwa pergulatan pemikiran itu satu keniscayaan, suka atau tidak. Itu akan terus mewarnai kehidupan ini, sampai kapan pun. Dan, lalu muncul penyikapan-penyikapan atasnya. Itu hal wajar, biasa saja.*
*Ady Amar, penikmat dan pemerhati buku. Owner Risalah Gusti, tinggal di Surabaya.
Advertisement