Terkait Pro-Kontra Film “Pemberontakan G30S/PKI”, Prof Haryono: Kedewasaan Kita Sedang diuji
Malang: Muncul pelbagai pendapat terkait pemutaran film G30S/PKI, pada pemimpin negeri ini sedang menghadapi polemik. Ada yang mendukung film karya Arifin C Noer yang digarap di masa keemasan Soeharto itu, agar diputar kembali menjelang Hari Kesaktian Pancasila 1 Oktober. Namun, tak kurang yang menolaknya.
Dalam hal ini, Presiden Joko Widodo berpendapat perlunya dibikin kembali ihwal pemberontakan PKI 1965 itu dengan model milenial, yang bisa ditonton generasi muda sekarang. Menanggapi hal itu, sejarawan Prof Dr Haryono dari Universitas Negeri Malang (UM) memberikan beberapa pernyataan.
Berikut disampaikan untuk ngopibareng.id, Ahad (24/09/2017) selengkapnya:
Tatkala masing masing elemen bangsa bersikukuh dengan posisinya sehingga ruang perjumpaan dan dialog yang kritis dan jujur tidak berkembang maka keberadaan kita sebagai sesama elemen bangsa sulit menyatu. Konsekuensinya kita sulit menatap masa depan yang lebih baik akibat masing masing pihak terbelenggu dalam imanensi yang penuh dendam. Kisah masa lalu walaupun pedih diungkapkan secara jujur itu baik. Tetapi tatkala kita sendiri tidak bisa melampaui masa lalu berarti kita memang masih kanak kanak alias belum dewasa.
Energi untuk bersaing dengan bangsa lain tersedot untuk bersaing sesama elemen bangsa. Bangsa lain sudah bicara dan meneliti kehidupan ruang angkasa. Mereka sadar hightech memerlukan hightouch. Kemajuan iptek diimbangi dengan kedewasan dan jiwa besar. Sementara itu sebagian bangsa Indonesia masih sibuk mengungkap luka dan dendam sesama anak bangsa. Bangga dengan kisah kelompoknya tetapi sulit memahami kisah kelompok atau perspektif lainnya. Ruang dialog untuk saling membuka pikiran dan hati seolah sulit untuk berkembang.
Tetapi saya yakin kita bangsa Indonesia bisa dewasa dan menjadi bangsa besar. Bukankah sejarah dapat membuat orang bijak. Untuk itu kita semua membutuhkan sejarawan bijak dan visioner. Kisah kisah heroik yang inspiratif dengan visi kebangsaan dapat memperkokoh tali persatuan dalam kehidupan masyarakat yang bhineka tunggal ika.
Kita bisa belajar dari sejarah, melakukan refleksi untuk menggali kebenaran dan membangun peradaban yang berbasis pada logika, etika dan estetika yang dinamis, membebaskan dan mencerahkan.
Dan kita sejarawan memiliki tanggungjawab moral dengan membawa obor pencerahan dan pendewasaan bangsa Indonesia menuju masa depan yang lebih baik. Menjadi bangsa besar membutuhkan pikiran dan jiwa besar sebagaimana telah dicontohkan para pendiri bangsa.
Kita sejarawan bersyukur karena dapat membaca, meneliti, menulis dan belajar dari sejarah sehingga potensi untuk menjadi orang bijak lebih besar dibandingkan profesi lain.
Salam sejarawan.
“Ini perlu saya sampaikan supaya tahu konteks. Setelah beberapa sejarawan masih sibuk dengan perspektif masing masing,” tutur Prof Haryono, Wakil Rektor I UM. Dan itu berkembang di group WA sejarawan. (adi)