Terkait Dana Parpol, KPK: Parpol Seharusnya Mandiri
Menjelang masa pemilihan presiden (pilpres) dan pemilihan legislatif (pileg) 2019 mendatang, beragam polemik terkait usulan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) RI yang menganjurkan agar pemerintah mendanai 50 persen biaya partai politik (parpol) masih menjadi perbincangan hangat hingga saat ini.
Direktur Gratifikasi KPK RI, Giri Supradiono mengatakan, partai politik seharusnya mandiri dan tidak tergantung pada oligarki terhadap pemilik partai. Menurutnya, hal itu akan merusak demokrasi internal partai.
Giri meyakini strategi pendanaan parpol seperti itu lebih efisien. Ia pun menganalogikan seperti mengganti makanan dengan cara yang halal.
"Dengan adanya upaya itu, saya dapat memprediksi akan ada proses percepatan dalam parpol," kata Giri saat menjadi pembicara dalam diskusi publik Pencegahan Korupsi di Sektor Politik, Kamis, 13 Desember 2018 di Universitas Airlangga, Surabaya.
Dalam survei terbaru yang dilakukan Transparancy International, Indonesia menempati peringkat 96 (dari 180 negara di dunia) pada Indeks Persepsi Korupsi 2017. Skor yang diperoleh Indonesia dalam daftar indeks tersebut adalah 37, masih sama seperti skor yang didapat Indonesia di tahun sebelumnya.
Giri mengingatkan bahwa Indeks Persepsi Korupsi (IPK) sejatinya menggambarkan berbagai komponen penentu seperti layanan publik, kepastian hukum, kemudahan berbisnis, relasi antara politik dengan bisnis, dan lainnya. Perbaikan sejumlah parameter itu tak hanya menjadi tugas KPK saja, tapi juga seluruh pemangku kepentingan di Indonesia.
"KPK tak merasa keberatan jika diberikan tugas untuk menaikkan skor IPK. Namun, hal tersebut akan sulit dicapai tanpa dukungan pihak lain. Walaupun skor kita 37, tapi Indonesia itu lebih baik daripada China perbaikannya. China hanya mampu menaikan skor selama 13 tahun itu hanya 7 skor. Malaysia malah turun minus 4, pada tahun 2015," ujar Giri.
Dengan adanya perbaikan sistem politik ini, Giri menilai akan jauh lebih ada perceptaannya. "Kita punya PR besar. Satu politik dan kedua adalah politik penegak hukum. KPK sudah menangani banyak kepala daerah dan banyak penjabat, tapi hanya menangani dua orang polisi," katanya.
Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), M Nurhasim menjelaskan persoalan tantangan demokrasi parpol ke depan. Menurutnya, kajian-kajian yang LIPI buat dari 10 tahun terakhir untuk parpol tersebut, ada gejala personalisasi partai yang sangat akut.
Bahkan ia menilai ada demokrasi internal yang mati karena sebagain proses pergantian pengurus serta manjemen pengelolahan partai dan pembuatan keputusan dan lain sebagainya itu hanya ditentukan oleh sebagian orang.
"Sedikit sekali yang memiliki mekanisme demokrasi internal yang terlembaga. Padahal, partai politik ini instrumen utama demokrasi. Tetapi kalau mereka tidak bisa mempraktikkan demokrasi, bagaimana masa depan demokrasi Indonesia," ujarnya.
Lebih lanjut Nurhasim menjelaskan, untuk masalah pendanaan parpol, berdasarkan penelitian LIPI saat ini, sebagian besar parpol sangat bergantung dengan nama besar, atau orang yang mempunyai kedudukan dan bermodal.
"Dan ini sebenarnya kebalikan dari perilaku para parpol yang seharusnya tidak seperti itu," katanya. (amm)