Terkilirnya Otak Kanan Para Penjual Impian
Hirup pikuknya berita kemunculan ragam Kerajaan tak berakar, memunculkan pertanyaan sederhana. Kenapa ini terjadi? Kenapa pengikutnya lebih banyak lagi.
Hal yang sederhana, secara manusiawi, orang akan haus akan tiga hal utama. Kuasa, pengakuan, dan harta. Kadang, mereka bisa gelap mata dan sesat pikir, sehingga mau melakukan apa saja, agar semuanya mengada.
Tak heran, mereka juga rela berkonflik, atau berani menghadapi masalah, saat memperebutkannya. Menilik itu semua, fenomena kerajaan antah berantah itu, motifnya sepertinya komplit. Baik untuk para konseptor, pengikut, serta pengembira.
Semuanya akan bersinggungan dengan ketiga motif itu. Tentu yang paling jagoan, para konseptornya. Bisa jadi, kerja otak kanan mereka lebih dominan.
Jelas di beragam penelitian, otak kiri lebih banyak digunakan untuk proses berpikir secara logika. Serta juga dalam berbahasa. Sebaliknya, otak kanan lebih berperan untuk proses intuitif dan visual.
Para dalang mimpi kerajaan antah berantah ini, kemungkinan besar otak kanannya lebih dominan. Karena terbiasa berpikir tentang hal yang kreatif. Bisa juga, dia lihai meniru lalu dimodifikasi ke kanan-kiri.
Contohnya, Toto Santoso sangat Raja Keraton Agung Sejagat, Purworejo itu. Kabarnya, dia sebelumnya aktif di Sunda Empire. Bisa jadi, melihat nikmatnya status raja, gelimang uang yang ditarik dari pengikutnya, membuat dia membuka kerajaan sendiri.
Hal sama juga terjadi diurusan politik. Banyak partai bermunculan. Biasanya, karena dia kalah dalam pertarungan internal. Akhirnya bikin sendiri.
Bedanya, partai politik ada aturan hukum yang mengaturnya. Jadi urusannya bisa legal. Sejauh bisa melengkapi syarat administrasi.
Yang juga penting adalah kreatifitas menarik pengikut dan anggota. Agar makin membesar. Lantas, partai dipercaya publik saat Pemilu.
Apakah kuasanya sama? Tentu saja. Seorang teman pernah bercerita, dia pengen sekali jadi pengurus pusat partai politik. "Kalau kunjungan ke daerah, pasti disambut," jelasnya sambil tertawa.
Kuasa yang sama, juga akan terjadi jika Anda jadi pejabat negeri. Budaya protokoler, membuat standar penyambutan selalu ada di sini. Siapa tak bahagia, saat mendarat di bandara, di kaki tangga pesawat, para penjemput berjajar rata.
Menyambut dengan senyum dan takzim. Kadang dikalungi bunga. Juga dipayungi biar terlihat ada perlindungan alam semesta.
Eloknya, mulai banyak juga pejabat yang gerah dengan tetek bengek penyambutan. Mereka meminta disambut sederhana. Ala kadarnya saja.
Cumbuan kuasa dan harta, memang sangat memikat. Bila tak kuat mental, bisa jadi perkara. Juga ada unsur pidana.
Contohnya? Ya para petinggi kerajaan abal-abal itu. Mereka sudah dicokok Polisi. Wajahnya jadi berbeda, saat berseragam tahanan.
Tak ada aura kuasa. Sebagaimana saat mereka memakai baju kebesaran. Juga tanda pangkat di mana-mana.
Tanda pangkat, adalah penabalan instan atas pengaruh. Pemimpin, dinilai atas kiprahnya. Karyanya. Juga efek atas kerjanya.
Bisa saja banyak orang terlihat sibuk. Kesana-kemari, namun apakah ada efek atas kiprahnya? Kebaikan bagi sesama tentu saja.
Tak cuma di urusan mimpi jadi punggawa kerajaan atau urusan politik. Kerja otak kanan juga lancar untuk urusan berusaha. Karena di sana banyak uang yang bisa ditarik secara sukarela.
