Tergesa Buka Puasa Tongseng Guk Guk
PENGLIHATAN batin memang sesuatu yang amat istimewa. Tidak heran kalau itu merupakan salah satu sumber kekaguman Eny Sagita, sebagaimana ia ungkapakan dalam ode yang dinyanyikannya untuk Gus Dur,
Nadyan cacat netramu
Nanging ngerti batinmu
Endi kucing endi asu
(Walau terhalang penglihatanmu
Tapi tahu saja batinmu
Mana kucing mana asu)
Penglihatan batin mungkin semakna dengan intuisi, yang di Wikipedia didefinisikan sebagai “pengetahuan yang datang begitu saja” (understanding without apparent effort). Paham tanpa ukara. Melihat tanpa mata. Sedangkan yang dilihat adalah kesejatian. Itu bisa menghindarkan salah penilaian ditengah dunia yang kian rancu ini. Dunia yang konon –gara-gara revolusi media—kian dikangkangi oleh simulakra. Citra yang direka supaya kita mempercayainya. Seakan kita hidup untuk ditipu. Krembyah-krembyah di genangan dusta.
Yang seolah ulama pejuang ternyata preman kampungan. Gambaran remaja manis yang bersahaja menutupi promiskuitas asal suka. Parpol canggih yang mengaku terbuka sebenarnya gerakan angkara yang cita-citanya menindas semua diluar dirinya. Citra jagoan ganteng penuh derita menyembunyikan sosok raksasa pemakan segala.
Padahal, salah menilai berarti salah bertindak. Apalagi kalau kita tergesa-gesa.
“Tergesa-gesa itu dari setan”, Hatim Al ‘Ashomm, pemuka para sufi, menasehati, “kecuali lima yang termasuk sunnah Nabi Kita Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam: menyuguh tamu begitu datang, mengupakara mayit begitu wafat, menikahkan anak perempuan sesudah baligh, membayar hutang saat jatuh tempo dan bertobat kalau terlanjur maksiat”.
Bahkan ibadah mahdloh tidak termasuk diantara yang lima itu. Berlari-lari ke masjid untuk mengejar jama’ah tidaklah dianjurkan. Berbagai ibadah seyogyanya disegerakan, tapi tak baik juga jika tergesa-gesa.
Bulan Ramadlan tahun itu, Rustamhari tidak ikut “pasaran” di pondok. Walaupun belum khatam Jurumiyah, dia sudah dipercaya menjadi imam taraweh di masjid Muhammadiyah kampungnya. Maka untuk kuliah pun ia harus ngelajo sementara, dari Godean yang sekitar 25 kilo dari Yogya.
Pulang kuliah sore hari, Rustam menggeber Yamaha bututnya. Tapi waktu yang tersisa jelas tak cukup untuk menyelesaikan jarak Bulaksumur-Godean yang begitu jauhnya. Baru setengah jalan, maghrib sudah tiba. Sayup-sayup adzan terdengar, dan ia pun langsung berhenti di sebuah warung tenda pinggir jalan.
“Masakannya apa saja, Pak?”
“Biasa, Mas… tongseng… sate…”
“Tongseng!” ia memesan serta-merta.
Ia harus cepat supaya masih ada sisa waktu untuk sholat maghrib di rumah. Tongseng ditelannya dengan tergesa-gesa, nyaris tak meluangkan waktu untuk menikmati rasanya. Tongseng habis, ia pun buru-buru menanyakan harga.
“Rp 350,-“
“Lho? Kok murah banget?”
“Memang harganya segitu, Mas… mosok mau dimahal-mahalkan…”
Ketika hendak menyengklak motor lagi, barulah terbaca olehnya tulisan di tenda warung itu: “Tongseng Asu!”
Jadi?!
Itulah akibat tergesa-gesa. Rustamhari amat menyesal telah berbuka puasa dengan tongseng asu. Walaupun sebenarnya ia bukan penggemar tongseng kucing.
(Dikutip dari Terong Gosong Yahya Cholil Staquf)
Advertisement