Tetap Produksi Gula Nira di Saat Cobaan Gempa
Keluarga Jumain, warga Dusun Pelolat, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat (NTB), Sabtu, tetap menganggap gula aren sumber kehidupannya sehingga tetap memproduksinya meski baru saja tertimpa musibah gempa bumi. Sejak pagi hari, dia bersama istri dan dibantu anak-anaknya, telah bekerja membuat gula aren dari pohon nira yang berada tepat di belakang rumahnya yang di lereng curam perbukitan Batu Layar.
Jumain mengambil air nira dari pohon yang berada tidak jauh di belakang rumahnya melalui bambu yang kemudian ditampung ke jerigen. Jerigen yang sudah dipenuhi air nira kemudian dibawa ke rumahnya. Sesampai di rumah, jerigen berisi air nira dituangkan ke wajan untuk dibekukkan dengan perapian alami di alam terbuka.
Air nira yang sudah mengental kemudian diaduk-aduk, lalu dimasukkan ke dalam batok kelapa yang sudah di belah dua. Anak-anaknya yang masih balita pun, tidak ingin duduk diam saja, ikut membantu mengambil batok demi batok kelapa dan mendekatkannya ke wajan. Kemudian sang ibu memasukkan air nila yang sudah mengental ke batok itu.
"Pengerjaannya bisa setiap hari, tergantung kebutuhan. Pohon nira sendiri ada airnya", kata Jumain.
Dirinya mengaku gula aren itu dijualnya Rp25 ribu per batok kelapa. “Kita jual tidak mahal-mahal,” tandasnya.
Profesi itu digeluti untuk menyambung hidup sehari-hari di samping kegiatan pertanian lainnya. Mereka menganggap gempa memang mengkhawatirkan tapi kehidupan harus terus berjalan. Kekhawatiran jelas ada, mengingat rumahnya di bawah puncak Bukit Batu Layar dan berada di kontur lereng curam yang di bawahnya menganga jurang ratusan meter.
“Saat gempa, terasa kencang sekali. Tapi Alhamdulillah rumah masih berdiri, kami tetap selamat,” sambungnya.
Saat ini, dirinya berharap agar gempa segera berlalu, agar dia bisa menjual kembali produksi keluarganya ke pasar. Mereka pun bermimpi nantinya gula yang diproduksi digunakan oleh hotel-hotel di kawasan Senggigi, sehingga warga sekitar tidak menjadi penonton saja melihat kelap kelip lampu dari tempat tinggalnya itu.
Untuk mencapai rumah Jumain ini, memang memerlukan nyali besar, karena hanya ada jalan setapak yang cukup satu motor saja dengan kelok-kelokan tajam membelah lereng. Sebelah kiri ada dinding tanah yang dipapas, sedangkan di kanan jalan jurang ratusan meter.
Jika berpapasan dengan pejalan kaki atau pengendara motor lain, terpaksa harus mengalah dengan merapatkan motor ke dinding tanah. Meski kehidupan yang harus dilewati keluarga Jumain cukup berat, namun mereka tetap optimistis bahwa amuk patahan di perut bumi tanah Lombok akan selesai dan kembali normal. (ant)