Terong Gosong Nusantara
ISLAM Nusantara itu fakta yang hidup. Dihidupi oleh kaum muslimin di Nusantara sejak lebih dari lima ratus tahun yang lalu hingga kini dan telah sekian lama menjadi wajah peradaban masyarakat yang tinggal di kawasan ini. Sebagai istilah, “Islam Nusantara” hanya menamai sesuatu yang sudah ada. Mengapa perlu ada istilah ini? Karena panggilan sejarah.
Faktanya, dunia Islam dewasa ini tengah dilanda kemelut penuh konflik yang berdarah-darah, melahirkan tragedi kemanusiaan yang sungguh parah. Ini bukan hanya soal ISIS atau Da’isy atau apa pun namanya. Ini soal ideologi pengelompokan yang menggembar-gemborkan klaim kebenaran hanya milik kelompoknya sendiri dan memusuhi segala diluar dirinya sedemikian rupa hingga siap menggenjot kekerasan sampai batas yang belum pernah terpikirkan oleh umat manusia sebelumnya. Begitu gencarnya propaganda ideologi itu sampai-sampai menjelma semacam penyakit jiwa yang menular melampaui batas-batas madzhab maupun bangsa, berwujud mentalitas cari musuh dan memuja kekerasan.
Kemelut menggerumut hingga gayung bersambut. Di dunia non muslim pun tumbuh ideologi yang melihat Islam sebagai setan dunia fana, kemudian memusuhi muslim tanpa pandang bulu dan siap menimpakan kekerasan yang tak kalah gilanya. Itulah “Islamophobia”.
Silahkan meneliti dan membangun analisa untuk menunjuk siapa yang salah dalam soal ini, siapa yang lebih dulu memulai berbuat aniaya. Tapi lebih dari itu, bukankah umat manusia harus sesegera mungkin mencari jalan keluar? Menghindarkan diri dari prospek kemusnahan akibat perang semesta? Jelas dunia pasti kiamat pada waktunya. Tapi ‘kan bukan begini skenarionya!
Adalah fakta juga bahwa, dibanding berbagai peradaban Islam yang tumbuh di kawasan lain, peradaban Islam Nusantara jauh lebih luwes dan mampu menempatkan diri secara harmonis di tengah pergaulan masyarakat dunia. Di dalam Peradaban Islam Nusantara itu terkandung unsur-unsur yang membuatnya lebih tangguh dan lebih tahan menghadapi serbuan “penyakit jiwa asal-ngamuk” yang begitu gencar. Unsur-unsur itu meliputi corak faham keagamaan yang dihidupi oleh mayoritas warga muslimnya, kebudayaan dasar dari masyarakat Nusantara itu sendiri, dan struktur kepemimpinan masyarakat muslimnya yang secara tradisional masih menempatkan ulama di pusat pengaruh sosial.
Tak kalah penting adalah sejarah politik di mana kaum muslimin telah mengikatkan diri dalam konsensus bersama elemen-elemen masyarakat lainnya untuk bersatu dalam wadah kebangsaan Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan kesediaan untuk hidup berdampingan secara damai dan bergotong-royong memperjuangkan cita-cita bersama. Bersatu dalam kebinekaan.
Semua itu sungguh layak untuk ditawarkan kepada dunia sebagai “proposal” jalan keluar dari kemelut hari ini. Kepada masyarakat muslim, sebagai contoh cara hidup dan menempatkan diri ditengah masyarakat heterogen dengan formula yang sah dalam pandangan syari’at. Kepada dunia non muslim, sebagai bukti adanya realitas yang hadir dari Islam yang membawa rahmat bagi semesta, Islam yang tidak ingin menjadi musuh terhadap siapa pun yang tidak berbuat aniaya. Ini juga yang memelihara dan mengukuhkan keberadaan kita sebagai satu bangsa dan negara.
Maka sikap permusuhan terhadap Islam Nusantara jelas lahir dari akal yang lebih mblenyek ketimbang terong gosong. Lha wong Terong Gosong saja mendukung Islam Nusantara dengan riang-gembira kok! Silahkan perhatikan, dari kelompok mana saja munculnya permusuhan itu. Kita bisa dengan mudah sampai kepada kesimpulan bahwa mereka itu orang-orang yang tidak ingin bangsa dan negara ini kokoh-lestari. Terlalu gamblang bahwa propaganda permusuhan terhadap Islam Nusantara itu beraroma bujukan agar kita mengabaikan jati diri kebangsaan kita. Mungkin sesudah ini mereka akan mendorong kita untuk mengabdi kepada pusat kekuasaan lain entah siapa nun jauh disana?
Apakah Islam Nusantara anti-Arab? Yaa ampuuunn….
Pada suatu hari salah satu Majelis Wakil Cabang (MWC) Nahdlatul Ulama di lingkungan Kabupaten Bangkalan menyelenggarakan perayaan Hari Lahir (Ulang Tahun) Nahdlatul Ulama. Berbagai acara yang lazim menurut tradisi dilangsungkan, mulai dari menyanyikan lagu Indonesia Raya, tilawah Qur’an, shalawat, tahlil, hingga mau’idhah hasanah. Yang agak istimewa adalah bahwa di tengah kerumunan ribuan warga itu disiapkan pula rangkaian balon warna-warni yang banyak sekali.
Pada waktu yang ditentukan, Pengurus MWC beserta para tokoh berkumpul di tengah arena mengelilingi rangkaian balon itu. Seluruh hadirin kemudian diajak bersama-sama menyanyikan lagu cinta tanah air karya Kyai Wahab Hasbullah, Yaa Lal Wathon. Di ujung lagu itulah rangkain balon dilepas membumbung ke angkasa.
Bersama terbangnya balon, pembawa acara dengan penuh semangat memimpin nyanyian lagu ulang tahun:
“Thoowil omooorna… thoowil omooorna… thoooowil omorna ma’a kaaroomah… ma’a kaaaroooomaaah… ma’a kaaaroooomaaaaah…!”
(Dikutip dari Terong Gosong Yahya Cholil Staquf)