Terinspirasi Ibnu Hajar, Kakek-kakek Tak Malu Belajar Baca Quran
Umur tidak menjadi halangan untuk belajar membaca Alquran. Meskipun sudah kakek-kakek, para manula ini tetap bersemangat dan tidak malu belajar Iqra. Sedang di antara mereka menyebut anak dan cucu mereka sudah khatam Alquran 30 juz.
Keseriusan belajar membaca Alquran ini terlihat di Majelis Taklim Mushala Assalam di kawasan Kebun Jeruk Jakarta Barat. Setiap Jumat malam, ada sekitar 20-25 santri lansia belajar bareng membaca Alquran. Mereka diasuh seorang hafidz Quran, Abdul Muhaimin yang biasa dipanggil Ustadz Abduh.
"Bapak-bapak ini menunjukkan bahwa semangat dan kemauan mereka untuk bisa membaca firman Allah tersebut tak terhalang oleh umur," ujar sang ustadz.
Semangat para santri manula ini membuat Ustadz Abduh bangga. Di usianya yang baru 29 tahun, Ustadz Abduh dipercaya sebagai guru oleh para santri yang umurnya rata-rata di atas kepala empat.
"Sebagai guru ngaji ada kebanggaan tersendiri ketika melihat ada murid yang semangat belajarnya cukup tinggi. Soal kecerdasan dalam menyerap pelajaran bagi saya nomor berikutnya," katanya.
Kesabaran Ustadz Abduh diuji ketika ada sebagian santrinya sedikit terlambat proses menghafalnya dibanding santri lainnya. "Mengajar bapak-bapak kalau lambat menyerap pelajaran tidak harus dibentak-bentak, atau digebuk pakai rotan hingga disuruh berdiri di depan kelas seperti zaman dulu, ya nggaklah," ucapnya.
Dalam penilaian sang ustadz, tingkat kecerdasan setiap murid berbeda-beda. Ada yang sudah bisa membaca Alquran tapi mahrot dan tajuitnya masih belepotan. Ada yang belum kenal sama sekali dengan huruf hijaiyah. Namun, bagi Ustadz Abduh tidak masalah.
Alumnus Pondok Pesantren Salaf di daerah Parung, Bogor ini kemudian mengambil contoh seorang murid yang bernama Ibnu Hajar. Kemampuan menyerap pelajaran dari gurunya di bawah rata-rata, sampai membuatnya putus asa. Dia pun akhirnya pergi meninggalkan gurunya, tidak mau belajar lagi.
Dalam perjalanan pulang ke rumahnya, Ibnu Hajar melihat batu padas yang berlubang sedikit demi sedikit karena tetesan air. Dia pun merenung. Batu sekeras itu bisa berlubang karena tetesan air, apalagi otaknya pasti bisa ditembus oleh pelajaran dari gurunya.
"Berkat kemauan yang keras dari Ibnu Hajar, dan kesabaran gurunya, 'anak batu' ini akhirnya menjadi seorang ilmuan muslim yang hebat," kata Ustadz Abduh.
Dan cerita ini menginspirasi dirinya ketika menghadapi murid yang bebal. "Saya selalu membuat murid saya enjoy," kata sang ustadz yang mengajar di beberapa majelis taklim di Jakarta.
Ibnu Hajar Al Asqalani yang dijadikan motivator Ustadz Abduh sebagai guru, adalah seorang ahli hadits dari mazhab Syafi'i yang terkemuka. Nama lengkapnya adalah Syihabuddin Abul Fadhl Ahmad bin Ali bin Muhammad. Lahir pada 18 Februari 1372 di Kairo, Mesir.
Salah satu peserta belajar Alquran bagi lansia di Mushala Assalam, Nur Matios, menuturkan bahwa dirinya lebih malu karena tidak bisa membaca Alquran, daripada malu belajar karena sudah tua.
Penggemar sate padang ini sudah cukup lama ingin belajar membaca Alquran, tapi belum menemukan guru yang pas. "Baru sekarang ini ada guru yang mengerti kemauan saya, dan membimbing saya dengan sabar," kata Matios yang baru naik kelas ke juz amma, setelah lulus dari metode Iqro.
Kegembiraan bisa membaca Alquran juga disampaik oleh Budi. "Setelah saya bisa membaca sedikit sedikit, malah ketagihan, bahkan ingin bisa menjadi penghafal Alquran," ungkap dia.
Ketua Takmir Mushala Assalam, Chaidir mengatakan, belajar Alquran ini terbuka untuk umum. Tujuannya untuk mendorong umat Islam khususnya jemaah Assalam, supaya lebih bersungguh-sungguh mempelajari kitab suci Alquran.
"Alquran yang diwayuhkan oleh kepada Rasulullah Muhammad, bukan sekedar bacaan, tapi merupakan petunjuk bagi orang yang bertakwa karena mencakup semua aspek kehidupan," ujar Chaidir.
Advertisement