Kisah Suwaji, Tetap Semangat Mencari Nafkah Walau Tua dan Katarak
Suwaji, seorang pria paruh baya yang usianya mendekati satu abad ini tetap bersemangat mencari nafkah. Meski sudah renta dan penyakitan, tak menghalangi untuk mencari nafkah.
Kakek tua renta ini mendorong gerobak biru tertatih-tatih menuju depan gapura merah jambu di Jalan Dukuh Kupang XXV, Surabaya, tepatnya belakang gedung Badan Amil Zakat (BAZ) Jawa Timur. Ia berjualan bakso keliling.
Gerobak biru itu dipenuhi mangkuk, toples gula cair, cawan air minum, panci besar lengkap dengan kecap dan sambal.
Siang yang mendung itu, mengenakan topi dan celana hitam serta baju muslim cokelat, Suwaji menyambut Ngopibareng.id yang menghampirnya pada Minggu, 16 Februari 2020.
Suwaji mengaku berusia 84 tahun. Ia begitu semangat mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan setiap harinya. Patut diacungi jempol, pria yang lebih disuka dipanggil Pak Dhe ini sudah 50 tahun lebih berjualan keliling.
“Biyen pas enom yo keliling nang sekolah-sekolah. Sak iki wis tuwek gak kuat, mandek nang kene (Dulu ketika masih muda, ya keliling ke sekolah-sekolah. Sekarang sudah tua tidak kuat, ya memilih menetap di sini)," katanya sembari duduk di kursi biru dan menghisap rokok.
Kakek berkulit keriput ini bercerita pengalaman berjualan makanan. Mulai es gronjong, batagor, gado-gado hingga bakso. Ia berganti-ganti jualan hanya untuk mendapat keuntungan yang lebih besar.
Ia tidak sendirian dalam mencukupi kebutuhan keluarganya. Sang istri yang bernama Sumining juga membantu berjualan, meski tidak satu tempat. Sumining berjualan bakso menetap di kantin sekolah.
"Biyen aku mbek bojoku podo-podo dodol, dek. Kabeh tak lakoni gawe keluarga. Biyen anakku papat sik cilik kabeh yo bareng-bareng golek pangan. Saiki wis tuwek ambek anak-anak yo wis keluarga kabeh, bojoku ngongkon aku kon mandek dodolan. Tapi, nek mandeg yo gak mangan lak an (Saya sama istri juga berjualan, Dik. Semua saya lakukan demi keluarga. Anakku empat masih kecil-kecil, kita sama-sama cari nafkah. Sekarang sudah besar, sebenarnya istri saya minta saya berhenti berjualan. Kalau berhenti jualan ya tidak makan lah),” kata Suwaji.
Berjualan Bakso Tetap di Jl. Dukuh Kupang XXV
Suwaji mengecek kondisi arang di tungku untuk menjaga agar bakso tetap panas. Dengan menambahkan arang baru, Pria asli Lamongan itu sambil berbincang-bincang mengenai alasan menetap.
Sudah 30 tahun Suwaji berjualan keliling di daerah Dukuh Pakis. Namun, karena badannya sudah renta dan tidak sekuat 30 tahun lalu, akhirnya memutuskan untuk berjualan menetap.
“Wis setahun aku nang kene, kebetulan nggone cidek karo omah. Omahku nang dukuh pakis. Aku mandek soale ga kuat keliling (Sudah setahun saya berjualan di sini. Kebetulan tempatnya dekat dengan rumah. Rumah saya di Jalan Dukuh Pakis. Saya berjualan menetap karena sudah tidak kuat untuk jalan keliling)," katanya sembari menata arang di tungku.
Dalam usianya yang renta, Suwaji memilih tetap mencari nafkah karena tidak mau menggantungkan hidup pada anak-anaknya.
“Nek sik iso dewe tak lakoni dek, aku gak gelem gantungno uripku nang anak. Wis duwe kehidupan dewe-dewe (Jika masih bisa saya lakukan ya saya lakukan sendiri. Saya tidak mau menggantungkan hidup kepada anak-anak. Mereka sudah punya kehidupan sendiri-sendiri)," katanya.
Tidak Mematok Harga
Suwaji berjualan sejak pukul pukul 12.00 WIB hingga 21.00 WIB. Ia hanya libur jika merasa capek.
Pria tidak pernah mengenyam pendidikan ini tidak mematok harga bakso perporsinya. Pembeli boleh membeli bakso sesuai dengan harga yang mereka inginkan.
Setiap satu pentol bakso dihargai Rp2.000, untuk tahu putih, tahu goreng, siomay dan pangsit goreng dipatok harga Rp500.
Bahan-bahan dagangan ini dibeli di pasar. Istrinya yang setiap habis subuh belanja bahan-bahan bakso ke pasar. Dalam satu minggu bahan yang dibutuhkan menghabiskan Rp800 ribu.
Yang terdiri 7 kg daging sapi, sisanya untuk beli pangsit, tahu, wortel dan tepung kanji. Istrinya juga membantu memasak bakso.
Jika hujan yiba, Suwaji hanya berteduh dengan menggunakan payung miliknya. Kalau jualannya tidak habis, biasanya dimasukkan ke kulkas dan besoknya dihangatkan.
Untuk pendapatannya tidak menentu. Kalau pas lagi sepi ia hanya mendapat Rp80 ribu, dan kalau pasa ramai pembeli bisa dapat Rp200 ribu.
Suwaji, tak masalah meski ada pesaing. Karena rezeki sudah ada yang mengatur. Ia tetap bersyukur meski mendapat sedikit.
“Jenenge dodolan yo onok untung rugine dek. Aku gak wedi kesaing, kabeh podo golek pangan dewe-dewe. Rejeki wis onok sing ngatur (Namanya berjualan pasti ada untung ruginya, dek. Saya tidak takut tersaingi, semua mencari nafkah sendiri. Rejeki sudah ada yang mengatur," katanya.
Suwaji termasuk pedagang yang jujur. Ketika ada pembeli minuman es jeruk dan buahnya busuk, ia berkata apa adanya dan langsung membuang.
“Jeruk e bosok. Nggak enak (Jeruknya busuk, tidak enak)," kata Suwaji sambil membuang buah jeruk itu.
Mengidap Katarak dan Mendapat Belas Kasihan Orang
Suwaji tetap nekat berjualan meski mengidap penyakit katarak. Ia terkena katarak sejak 3 tahun yang lalu. Istrinya juga mengidap penyakit yang sama.
“Katarake disik bojoku. Wis dioperasi gae BPJS nang puskesmas, tapine malah luwih nemen, malih tambah peteng. Aku wis telung tahunan (Istriku lebih dulu kena katarak. Wis dioperasi di puskesmas tapi malah lebih parah. Sekarang tambah gelap kalau dipakai melihat)," katanya.
Mengetahui kondisi istrinya yang sudah berobat tapi tidak sembuh, membuatnya tidak mau dioperasi. Suwaji hanya bisa pasrah menerima kondisinya sekarang.
Suwaji juga sering mendapat belas kasihan tetangga dan mahasiswa. Mulai mendapat bantuan sembako, uang, makanan, roti, minyak, dan lain-lain.
“Arek-arek mahasiswa iku lucu. Aku diwehi lampu, minyak, kadang roti garek sak cuil diwehno aku. Onok sing ngewehi sembako, duik barang (Anak-anak mahasiswa itu lucu, saya diberi minyak, lampu, bahkan roti meski tinggal secuil saja. Ada juga yang memberi sembako. Ada yang kasih uang)," katanya.
Advertisement