Ternyata Gerung Tidak Sakti
Oleh: Djono W. Oesman
Kesaktian Rocky Gerung sirna, setelah dipanggil Mabes Polri, Senin (4/9). Orang menduga ia sakti, karena sebulan dipolisikan, belum diproses. Tapi ia fenomenal. Ada 25 laporan polisi: Dugaan penghinaan terhadap Presiden Jokowi. Jumlah laporan itu rekor Indonesia.
—----------
Dirinci Mabes Polri, laporan polisi itu datang dari berbagai provinsi. Untuk satu tuduhan. Untuk bukti hukum yang sama, berupa unggahan YouTube milik Refly Harun, sebagai berikut:
Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri, Brigjen Djuhandhani Rahardjo Puro kepada wartawan mengatakan, laporan polisi masuk ke:
Bareskrim Polri dua laporan. Polda Metro Jaya empat laporan. Polda Sumatera Utara tiga laporan. Polda Kalimantan Timur 11 laporan. Polda Kalimantan Tengah tiga laporan. Polda D.I. Yogyakarta dua laporan.
Karena terpencar-pencar, akhirnya semua laporan disatukan, ditangani Bareskrim Polri. Sebab bentuknya sama. Lalu diproses sekitar sebulan.
Mengapa begitu lama? Karena berdasar UU, pasal penghinaan adalah delik aduan. Hanya diproses polisi jika pihak yang dihina, langsung (tanpa diwakili) melapor polisi. Sedangkan, Presiden Jokowi sudah tegas mengatakan: “Itu kecil. Saya kerja aja.”
Akhirnya polisi memproses. Mengumpulkan bukti, saksi, dan saksi ahli. Disebut Pulbaket (pengumpulan bahan dan keterangan). Kalau soal bukti, sudah banyak, tersebar di medsos. Masyarakat tahu. Jumlah saksinya, yang luar biasa.
Brigjen Djuhandhani: "Telah di-BAI (Berita Acara Interview) sebanyak 72 saksi dan 13 ahli. Total 85 saksi.”
Bisa dibayangkan, betapa sibuknya polisi menangani kasus ini. Semua saksi di-BAI. Belum pernah ada perkara berdasar laporan polisi (LP) sebanyak 25 LP, dengan 85 saksi. Cuma di kasus Gerung ini.
Alhasil, perkara ini dinyatakan bukan delik aduan. Alias delik biasa. Polisi belum merinci, bagaimana bisa delik biasa? Tapi kalau delik aduan sudah pasti proses segera dihentikan.
Para pelapor adalah mereka yang ahli hukum. Maka, laporan dibikin sebagai ‘pernyataan bohong’ atau ‘kebohongan publik’. Ada juga laporan polisi yang fokus pada tuduhan hate speech (ujaran kebencian). Itu diatur di:
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Bunyinya: “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras dan antar golongan (SARA) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dipidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan atau denda paling banyak Rp 1.000.000.000.”
Supaya gambaran jadi jelas, berikut kutipan pernyataan Rocky yang dipublikasi di YouTube milik Rafly Harun:
"Begitu Jokowi kehilangan kekuasaannya, ia jadi rakyat biasa. Enggak ada yang peduli nanti. Tetapi Jokowi ambisi. Jokowi adalah mempertahankan legacy-nya. Ia menawarkan IKN (Ibu Kota Nusantara), mondar-mandir ke koalisi, untuk mencari kejelasan nasibnya. Mondar-mandir ke China menawarkan IKN."
Dilanjut: "Ia mikirin nasibnya. Bukan nasib kita. Itu b*jing*n yang t*l*l, sekaligus b*jing*n pengecut. Kalau ia b*jing*n pintar, ia mau terima berdebat dengan Jumhur Hidayat. Ajaib, b*jing*n tapi pengecut.”
Terbaca seperti olok-olok anak, atau remaja, terhadap teman. Diksi ‘b*jing*n’ sering digunakan anak dan remaja, setidaknya anak yang belum lulus SMA terhadap teman sebaya. Sebagai olok-olok atau bisa juga sebagai gurauan.
Sesungguhnya itu tergolong penghinaan. Asli. Tapi karena penghinaan adalah delik aduan, dan Presiden Jokowi tidak mengaku, maka para pelapor beringsut hukum, dituduhkan sebagai kebohongan publik.
Misal, salah satu laporan polisi dari 25 laporan itu mengarah ke ‘kebohongan publik’. Supaya jadi delik biasa. Dengan argumentasi hukum: “Presiden Jokowi ke China bukan mondar-mandir tanpa tujuan. Melainkan dalam rangka mengemban tugas negara. Jadi, kalimat Gerung adalah kebohongan publik.
