Terkait Kepulangan Mantan Kombatan ISIS, Ini Sikap Muhammadiyah
PP Muhammadiyah memberi dukungan pemerintah dalam menyikapi masalah kepulangan mantan kombatan ISIS. Ormas terbesar kedua setelah NU ini, bersama pemerintah dalam kesatuan misi membahas beberapa persoalan global dari masalah kemerdekaan Palestina, sampai nasib kepulangan mantan simpatisan ISIS ke tanah air.
“Kami mendukung untuk menolak keberadaan ISIS, di mana pun. Baik yang ada di Timur Tengah, apalagi sampai masuk Indonesia. Islam Indonesia ini harus dibebaskan dari kecenderungan paham radikal-ekstrem dalam bentuk apapun. Telah kami sampaikan dan diskusikan tadi dengan bu Menlu,” tegas Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir, dalam keterangan Kamis, 13 Februari 2020.
Sebelumnya, Haedar Nashir menyambut silaturahmi Menteri Luar Negeri (Menlu) Retno Marsudi pada Rabu 12 Februari 2020 di Kantor Pimpinan Pusat Muhammadiyah Yogyakarta.
Haedar menegaskan, Muhammadiyah dan pemerintah Indonesia satu pandangan bahwa ISIS merupakan organisasi terlarang yang memiliki ideologi ekstrem. Akan tetapi sejak ISIS dibombardir dan mulai lenyap, gelombang ratusan kombatan ISIS telah menyerahkan diri dan ribuan warga sipil telah eksodus ke kamp pengungsian.
Permasalahan utama yang segera timbul adalah menyangkut nasib eks kombatan ISIS, yang umumnya berasal dari berbagai negara, termasuk Indonesia. Di tanah air, wacana kepulangan kombatan ISIS ini kemudian menjadi perdebatan baru yang melahirkan pro-kontra.
“Kalau Muhammadiyah membagi dua hal, satu yang kombatan ISIS dan memang mereka sudah tidak lagi WNI, ya, pemerintah sudah mengambil jalan yang pas untuk tidak memulangkan mereka. Tapi perlu dibuka opsi bagi anak-anak dan perempuan yang jadi korban.
"Atau mereka yang mau kembali tetapi dia juga secara sadar ideologinya yang dulu itu salah, itu bisa dibuka opsi pulang,” terang Haedar.
Haedar menawarkan agar opsi pulang harus melalui prosedur semacam karantina ideologis. Hal tersebut penting dilakukan agar eks kombatan ISIS ini tidak menjadi virus baru yang menyebarkan terorisme di Indonesia.
Kekhawatiran ini tentu tak berlebihan, mengingat jumlah mereka yang lebih dari 600 orang tak bisa dikatakan sedikit dan dianggap sepele. Karena itulah Haedar menilai dalam masalah ini peran Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) sangat dibutuhkan.
“Untuk apa kita memiliki BNPT tapi kalau tidak digunakan untuk membina masyarakat yang sudah kadung radikal-ekstrem baik yang ada di dalam maupun yang ada di luar negeri. Tapi itu harus merujuk pada verifikasi data dan seleksi yang saksama. Dan Muhammadiyah siap membantu memoderasi eks kombatan ISIS,” ujar Haedar.