Testimoni Gus Yahya,Sebelum Berangkat Direstui Para Pengasuh Jiwa
"Para pengasuh jiwa penulis merestui penulis datang ke Yerusalem dengan syarat sungguh-sungguh merancang cara agar kehadiran ke sana membawa manfaat."
KH Yahya C Staquf ke Israel, mengguncang kesadaran dunia Islam. Diplomasi untuk Perdamaian Palestina-Israel diperlukan. Namun, banyak yang kurang setuju dengan langkah Direktur Urusan Keagamaan pada Bayt Ar-Rahmah, Winston Salem, North Carolina, AS, ini.
Guna memperjelas perjalanan diplomasi Gus Yahya Staquf, panggilan akrab Pengasuh Pesantren Raudlatut Thalibin Rembang ini, berikut ngopibareng.id, menghadirkan testimoni Gus Yahya secara langsung, usai kunjungan diplomasi tersebut.
Berikut testimoni dan penuturan Gus Yahya, secara bersambung:
Adakah alternatif selain perdamaian? Ada. Yaitu, terus berperang sampai salah satu pihak musnah, terusir, atau hancur sehancur-hancurnya. Pada era pramodern, pilihan kedua ini cenderung lebih disukai.
Iskandar Agung tak pernah berhenti berperang sejak naik takhta hingga wafatnya. Imperium Romawi kuno pun tegak di atas rezim peperangan ekspansionis yang tak ada hentinya, walaupun penguasa dan bentuk sistem politiknya berubah-ubah.
Turki Usmani, menjalani sejarah serupa selama 500 tahun. Pada era modern orang belajar begitu peperangan dimulai, hasil akhirnya tak dapat dipastikan. Tak ada yang mengira, Inggris dan sekutunya mengalahkan aliansi Turki Usmani dan Kerajaan Prusia dalam Perang Dunia (PD) I.
Jerman pun pada mulanya yakin 100 persen akan menang dalam PD II. Variabel yang terlibat dalam setiap peperangan semakin kompleks dan sulit dikalkulasi, sementara skala kehancuran semakin masif karena daya rusak senjata yang meningkat.
Konflik Israel-Palestina sudah berlangsung sekitar 70 tahun tanpa kunjung terlihat hasil akhirnya. Apakah Israel yakin pasti menang?
Tidak juga. Itu sebabnya ia tak pernah berhenti menggalang dukungan internasional untuk menguatkan posisinya.
Konflik ini juga melibatkan hampir semua negara di Timur Tengah, menyeret dunia Islam, dan menyentuh kepentingan strategis kekuatan militer terbesar di dunia, yaitu AS, sejumlah negara di Eropa Barat, Rusia, dan Cina. Aspirasi untuk perdamaian Israel-Palestina digaungkan.
Perundingan diadakan tetapi hingga kini konflik tak terhentikan. Bahkan, dalam beberapa tahun terakhir, upaya perdamaian macet, sedangkan ketegangan dan perbenturan fisik terus tereskalasi.
Upaya diplomasi antarnegara jelas hanya melibatkan pemerintah negara bersangkutan. Semua fokus pada target “mencuri” keuntungan sebesar-besarnya. Sejumlah kesepakatan memang pernah berhasil dicapai.
Namun, kalau belakangan salah satu menyadari kerugian di pihaknya, ia tak segan melanggar kesepakatan. Celah apa yang masih tersisa? Baik Israel maupun Palestina menganut sistem demokrasi. Nasibnya bergantung pada aspirasi rakyatnya.
Kalau aspirasi untuk perdamaian bisa digenjot di kalangan rakyat, mungkin ada peluang mengubah perilaku diplomatik pemerintahnya. Itulah yang terpikir ketika sekitar tiga bulan lalu, penulis dihubungi American Jewish Comittee (AJC).
Penulis diundang untuk menghadiri dan menyampaikan pidato di Forum Global mereka di Yerusalem. AJC adalah organisasi Yahudi internasional terbesar dan mungkin paling tua --sudah 100 tahun umurnya--dan paling berpengaruh.
Apa pun yang keluar darinya bisa diharapkan punya dampak berarti, baik terhadap publik dalam negeri Israel, kalangan Yahudi internasional, maupun masyarakat dunia pada umumnya. Tapi, penulis tidak serta-merta membuat keputusan. Penulis minta waktu.
Para pengasuh jiwa penulis merestui penulis datang ke Yerusalem dengan syarat sungguh-sungguh merancang cara agar kehadiran ke sana membawa manfaat.
Penulis pun lantas menghubungi teman yang punya akses ke lembaga-lembaga publik nonpemerintah di Israel untuk menjajaki kemungkinan melancarkan “kampanye” di Israel. Teman-teman itu menyatakan sanggup membantu sepenuhnya.
Dengan bekal itu, barulah penulis memutuskan memenuhi undangan. (bersambung)