Terlalu Tua Diajari Nasionalisme, Ini Pesan Kader Muhammadiyah
"Ki Bagus Hadikusumo yang merupakan hoofdbestuur atau Ketua Umum Muhammadiyah ikut dalam rapat BPUPKI. Bung Karno dalam rapat tersebut 14 kali merujuk usulan Ki Bagus," kata Hajriyanto.
Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Hajriyanto Y Thohari menyatakan, hari-hari di awal kemerdekaan Republik Indonesia dapat disebut sebagai Hari Muhammadiyah.
"Hari awal kemerdekaan mirip dengan hari Muhammadiyah, ayyam al-Muhammadiyah," ucap mantan Wakil Ketua MPR RI itu.
Hajriyanto menjelaskan demikian berdasar pada fakta banyaknya tokoh Muhammadiyah yang turut andil dalam peran penting membawa Indonesia menuju kemerdekaannya.
"Ki Bagus Hadikusumo yang merupakan hoofdbestuur atau Ketua Umum Muhammadiyah ikut dalam rapat BPUPKI. Bung Karno dalam rapat tersebut 14 kali merujuk usulan Ki Bagus," ungkap Hajriyanto, dalam pengajian rutin di PP Muhammadiyah Jakarta, belum lama ini.
"Jadi Indonesia terlalu tua untuk diajari tentang nasionalisme, multikulturalisme dan NKRI," tegas Hajriyanto.
Hajriyanto lebih lanjut menjelaskan, dalam rapat BPUPKI tersebut, yang memiliki status sebagai tokoh pemimpin partai dan organisasi nasional hanyalah Ki Bagus seorang. Bahkan, ketika Kaisar Hirohito mengundang dua tokoh mewakili Indonesia ke Tokyo untuk membicarakan kemerdekaan Indonesia, dua orang tersebut adalah Soekarno dan Ki Bagus Hadikusumo.
"Dua-duanya Muhammadiyah. Oleh karena itu, kemerdekaan Indonesia bagi saya adalah ayyamu (hari) Muhammadiyah," ujar Hajriyanto di depan jamaah pengajian yang memadati Aula KH Ahmad Dahlan Gedung Pusat Dakwah Muhammadiyah Jakarta.
"1927 Aisyiyah menggelar konferensi perempuan pertama di Indonesia. Kyai Dahlan mendirikan Hizbul Wathon (Partai Nasional) pada 1918. Kyai Dahlan memilih kata Wathon (negara), bukan Hizbullah (Partai Tuhan). Kyai Dahlan sudah cinta terhadap Indonesia," ujar Hajriyanto.
"Ketua Hizbul Wathon Muhammadiyah, Sudirman menjadi panglima TNI pertama. Setelah Indonesia merdeka dan didirikan KNIP, pak kasman terpilih. Juanda yang merupakan putra Muhammadiyah deklarasinya diterima oleh PBB sehingga luas Indonesia berubah total," lanjutnya.
"Bahkan pada 1922 Kiai Dahlan mendirikan PKO (Penolong Kesengsaraan Oemoem). Beliau berpidato bahwa hajatnya (pekerjaan, red) Penolong Kesengsaraan Oemoem adalah memberikan pertolongan kepada orang-orang yang sedang mengalami sengsara tanpa melihat perbedaan suku, bangsa dan agamanya," ungkap Hajriyanto.
"Jadi Indonesia terlalu tua untuk diajari tentang nasionalisme, multikulturalisme dan NKRI," tegas Hajriyanto.
Karena itu, Hajriyanto menyayangkan generasi muda Muhammadiyah yang mulai memandang kotor politik sehingga enggan untuk berjuang di dalamnya. Menurut Hajri, berjuang di dalam politik adalah warisan api sejarah para pendahulu Muhammadiyah.
"Oleh karena itu, didiklah putra putri Bapak Ibu untuk menjadi penyelenggara negara, mewarisi semangat para pendiri Muhammadiyah," pungkasnya. (adi)