Ternak Murai Jadi Pilihan Persiapkan Masa Pensiun
Kepala desa itu jabatan politis. Tidak selamanya menjabat. Ada batas waktunya. Begitu potongan obrolan dengan Kepala Desa Ngloram Kecamatan Cepu, Blora, Diro Beny Susanto. Pada suatu kesempatan siang menjelang azan Zuhur.
Di kandangnya dengan ukuran 15 x10 meter, terdapat 23 kandang kecil untuk sangkar sepasang burung murai Medan. Serta belasan anakan murai yang telah dipisah dari induknya. Pada sangkar berbeda.
Pertama kali masuk di kandang, sambutan kicauan khas Burung Murai bersahutan. Terbang ke sana kemari. “Ya, begini mas, kalau ada orang baru,” ujar Diro sembari menunjukkan situasi kandangnya.
Dia mengaku, mulai beternak sejak tahun 2018. Lantaran tertarik dan tergiur dengan nilai ekonomi dari beternak murai. “Saat itu kebetulan kami bersama rombongan perangkat desa ada agenda di Pujon, Malang,” kata penghobi burung ini.
Menyempatkan diri, mampir di salah satu kenalan. Dia melihat, peternakan burung murai berhasil. “Ada saran untuk mengembangkan. Saya tertarik,” jelasnya.
Sesampai di rumah, saya membeli tiga ekor anakan murai dari warganya yang telah lebih dulu mengembangkan murai. “Dari 3 ekor itu, saya belikan satu lagi. Akhirnya bisa bertelur dan berkembang sampai sekarang ini,” ungkapnya.
Menurutnya, dibanding memelihara sapi dia lebih memilih murai. Di samping lebih ringan perawatannya, juga harga jualnya lebih bagus. Sewaktu-waktu butuh, bisa lebih mudah dijual. “Gak perlu ngaritno. Dan kalau mau jual sapi, harus tunggu besar. Untuk beternak burung, tenaga tidak perlu ekstra. Mengingat usia dan masa pensiun juga dekat,” katanya.
Murai ini, menjadi pilihan utamanya. Untuk mempersiapkan masa pensiun dari kepala desa. “Kalau sudah tidak menjabat mau apa lagi. Kepala desa itu jabatan politis. Tidak selamanya menjabat,” ungkap Diro yang tiga tahun lagi purna dari kepala desa.
Lebih lanjut dia mengungkapkan, saat awal sebelum pandemi harga anak burung yang baru menetas bisa sampai Rp500 ribu per ekor. “Biasanya, satu sarang itu bisa dua sampai empat ekor laku terjual. Baru telur saja, sudah banyak yang antre,” kata dia.
Belum lagi, ketika burung itu sudah berusia satu sampai dua bulan. Harga setiap ekor bisa menyentuh jutaan rupiah. “Sebelum masa pandemi, saya bisa kirim ke pemesan di Jakarta sampai 10 kali dalam seminggu. Harga kisaran Rp1 juta sampai Rp5 juta,” ujarnya.
Belum lagi, lanjut dia, yang anakan diambil langsung oleh pembeli. “Tiga ekor usia 10 hari, dihargai Rp1,5 juta,” tambahnya.
Untuk masa-masa pandemi sampai sekarang ini, memang agak sulit. “Untuk menjual anakan saja sulit. Dulu waktu masih di sarang sudah banyak yang pesan. Sekarang paling tidak bisa makan sendiri, baru bisa laku dijual, harganya pun lebih murah. Kisaran Rp500 ribu,” ujarnya.
Di samping itu, tantangan yang lain, banyak peternak baru. Yang membuat omzet semakin turun. “Mereka jualnya murah. Jadi pembeli lebih banyak pilihan,” jelasnya.
Jika dulu, pecinta burung murai hanya yang memiliki strata sosial dan ekonomi yang cukup tinggi. Sekarang ini, banyak masyarakat bisa memilikinya. Sebab, pemeliharaannya pun relatif lebih mudah.
“Harapannya Corona berakhir. Perburungan kembali menggeliat. Ngopine juga lancar,” pungkasnya sembari tersenyum.