Tertangkap, Isi Manifes Teroris di Masjid Selandia Baru Terungkap
Sebanyak 27 orang tewas akibat penembakan yang terjadi di dua Masjid di wilayah Christchurch, Selandia Baru, Jumat 15 Maret 2019. Setelah peristiwa tersebut, polisi setempat berhasil mengamankan empat orang yang diduga sebagai pelaku pembantaian.
Mereka terdiri dari tiga pria dan satu wanita. Saat ditangkap, mereka memiliki senjata dan mobil yang berisikan bahan peledak rakitan.
Saat kejadian, salah satu pria bersenjata menyiarkan langsung serangan melalui akun Facebook pribadinya, yang kemudian diambil oleh saluran Youtube. Dalam siaran tersebut, dengan menggunakan sejata semi otomatis, pria ini menembaki jemaah yang sedang berkumpul untuk menjalankan salat Jumat di Masjid Al Noor, Christchurch.
Pria berkulit putih ini dikonfirmasi sebagai Brenton Tarrant, berusia 28 tahun. Sebelum melancarkan serangan brutalnya, Brenton lebih dulu menulis manifes setebal 37 halaman yang berisikan rencana jahatnya itu.
Manifes tersebut diberi judul “The Great Replacement” dan diposting di dinding pesan website.
Dia menggambarkan dirinya sebagai orang kulit putih biasa, 28 tahun. Lahir dari Australia dari kelas pekerja dan keluarga berpenghasilan rendah.
Tepat di bawah judul, ia menuliskan, “Mengapa Anda melakukan serangan itu? Katanya untuk membalas kematian yang disebabkan oleh penjajah asing”.
Terkait kejadian tersebut, seorang saksi mata mengatakan, pelaku pertama kali pergi ke masjid sekitar pukul 1.40 waktu setempat. Di dalam masjid itu ada tim kriket asal Bangladesh yang juga terperangkap bersama 200 jamaah lainnya. Beruntung, tim kriket tersebut berhasil meloloskan diri dari pembantaian.
Namun nasib berbeda dialami puluhan orang lain yang tak sempat kabur. Sejumlah orang dewasa dan anak-anak kecil dikabarkan tewas. Selain di dalam masjid, mayat-mayat dilaporkan juga terbaring di tanah di luar masjid. Akibat serangan itu, rumah sakit dan sekolah-sekolah di Christchurch pun terpaksa ditutup.
"Kami sekarang telah dipengaruhi oleh virus terorisme," ujar mantan analis dan konsultan kebijakan intelijen dan pertahanan untuk agen keamanan pemerintah AS, Paul Buchanan, kepada 1 NEWSNZ seperti dilansir dari The West Australian.
“Ada banyak kelompok supremasi kulit putih. Mungkin ada selusin kelompok semacam ini, terutama terkonsentrasi di Pulau Selatan," tambahnya.
Buchanan juga mengatakan, bahwa dia telah melihat manifesto penembak, dan penembakan itu jelas merupakan kasus supremasi kulit putih.
Dalam dokumen setebal 37 halaman tersebut, penembak mengatakan bahwa dia telah merencanakan serangan ini selama dua tahun, dan memiliki lokasi yang sudah ia targetkan dalam tiga bulan sebelum serangan yang ia lancarkan hari ini. Dia kemudian menggambarkan dirinya sebagai ekofasisme.
"Saya adalah seorang komunis, kemudian seorang anarkis dan akhirnya seorang libertarian sebelum menjadi seorang eco-fasis," tulisnya.
Dia juga membuat referensi aneh ke Spyro the Dragon, sebuah game PlayStation, dengan mengatakan "mengajari saya etnisno-nasionalisme", paham nasionalisme yang mendefinisikan bangsa berdasarkan etnis.
Dia mengklaim telah melakukan kontak singkat dengan Anders Breivik, seorang teroris sayap kanan yang menewaskan 69 anggota kamp musim panas organisasi kepemudaan di Pulau Utoya, Norwegia, pada 2011 silam. Dia juga melakukan serangan bom mobil sebanyak delapan kali di Oslo.
Breivik merupakan anggota kelompok anti-imigrasi, sayap kanan dan mengklaim sebagai anggota ordo baru Kesatria Ksatria Templar dalam suatu cara yang merinci motivasinya di balik serangan-serangan itu.
Pria bersenjata itu juga menulis tentang dukungannya pada Presiden AS Donald Trump menjadi simbol identitas kulit putih yang baru untuk tujuan yang sama, tetapi bukan sebagai pembuat kebijakan.
"Orang yang telah memengaruhi saya di atas segalanya adalah Candace Owens," tutur Brenton. Owens adalah aktivis AS pro-Trump yang dikenal vokal karena kritiknya terhadap Black Lives Matter dan Partai Demokrat.
Advertisement