Terdakwa Kasus Candaan Bom di Pesawat Divonis 5 Bulan Penjara
Hakim Pengadilan Negeri Mempawah, Kalbar, memvonis terdakwa Frantinus Nirigi (FN) dalam kasus candaan bom dalam pesawat Lion Air JT 687, selama 5 bulan sepuluh hari.
Vonis majelis hakim yang diketuai I Komang, Rabu, 24 Oktober 2018 ini lebih rendah dari tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) yang menuntut terdakwa dengan tuntutan selama delapan bulan.
Vonis pidana penjara lima bulan sepuluh hari terhadap terdakwa Frantinus Nirigi karena pertimbangan perbuatan terdakwa pada 28 Mei 2018 yang telah meresahkan dan berdampak merugikan pihak maskapai penerbangan, dan tidak mengakui perbuatannya telah mengucapkan ada bom di dalam tas.
Ia menjelaskan, berdasarkan pertimbangan yang memberatkan itu, dia pun menjatuhkan pidana lima bulan sepuluh hari terhadap terdakwa dengan dipotong masa tahanan yang telah dijalani terdakwa selama proses hukum.
Terdakwa dinilai terbukti melanggar pasal 437 ayat 1 UU No. 1/2009 tentang Penerbangan yakni menyampaikan informasi palsu yang membahayakan keselamatan penerbangan. Sementara pada pasal primer yang dituduhkan, yakni pasal 437 ayat 2 UU No. 1/2009 tentang Penerbangan tidak terbukti.
Sementara itu, terdakwa Frantinus Nirigi mengaku kecewa atas putusan majelis hakim PN Mempawah yang menjatuhkan vonis atas pertimbangan soal pengakuannya yang menyebut membawa bom di salah satu media massa adalah pengakuan yang dipaksa oleh penasihat hukum sebelumnya.
"Jadi saat memberikan keterangan, saya disuruh penasihat hukum sebelumnya untuk mengakui ucapan bom dengan janji dapat meringankan hukuman," kata Nirigi sebelum dibawa ke mobil tahanan.
Menanggapi putusan vonis majelis hakim PN Mempawah yang berdasarkan pada pengakuannya di media massa itu, terdakwa menyatakan sangat kecewa. "Pengakuan saya di media masa itu, dipaksa. Saya membaca catatan yang telah ditulis penasihat hukum sebelumnya," ungkapnya.
Paman terdakwa, Nason Uti mengatakan, pihak keluarga menerima putusan majelis hakim itu dengan hati, pikiran dan perasaan kecewa.
"Jelas sangat tidak terima, karena anak kami ini bukan pelaku. Pelaku utama yang membuat kekacauan di dalam pesawat adalah pramugari Lion Air tersebut," ujarnya.
Ia menilai, seharusnya pramugari tahu, jika penumpang sudah berada di dalam pesawat berarti sudah menjalani pemeriksaan di mesin X-ray baik terhadap badannya maupun tas atau bawaan yang dibawa setiap penumpang.
"Pramugari Lion Air lah yang harus bertanggung jawab atas kasus ini, dalam hal ini Nirigi adalah masyarakat yang dizalimi," katanya.
Penasihat Hukum terdakwa Frantinus Nirigi, Andel mengaku menghormati putusan yang sudah ditetapkan majelis hakim. Hanya saja tidak ada bukti yang kuat untuk mempermasalahkan terdakwa atau kliennya.
"Putusan hakim itu titik beratnya merujuk pada pengakuan terdakwa di media masa yang mengaku mengucapkan ada bom di dalam tasnya. Padahal ucapan itu direkayasa oleh pengacara yang lama," kata Andel.
Penasihat hukum terdakwa lainnya, Alosius Renwarin mengaku akan mengajukan banding atas putusan majelis hakim PN Mempawah, karena menurutnya putusan itu tidak sesuai dengan fakta-fakta di persidangan.
"Kami punya bukti surat pengakuan klien kami yang dikonsep pengacara dengan janji akan dibawa pulang," katanya.
Bukti itu, dia menambahkan, akan pihaknya sampaikan pada banding di Pengadilan Tinggi Pontianak nanti. Dan tindakan pengacara sebelumnya juga akan dilaporkan ke Peradi. "Nirigi menyampaikan permintaan maaf atas ucapan yang tidak pernah diucapkan, dan kami sudah dapatkan buktinya," ujarnya.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) Rezekinil Jusar mengatakan, putusan yang ditetapkan majelis hakim lebih ringan dari tuntutan jaksa, yakni delapan bulan. "Apakah banding atau tidak itu menjadi hak terdakwa untuk pikir-pikir dalam tujuh hari ke depannya, dan hasil sidang hari ini akan kami laporkan ke pimpinan," katanya.
Sementara itu, Ketua Forum Relawan Kemanusiaan Pontianak, Stepanus Paiman mengaku menerima putusan majelis hakim dengan hati sedih. "Ini kenyataan bahwa hakim berpedoman pada dakwaan JPU yang berdasarkan pada berita salah satu media di Pontianak," katanya.
"Kami sudah cek tentang pengakuan Franstinus Nirigi tersebut dan ternyata pengakuan itu diminta oleh pengacara pertama dan mengonsepkan dengan tulisan tangan dan diminta terdakwa membacakan konsep permintaan maaf tersebut dengan alasan agar meringankan hukuman terhadap Franstinus Nirigi nanti," ucapnya.
Selain itu, majelis hakim PN Mempawah tidak mempertimbangkan pendapat saksi ahli hukum pidana yang mengatakan bahwa berita koran atau media tidak dapat dijadikan alat bukti, apalagi saksi tersebut tidak dihadirkan dalam persidangan.
"Saya akan melaporkan putusan ini pada Komisi Yudisial dengan bukti-bukti persidangan, karena dari awal kasus ini dipaksakan dan sudah terlihat penuh kejanggalan, sehingga kami akan terus mendampingi terdakwa dalam memperoleh keadilan," katanya. (ant/wit)
Advertisement