Tersandung Korupsi, Bekas Presiden Sudan Segera Diadili
Ini dugaaan praktik korupsi massal, dalam satu kabinet dan pejabat tinggi di Sudan. Hal itu terjadi pada bekas Presiden Sudan Omar al-Bashir, yang segera dihadirkan ke persidangan atas dugaan tindak kejahatan rasuwah itu.
Sedangkan 41 mantan pejabat tinggi Sudan di pemerintahan al-Bashir berstatus dalam penyelidikan.
"al-Bashir akan disidangkan sepekan setelah periode pengajuan keberatannya berakhir," kata Kepala Jaksa Penuntut Alwaleed Sayed Ahmed Mahmoud.
Al-Bashir turun dari jabatannya setelah digulingkan pada April 2019 lalu atau persisnya setelah 30 tahun setelah Sudan terbelah menjadi Sudan Selatan dan perekonomiannya terpuruk.
“Sebanyak 41 kasus kriminal yang melibatkan mantan pejabat tinggi telah dibuka. Ini semua sebagai simbol perlawanan terhadap mantan rezim al-Bashir.
"Upaya untuk mengungkap dan menginvestigasi kasus ini bakal rampung pekan depan,” kata Mahmoud, dikutip reuters.com, Minggu, 16 Juni 2019.
Semasa berkuasa, Presiden Al-Bashir digulingkan setelah aksi unjuk rasa selama berbulan-bulan yang meletup persisnya pada Desember 2018 menyusul kekurangan uang tunai dan naiknya harga sembako. Puluhan orang terbunuh dalam unjuk rasa itu.
Pada awal pekan lalu, jaksa penuntut mengatakan telah menyelesaikan sebuah investigasi terhadap Al-Bashir dan menuntutnya atas dugaan kepemilikan kekayaan tidak sah dan penerbitan perintah-perintah darurat.
Sumber di Kehakiman Sudan mengatakan pada April badan intelijen Sudan menggeledah rumah Al-Bashir dan menemukan beberapa koper berisi uang lebih dari US$ 351 ribu atau sekitar Rp 5 miliar dan 6 juta euro atau sekitar Rp 96 miliar serta 5 juta pounds Sudan.
Sebelumnya mantan Presiden Al-Bashir sudah dituntut dengan tuduhan melakukan penghasutan dan keterlibatan dugaan pembunuhan sejumlah demonstran.
Jaksa Penuntut juga telah memerintahkan agar mantan Presiden Sudan itu di mintai keterangan atas dugaan tindak kejahatan pencucian uang dan mendanai terorisme.(ad/rtr)
"Semasa berkuasa, Presiden Al-Bashir digulingkan setelah aksi unjuk rasa selama berbulan-bulan yang meletup persisnya pada Desember 2018 menyusul kekurangan uang tunai dan naiknya harga sembako. Puluhan orang terbunuh dalam unjuk rasa itu."