Tewaskan Demonstran, Sekjen PBB Kecam Militer MyanmarÂ
Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Antonio Guterres menyatakan penggunaan senjata mematikan, hingga kekerasan atas demonstasi antikudeta yang terjadi di Myanmar tak bisa diterima.
"Penggunaan senjata mematikan, intimidasi dan kekerasan menghadapi demonstrasi damai itu tidak dapat diterima," ujar Guterres seperti dikutip dari AFP, Minggu 21 Februari 2021.
Hal tersebut diungkap Guterres menanggapi tewasnya tiga demonstran antikudeta militer di Myanmar. Sebelumnya, militer Myanmar telah melakukan kudeta terhadap kepemimpinan sipil Aung San Suu Kyi.
Ketiga demonstran itu tewas di tempat aksi yang berbeda yakni dua saat pasukan keamanan melepas tembakan ke para demonstran di Mandalay, dan satu lagi di Yangon.
Menanggapi tewasnya tiga demonstran tersebut, massa--setidaknya di tiga wilayah: Yangon, Monywa, dan Myitkyina--melakukan aksi berkabung untuk mereka yang telah martir tersebut.
Selain dari Sekjen PBB, kecaman serupa datang dari sejumlah negara termasuk Amerika Serikat, India, dan Uni Eropa.
Namun, pada Minggu jelang tengah malam lalu, Kemenlu Myanmar mengeluarkan pernyataan resmi bahwa PBB dan negara-negara asing lain telah melakukan campur tangan mencolok untuk urusan dalam negeri tersebut.
"Meskipun menghadapi demonstrasi yang tidak sah, penghasutan kerusuhan dan kekerasan, pihak berwenang terkait melakukan pengamanan sepenuhnya melalui penggunaan kekuatan minimum untuk mengatasi gangguan," demikian pernyataan resmi Kemenlu Myanmar.
Hampir di seluruh wilayah Myanmar berkecamuk setelah militer negara itu melakukan kudeta dengan menahan pemimpin negara itu, Aung San Suu Kyi, pada 1 Februari lalu.
Anggota Dewan Keamanan PBB yakni Amerika Serikat, Inggris, dan Kanada telah merespons apa yang terjadi di Myanmar itu dengan menargetkan sanksi pada jenderal-jenderal tinggi di negeri seribu pagoda tersebut. Sementara itu, Uni Eropa rencananya menggelar pertemuan pada Senin ini untuk membahas langkah lebih jauh terkait Myanmar.
Dikabarkan sebelumnya, dua orang tewas di kota kedua Myanmar, Mandalay, ketika polisi dan tentara mengeluarkan tembakan untuk membubarkan protes terhadap kudeta militer 1 Februari. Menurut pekerja kedaruratan, insiden Sabtu 20 Februari 2021, itu menjadi hari paling berdarah dalam lebih dari dua minggu demonstrasi.
Para pengunjuk rasa turun ke jalan di kota-kota di seluruh Myanmar diikuti di antaranya etnis minoritas, penyair, rapper, dan pekerja transportasi yang menuntut diakhirinya kekuasaan militer dan pembebasan penahanan pemimpin terpilih Aung San Suu Kyi dan lainnya.
Ketegangan meningkat dengan cepat di Mandalay di mana polisi dan tentara menghadapi pekerja galangan kapal yang mogok dan pengunjuk rasa lainnya.
Beberapa demonstran menembakkan ketapel ke arah polisi saat mereka kucing-kucingan di jalan-jalan tepi sungai. Polisi menanggapi dengan gas air mata dan tembakan, dan para saksi mata mengatakan mereka menemukan selongsong peluru tajam dan peluru karet di tanah.