Teror dan Candu Agama
Sampai sekarang saya belum bisa menalar tentang bom bunuh diri atas nama agama. Bagaimana seseorang bisa merelakan nyawanya dan mencelakai orang lain?
Bom bunuh diri di Gereja Katedral Makassar menambah daftar teror atas nama agama. Mereka merasa berjuang atas nama agamanya dengan mencelakai diri dan orang lain.
Ini untuk kesekian kalinya dilakukan orang yang mengaku berjihad untuk agamanya. Tapi apakah jihad memperjuangkan keyakinannya harus dengan cara itu?.
Yang menyedihkan lagi, pelakunya adalah suami-istri yang baru 6 bulan menikah. Usia perkawinan yang semestinya menjadi masa bulan madu bagi sebuah pasangan.
Saya juga tidak bisa paham seorang perempuan nekat baku tembak dengan polisi di depan Mabes Polri. Yang berujung tewas jelang bulan ampunan Ramadhan.
Apa yang ada dalam benaknya ketika mereka memutuskan untuk mati bersama? Apalagi dengan maksud mencelakai orang lain melalui bom bunuh diri?
Teori Konspirasi
Ada banyak analisa setiap terjadi aksi teror bom bunuh diri seperti di Gereja Katedral Makasar ini. Ada yang mengingkari pelakunya penganut agama tertentu.
Umumnya, mereka yang menolak aksi teror bom bunuh diri adalah bagiannya merujuk pada teori konspirasi. Bahwa ini bagian untuk menghancurkan nama Islam. Menjadi bagian dari kepentingan global merusak kebesaran Islam.
Penganut teori ini cenderung menolak bahwa pelaku teror bukanlah bagian dari mereka. Mereka hanyalah alat dari konspirasi tersebut. Bahkan bisa menjadi alat aparat untuk memojokkan kelompok tertentu.
Penganut teori konspirasi seperti ini tidak hanya di sekitar kita. Di negara maju seperti Amerika Serikat juga sedang menghadapi hal yang sama. Pandangan itu makin ngehits saat pemilihan presiden.
Secara sederhana, penganut ini meyakini bahwa setiap peristiwa luar biasa selalu ada yang menggerakkan. Ada yang merencanakan. Dari tangan-tangan yang tak kasat mata.
Tujuannya bisa bermacam-macam. Tapi selalu terkait dengan kepentingan politik. Kepentingan kelompok tertentu. Melalui operasi bawah tanah yang tak gampang dideteksi.
Saya belum tahu cara memverifikasi apakah peristiwa itu hasil konspirasi atau bukan. Apakah sebuah peristiwa besar itu merupakan kejadian instan karena digerakkan "hantu-hantu" tertentu atau bukan.
Yang sudah pasti, peristiwanya ada. Selalu yang melakukan aksi teror di negeri kita mengenakan simbol-simbol agama Islam. Yang perempuan berjilbab dan atau bercadar.
Sasarannya tidak jarang tempat ibadah agama lain. Seperti gereja, katedral, atau simbol-simbol negara lain seperti Bom JW Marriot, pusat wisatawan asing di Bali, dan sebagainya.
Okelah kalau para teroris yang berjuang lewat bunuh diri itu adalah bagian dari konspirasi. Kenapa mereka dengan gampang bersedia menjadi martir? Mau mengorbankan nyawa dan mencelakai orang lain?
Padahal tak satu agama pun yang membolehkan kekerasan. Kecuali memang sedang diperangi secara fisik. Ketika sedang terancam keselamatannya dan mengharuskan membela diri.
Mabuk Agama
Rasanya hanya orang yang sedang mabuk dan kehilangan akal sehat yang bisa melakukan. Yang bisa berbuat apa saja, termasuk mencelakai orang lain maupun dirinya.
Mabuk membuat orang bisa bertindak tak rasional. Mabuk cinta sekalipun. Orang yang sedang mabuk cinta melihat tahi pun berasa coklat. Padahal bagi yang waras, tahi ya tahi.
Mabuk agama? Suatu ketika, saya mengantar Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid) dari sebuah acara diskusi ke bandara Adisucipto Yogyakarta.
Dalam diskusi itu ada seorang peserta yang berbicara keras atas nama agamanya. Seperti mereka yang sula mengkafirkan dan menyesatkan umat lainnya.
"Itu tadi gimana Gus," tanya saya.
"Lah, biar saja. Dia kan Islam anyaran (baru). Jadi lagi semangat-semangatnya. Lagi mabuk. Kalau kita kan sejak lahir sudah Islam," katanya ringan.
Agama pada dasarnya keyakinan. Dia adalah petunjuk bagi ummat manusia yang meyakininya. Tujuan akhir beragama adalah kebaikan di dunia dan di akhirat.
Sayangnya teks yang menjadi rujukan orang beragama bisa memberi tafsir banyak. Karena itu diperlukan ilmu yang cukup untuk bisa memahami agama secara utuh.
Tanpa kelengkapan ilmu, beragama bisa terjerumus menjadi candu. Yang memabukkan. Yang membuat orang kehilangan akal pikiran. Sehingga menimbulkan tindakan-tindakan di luar nalar.
Ketika agama telah menjadi candu, kekerasan agama sangat mungkin muncul. Seperti pernah terjadi lebih dari satu dekade --juga menggunakan bom-- di Irlandia Utara. Antara kaum minoritas Katolik lawan mayoritas Protestan.
Konflik berdarah di Timur Tengah juga banyak dipicu oleh kepentingan antar aliran agama Islam. Aksi teror yang digerakkan kaum jihadis Islam --yang jumlahnya tidak banyak-- memicu kekerasan di mana-mana.
Selain kepentingan politik keompoknya, kekerasan itu lebih karena agama hanya dianggap sebagai candu. Seperti yang pernah dibayangkan Karl Mark, pemikir sosialisme, akar pemikiran komunisme.
Agama memang bisa mengantarkan pemeluknya menjadi lebih baik. Karena memang dia adalah tuntunan hidup. Tapi jika salah menafsirkan teks dan meyakininya tanpa ilmu bisa tergelincir hanya menjadi candu.
Sepanjang agama masih dipahami sebagai candu yang memabukkan, maka kekerasan atas nama agama tak akan terselesaikan. Akan tetap ada orang-orang yang rela membunuh dirinya dan mencelakai orang lain atas nama agama.
Advertisement