Tetap Dianggap Ancaman Serius, Banding HTI Ditolak
Perjuangan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) di Pengadilan memang terkesan paradoks. Organisasi yang telah dinyatakan bubar ini, dalam kampanyenya tak mengakui sistem pemerintahan di Indonesia, namun akhirnya mengakui sistem Pengadilan di negeri ini.
Kabar terbaru, soal HTI adalah penolakan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT TUN) Jakarta atas permohonan banding perkumpulan tersebut. Dalam sidang tersebut, pembubaran HTI oleh Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) sah.
Terkait HTI semula Menkumham mengeluarkan SK Nomor AHU 30.AH.01.08 Tahun 2017 tentang Pencabutan SK Kemenkumham Nomor AHU- 00282.60.10.2014 tentang Pengesahan Pendirian Badan Hukum Perkumpulan Hizbut Tahrir Indonesia. Mendapati pencabutan SK itu, Hizbut Tahrir tidak terima dan mengajukan gugatan ke PTUN Jakarta.
PTUN Jakarta pada 7 Mei 2018 menolak gugatan HTI itu dan menguatkan SK Kemenkumham. Hizbut Tahrir tidak terima dan mengajukan banding.
"Menguatkan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Nomor 211/G/2017/PTUN-JKT, tanggal 7 Mei 2018 yang dimohonkan banding," ujar majelis PT TUN Jakarta, Rabu (26/9/2018) dikutip ngopibareng.id, dari situs resminya.
Maka, Majelis memutuskan, "sudah menyangkut ancaman serius terhadap keutuhan negara dan kesatuan bangsa sehingga menurut pendapat majelis tingkat banding, Tergugat (Menkumham, red) atas diskresi yang dimiliki berwenang menerbitkan objek sengketa"
Sebagai ketua majelis, Kadar Slamet, dengan anggota majelis Djoko Dwi Hartono dan Slamet Suparjoto. Ketiganya bulat menyatakan tindakan Kemenkumham tidak bertentangan dengan asas contrarius actus karena Menkumham berwenang menerbitkan keputusan TUN tentang pengesahan pendirian badan hukum perkumpulan HTI.#
Bertentangan Ideologi Negara
Majelis dengan suara bulan menegaskan, "Maka atas dasar kewenangan tersebut Kemenkumham berwenang mencabut keputusan a quo atas dasar oleh fakta-fakta pelanggaran sebagaimana telah dipertimbangkan HTI".
Fakta hasil pembuktian perkumpulan HTI terbukti, demikian Majelis memutuskan.
"Terbukti mengembangkan ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila UUD NRI Tahun 1945 serta kegiatan-kegiatan menyebarluaskan ajaran atau paham tersebut arah dan jangkauan akhirnya bertujuan mengganti Pancasila, UUD 1945, serta mengubah NKRI menjadi negara khilafah," ujar majelis.
Maka, Majelis memutuskan, "sudah menyangkut ancaman serius terhadap keutuhan negara dan kesatuan bangsa sehingga menurut pendapat majelis tingkat banding, Tergugat (Menkumham, red) atas diskresi yang dimiliki berwenang menerbitkan objek sengketa". (adi)