Jangan salah, contohnya, motif itu juga terekam bila kita melihat banjirnya investasi bodong. Khusus investasi, banyak yang menutupnya dengan beragam warna. Jamak digunakan untuk properti, perdagangan mata uang asing, perkebunan, atau cryptocurrency.
Yang sempat ramai adalah Kampoeng Kurma. Pendekatan yang dipakai, lebih komplit. Promosi gencar dilakukan. Baik lewat media sosial atau mengundang pesohor berpromosi.
Senjata lainnya yang juga digunakan adalah kata suci: syariah. Olah karenanya, mereka tak mengenalkan bunga. Tapi memilih bagi hasil penjualan.
Pengelola Kampoeng Kurma mengundang investor untuk menanam uang sebanyak Rp99 juta. Angka yang cantik sekali bukan. Kenapa angkanya tidak 100 juta?
Bagi kaum Muslim, angka 99 itu bisa diidentikkan dengan asmaul husna. Jumlah dari nama-nama Allah yang indah. Sebagaimana dalam hadist sahih. "Sesungguhnya Allah memiliki sembilan puluh sembilan nama – seratus kurang satu; barang siapa yang menghitungnya (ahsha’), akan masuk surga," (Abu Hurairah).
Bisa jadi, ada kecerdikan lain dan motif terselubung menjual hal-hal berbau keimanan. Orang akhirnya muda terbelokan, terbuai dengan para aktivis otak kanan yang terkilir itu. Janjinya, uang akan dipakai untuk mendirikan permukiman syariah. Di dalamnya akan dibangun kolam renang, pacuan kuda, dan area memanah.
Kaveling Kampoeng Kurma, kabarnya, tersebar di enam wilayah. Dari Cirebon, Cipanas, hingga Banten Selatan. Sebagai imbalan, pengelola memberikan investor lahan 400 meter. Lebih cerdik lagi, di lahan itu akan ditanami lima pohon kurma.
Bujuk rayunya lebih dahsyat. Bagi hasil dari penjualan pohon ini diklaim pengelola bisa dijual seharga Rp30 juta per pohon. Ada janji uang besar dan ketaatan menjalankan syariat beragama. Komplit sekali bukan. Namun, bagai Otoritas Jasa Keuangan, bila tak terdaftar dan berijin, semuanya bodong.
Urusan janji uang adalah segalanya. Termasuk bagi para pengikut kerajaan antah berantah itu. Para pengikut Raja Toto dijanjikan mendapatkan gaji dolar Amerika Serikat. Namun, mereka harus membayar uang. Jumlahnya bervariasi.
Makin besar nilainya, makin tinggi janji pangkat dan gajinya. Misalnya bila membayar Rp8,5 juta, ia bisa mendapat gelar bintang tiga. Gaji dolarnya akan cair setiap selesai sidang.
Yang tergiur, bahkan tak cuma pengganguran,. Bahkan mereka yang bekerja. Ada pengikut, seorang perangkat desa bergaji Rp300 ribu per bulan. Mungkin berharap, jadi punggawa kerajaan akan meningkatkan pendapatan, juga harkat dan martabatnya.
Janji itu, selalu dilingkupi dengan beragam penguat bombastis. Simak saja pengakuan Raja Toto atau petinggi Sunda Empire. Kedua kerajaan itu mengaku menguasai seluruh dunia.
Beberapa lembaga internasional juga dianggap kelengkapan kerajaan. Makin tak masuk akal. Tapi, pernyataan yang dibuat berulang-ulang, dengan indoktrinasi, akan dipercaya sebagai kebenaran.
Dengan kondisi seperti ini, tentu kita makin heran. Sebenarnya siapa yang otaknya terkilir? Para konseptornya atau para pengikut kerajaannya? Keduanya sama-sama sesat pikir.
Tapi ada satu fakta penting. Ternyata hal tak masuk akal bisa laris jadi dagangan. Tentu saja, menghasilkan uang.
Ajar Edi, kolomnis Ujar Ajar