Karena semua itulah, Polri perlu minta pendapat 13 orang ahli. Dari berbagai disiplin ilmu. Sehingga prosesnya sekitar sebulan. barulah , Gerung dipanggil dimintai keterangan ke Mabes Polri.
Tapi setelah dijadwalkan Gerung akan dimintai keterangan pada Senin (4/9) ternyata Gerung tidak hadir. Tim kuasa hukumnya menyatakan, Gerung minta mundur dua hari, atau minta ditunda sampai Rabu, 6 September 2023.
Pihak tim kuasa hukum Gerung tidak memberi penjelasan, mengapa Gerung tidak bisa hadir. Gerung sendiri biasanya langsung mengumumkan di medsos, tapi kali ini tidak. Kendati, Gerung sudah siap dimintai keterangan pada Rabu.
Ini perkara kecil tapi pelik. Dibilang kecil, sebenarnya juga tidak bisa. Ancaman hukuman (berdasar UU Nomor 19 Tahun 2016) enam tahun penjara. Merujuk KUHAP (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana), jika polisi punya dua alat bukti hukum yang kuat, maka seandainya Gerung dinyatakan tersangka kelak, pasti langsung ditahan. Sebab, ancaman hukuman di atas lima tahun penjara.
Sebaliknya, perkara ini dibilang besar, juga tidak. Ini kasus biasa. Sangat-sangat sering terjadi. Biasa dilakukan banyak orang. Meledak sejak era medsos.
Saking biasanya, sampai-sampai para politikus yang mengejar kekuasaan, melakukan manuver promosi diri (supaya dapat kekuasaan). Dengan menyatakan bahwa, Gerung sedang mengkritik pemerintah. Kebebasan bicara, kebebasan kritik, dijamin hukum.
Pasal 28E ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan: “Setiap orang, berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.”
Lha… Gerung mengkritik, kok malah dipolisikan? Kan, cuma pemerintahan otoriter yang melarang kritik, membungkam kebebasan berbicara. Jangan lupa, kebebasan bicara dijamin UUD 1945, lho… Aturan hukum tertinggi di Indonesia.
Akibatnya, masyarakat Indonesia, terombang-ambing. Masyarakat kita punya tingkat lama sekolah (merujuk hasil sensus penduduk BPS tahun 2020) rata-rata 8,7 tahun. Atau rata-rata populasi Indonesia berpendidikan rata-rata putus di kelas tiga SMP. Dan, pelajaran tentang UUD 1945 sudah diajarkan sejak SD. Jadi, rata-rata masyarakat paham tentang UUD 1945.
Tapi, dikaitkan dengan pernyataan Gerung itu, apakah tergolong kritik atau olok-olok? Kebebasan bicara ataukah menghina?
Pastinya masyarakat dengan tingkat lama sekolah 8,7 tahun sangat sulit mencerna. Sebab, hal itu cuma bisa diurai para pendekar hukum. Dengan tingkat lama sekolah, minimal, 16 tahun (dua kali lipat banding rata-rata masyarakat), sehingga mencapai gelar sarjana hukum. Atau setidaknya lama sekolah 18 tahun, mencapai master bidang hukum.
Di situlah politikus yang sedang promosi diri, bermain. Melakukan manuver kata-kata. Di tengah masyarakat dengan tingkat lama sekolah segitu, dengan bobot materi persoalan hukum segitu.
Manuver kata-kata politikus itu, buat masyarakat rata-rata, bagaikan makan kue getuk lindri. Manis di lidah, tapi menyesak di kerongkongan. Orang Jawa bilang: Kesereten. Manis di bibir, tapi semrawut di rongga otak.
Di situlah politikus melihat kesempatan menggoreng isu. Menuai jumlah suara pilihan, atau coblosan di Pemilu 2024.
Supaya tidak semakin ruwet, berikut ini gambaran tentang ujaran kebencian versi Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB).
Dikutip dari dokumen resmi United Nations, berjudul Hate speech versus freedom of speech (Mei 2019), Sekretaris Jenderal PBB, António Guterres menyatakan begini:
“Aparat hukum menangani ujaran kebencian, tidak berarti membatasi atau melarang kebebasan berpendapat. Hal ini berarti menjaga agar ujaran kebencian tidak berkembang menjadi sesuatu yang lebih berbahaya, khususnya hasutan untuk melakukan diskriminasi, permusuhan, dan tindak kekerasan publik, yang dilarang berdasarkan hukum internasional.”
Maka, saya tidak ikut-ikutan (politikus) menafsirkan, apakah pernyataan Gerung itu kritik atau ujaran kebencian? Tidak. Saya tidak menyimpulkan itu. Terserah Anda saja. Saya cuma memotret persoalan.
*) Penulis adalah wartawan senior