Terasa Seperti Kota Hantu, Bayangkan Indonesia Tahun 1970-an
Ibarat bumi dan langit. Itu jika membandingkan Beijing dan Pyongyang. Padahal keduanya sama-sama sebagai ibukota negara komunis. Itu yang saya rasakan saat berkunjung ke Ibukota Korea Utara bersama rombongan Presiden Megawati Soekarnoputri, tahun 2001.
Saat itu, rute kunjungan kenegaraan memang dimulai dengan mengunjungi Republik Rakyat China. Setelah itu baru ke Korea Utara. Dilanjutkan ke Korea Selatan dan India. Dari negara yang sedang tumbuh menjadi raksasa ekonomi dunia ke negara komunis yang tertutup dan miskin tapi punya senjata militer yang kuat.
Seperti umumnya rombongan kepresidenan, kami menginap di salah satu hotel bintang lima di dekat pusat pemerintahan. Saya lupa namanya. Namun, hotel bintang lima di Pyongyang fasilitasnya sama dengan hotel bintang tiga di Indonesia saat itu.
Kasurnya keras. Bantalnya juga tak senyaman hotel bintang 5 di sini. Kamar mandi menggunakan bath up. Tapi dengan tirai air plastik bermotif berkembang. Sangat sederhana.
Petugas hotel bercerita, di kotanya selalu terjadi giliran listrik mati secara bergantian. ''Sebetulnya, saat ini hotelnya mendapat giliran pemadaman listrik. Namun karena ada tamu negara, maka giliran listrik mati dialihkan ke blok lain,'' katanya.
Jamuan makan makan malam pun jauh dari mewah dibanding dengan saat di Beijing. Desert alias penutup makan hanya menggunakan semangka yang dalamnya berwarna putih. Bukan merah manis seperti semangka yang ada di Indonesia. Serba sederhana dan serba minimalis.
Minuman yang tersedia juga demikian. Selain air putih, disediakan minuman sejenis soft drink yang botolnya pakai alat penutup kawat. Seperti botol limun yang terkenal di Indonesia pada tahun 1970-an. Pasti generasi jaman now tidak akan bisa membayangkan bentuknya karena sudah tidak diproduksi lagi.
Kalau ada yang istimewa itu adalah suguhan kesenian dan museum. Pertunjukan opera maupun musiknya luar biasa. Hanya saja, dalam setiap pertunjukan yang disuguhkan ke tamu negara selalu disertai penonton tentara yang tepik tangannya pun seragam seperti dikomando. Serba kaku, resmi dan tidak ada senyum yang terbersit dari mereka.
Jalan-jalan di ibukota besar dan lebar. Kendaraan amat jarang yang lalu lalang. Yang banyak orang-orang bersepeda dengan dengan baju berwarna sama. Juga kerumunan anak-anak sekolah di beberapa tempat. Penyambutan massa tampak digerakkan untuk menghormat tamu negara.
Meski di ibukota negara, saya tidak menyaksikan lampu jalan pengatur lalu lintas. Yang ada seorang polisi yang berdiri di atas panggung batu di tengah perempatan mengatur arus lalu lintas. Mereka itulah yang menjalanlan fungsi lampu pengatur jalan di berbagai simpang jalan.
Seperti umumnya di negara komunis, gedung-gedung pemerintahan berdiri megah dan gagah. Namun terasa singup karena selasar yang tinggi dengan warna muram. Cat gedung hampir sama di seluruh kota. Terkadang terasa masuk di gedung berhantu.
Saya dan rombongan tidak sempat blusukan ke pojok-pojok kota. Sebab, semuanya serba diatur secara protokoler. Sebetulnya boleh juga jalan-jalan sendiri selama di Pyongyang. Namun harus rela dikawal dua petugas intel yang selalu menempel. Juga tidak boleh jalan lebih dari 20 kilometer.
Suasana tiga hari di Pyongyang langsung seperti bumi dan langit saat berada di Seoul, Ibukota Korea Selatan. Kehangatan dan keramahan kota dan bangunannya langsung terasa. Seakan baru saja keluar dari zaman batu ke zaman baru. Dari ibukota yang penuh simbol kegagahan negara ke kota metropolitan dengan segala pernak-perniknya.
Korea Utara bertahan dengan komunisme dan pemerintahan tertutup, Korea Selatan menjadi negara demokratis terbuka sekutu Amerika. Akankah keduanya akan dipersatukan oleh Sonald J Trump dengan kesepakatan denuklirisasi seperti yang diharapkan dunia?
Rasanya Korea Utara akan menjadikan sejumlah misil dan senjata yang diciptakan untuk sandera dunia. Entah sampai kapan. (arifafandi/habis)