Tergugat Kasus Popok Tak Siap, Sidang Ditunda
Sidang kasus gugatan pencemaran Sungai Brantas oleh sampah popok terpaksa ditunda. Penundaan dikarenakan para tergugat tidak membawa surat kuasa.
Para tergugat dalam kasus ini adalah Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Republik Indonesia, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat l (PUPR), Gubernur Jawa Timur, dan Balai Besar Wilayah Sungai Brantas.
Sedangkan para penggugat yaitu dua wanita warga Surabaya bernama Mega Mayang Kencana dan Riska Dermawanti,
"Para tergugat seluruhnya tak membawa surat kuasa," kata majelis hakim, di Ruang Candra, Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, Kamis, 14 Maret 2019.
Kuasa hukum penggugat Rulli Mustika Adya menyayangkan para tergugat itu tidak membawa surat kuasa.
"Kami menyesalkan, karena para tergugat tidak membawa surat kuasa," kata Rulli, ditemui usai persidangan.
Rulli menambahkan gugatan ini sebenarnya dilayangkan oleh kliennya pada 11 Februari 2019 lalu dengan tergugat Gubernur Jawa Timur Soekarwo. "Jadi, Gubernur Khofifah ini kena awu angetnya," kata dia.
Kata Rulli, seusai dilantik Khofifah memang langsung melakukan upaya pembersihan dan pengawasan sampah popok di Brantas. Namun, menurut Rulli upaya itu tak mengugurkan upaya hukum. Hukum akan terus berjalan dan tak berlaku surut.
Ada enam tuntutan yang dilayangkan kepada empat instansi pemerintah antara lain, menuntut para tergugat untuk meminta maaf kepada sungai Brantas dan warga Jawa Timur yang dimuat di media cetak maupun elektronik.
"Yang kedua memerintahkan para tergugat untuk melakukan pemasangan 2.020 CCTV di jembatan sungai wilayah DAS Brantas untuk meningkatkan fungsi pengawasan para pembuang popok sekali pakai liar," kata dia
Lalu yang ketiga memerintahkan para tergugat menetapkan kebijakan SOP terkait penanganan sampah popok sekali pakai di Jawa Timur.
Kemudian tuntutan keempat memerintahkan para tergugat untuk membersihkan sampah popok sekali pakai yang tersebar di media lingkungan khususnya DAS Brantas Jawa Timur.
Kelima, memerintahkan DLH Kabupaten/Kota untuk melakukan koordinasi dengan produsen popok dan masyarakat pengguna popok dalam tata cara pengembalian yang menjadi tanggung jawab antara pihak produsen dan masyarakat.
Dan yang terakhir memerintahkan para tergugat menyelenggarakan kerja bakti bulanan untuk mengevakuasi popok sekali pakai.
"Inti dari keseluruhan itu, kami meminta pemerintah mengeluarkan regulasi yang jelas soal pencemaran Brantas dari sampah popok," kata dia.
Sementara itu, di saat yang sama, sejumlah aktivis lingkungan dari Yayasan Kajian Ekologi dan Konservasi Lahan Basah atau Ecological Observation and Wetlands Conservation (Ecoton) juga menggelar aksi di depan PN Surabaya.
Dalam aksi itu sejumlah aktivis juga membentangkan poster bertuliskan 'Rivers Without Diapers', 'Bebaskan Kali Brantas dari Sampah Popok' dan '2019 Ganti Popok'.
Direktur Eksekutif Ecoton Prigi Arisandi mengatakan berdasarkan pengamatannya, setidaknya dalam 3 tahun terakhir sampah popok sekali pakai menjadi momok bagi sungai Brantas.
"Setiap hari ada 1 juta popok yang dibuang di sungai Brantas. Popok sekali pakai menempati urutan ke-2 sampah terbanyak setelah sampah plastik," kata dia.
Prigi mengatakan, berdasarkan penelitian Ecoton ada beberapa jenis sampah yang mencemari ekosistem Brantas, yakni urutan pertama sampah plastik sebesar 47persen, sampah popok sekali pakai sebesar 37 persen, ketiga ranting dan tanaman sebesar 14 persen, dan terakhir sampah baju, jaket, dan lainnya sebanyak 7 persen.
"Lemahnya pengawasan dan ketidakmauan pemerintah untuk menangani Sungai Brantas menjadi salah satu penyebab kerusakan Sungai Brantas," kata Prigi. (frd)