Terjadi Pandemi Nurani, Ini Keprihatinan Pemimpin Muhammadiyah
Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir mengingatkan, saat ini telah terjadi pandemi Covid-19 yang ternyata seiring juga terjadi pandemi nurani bagi kaum elit di Indonesia.
Ia mempertanyakan apakah kondisi kuasa mutlak dalam praktik politik oligarki setelah dua dekade reformasi ini akan berakhir atau sebaliknya semakin dominan?
"Demokrasi di negara modern dipilih bukan karena ini merupakan sistem ideal, melainkan karena dipandang memiliki kekurangan lebih sedikit dibandingkan dengan sistem lainnya. Sebutlah sistem teokrasi, oligarki, diktatorial, dan sebagainya," tuturnya.
Sistem politik demokrasi memerlukan prasyarat dan instrumen yang mendukung. Demokrasi dari aspek subjek dan budaya politik meniscayakan rakyat yang melek politik.
Dalam pemikiran Almond dan Sidney, budaya politik dengan pengetahuan rendah menumbuhkan sikap parokial, yakni partisipasi politik terbatas dan pasif.
Demokrasi meniscayakan orientasi politik partisipan berbasis pengetahuan dan daya kritis. Harus ada kekuatan kontrol yang proaktif mengawasi jalannya pemerintahan. Bukan rakyat yang apatis dan permisif sekadar menyalurkan suara gratis.
"Demokrasi selain memerlukan dukungan sistem checks and balances, pada saat yang sama meniscayakan integritas moral elite. Elite yang dipilih rakyat wajib memiliki kesadaran etik dan tanggung jawab politik yang tinggi," kata Haedar Nashir.
Mandat rakyat dengan segala aspirasi dan kepentingannya harus menyatu dalam jiwa, pikiran, sikap, dan tindakannya bermuruah negarawan.
"Ketika merancang dan mengambil keputusan politik, yang menjadi patokan adalah kepentingan rakyat, bukan pihak lain. Bila ingin membangun legasi politik pun harus demi rakyat, bukan untuk kemegahan diri," tuturnya.
Jika kredo vox populi vox dei dikonstruksi secara keruhanian, para elite di pemerintahan dan parlemen penting memiliki kesadaran etik dan teologis. Ada jiwa Ketuhanan Yang Maha Esa sekaligus berdemokrasi yang dibangun atas musyawarah, hikmah, dan kebijaksanaan. Itulah esensi demokrasi berjiwa Pancasila. Pancasila di dunia nyata, bukan keindahan jargon dan kata-kata.
Dalam menjalankan mandat rakyat, ada pertanggungjawaban moral profetik keilahian. Tidak semata urusan duniawi yang bernilai guna. Ketika memperjuangkan hajat hidup rakyat dengan benar maka akan mendapatkan kebaikan Ilahi.
Sebaliknya, jika menyalahgunakan dan merugikan rakyat, ia akan berhadapan dengan murka Tuhan. Dalam pesan Nabi, barang siapa yang menyia-nyiakan amanat rakyat diancam dengan neraka jahanam. Meski bagi yang bebal diri akan mengingkari, jangan bawa nama Tuhan dalam berdemokrasi.
Bila elite politik dan pejabat negeri sudah kehilangan kesadaran etik dan nurani autentik, yang tumbuh angkuh kuasa. Aspirasi publik dianggap angin lalu. Suara Tuhan pun tidak akan didengar karena nuraninya nan fitri terkunci sangkar besi. Nurani elite negeri mengalami lockdown akibat pandemi serba-indrawi.
Kendati rakyat marah dan anarki tumpah di segala arah, para elite angkuh diri itu tetap bebal kuasa. Kaum beriman tinggal bersandar doa, "Wa Ilaihi turja’ al-‘umur." (QS Yunus: 56).
"Segala urusan kita pasrahkan kepada kuasa Tuhan Yang Maha Perkasa. Dialah Dzat Pemilik Segala Keputusan!"
Demikian penjelasan Haedar Nashir, yang sebelumnya dimuat di Republika pada Sabtu 10 Oktober 2020.