Teori Klotekan Hindari Indonesia Bubar
Indonesia itu seperti musik. Awalnya hanya bunyi-bunyian yang bermacam-macam. Seperti klotekan. Berbagai bunyi dari bermacam alat musik.
Klotekan adalah bunyi yang tak beraturan. Bersumber dari benda apa saja. Yang ditabuh. Yang dipukul. Yang ditiup. Yang digesek. Dan seterusnya.
Kalau klotekan itu dikumpulkan, diaransemen, dan diatur, maka akan jadi komposisi. Bisa menjadi nada dan lagu. Hasilnya adalah bunyi-bunyian yang indah. Bisa dinikmati.
Itulah konstruksi dasar teori klotekan. Bahwa sebuah komposisi awalnya adalah berbagai bunyi dari beragam alat bunyi. Ia menjadi harmoni ketika dibunyikan bersama berdasarkan komposisi.
Teori klotekan itu diperkenalkan Djaduk Ferianto dalam konser Sesaji Nagari. Lewat grup musiknya Kuaetnika. Yang telah manggung di Jakarta dan Jogjakarta.
Ia memang meramu berbagai jenis musik dari berbagai daerah. Dari seluruh pelosok negeri. Juga meramu berbagai alat musik. Yang dikumpulkan dari berbagai etnik.
Saya setuju dengan teori klotekannya. Sebuah cara sederhana dalam merumuskan ke-Indonesia-an. Sebuah negara yang diimajinasikan para pendirinya dalam kata Bhineka Tunggal Ika. Berbeda-beda tapi tetap satu.
Keindahan Indonesia itu karena beragam warna. Mulai agama, suku, ras, dan antar golongan. Kebaragaman itu diikat dalam satu negara bangsa brrnama Indonesia.
Dalam pergerakan kemerdekaan ada tekad dari berbagai kelompok pemuda. Ada Jong Java, Jong Ambon, Jong Celebes, dan Jong-Jong lainnya. Mereka bersepakat mengikat diri menjadi satu bangsa, satu bahasa, dan satu tanah air Indonesia.
Agama pun mengajarkan keberagaman. Seperti diungkapkan Mahfudz MD dalam doanya. Dia bilang kalau Tuhan menginginkan umat ini satu, maka jadilah. Tapi ia telah menjadikan kita semua berbeda-beda.
Lalu apakah kita akan menentang sunatullah ini dengan menyeragamkan umat manusia. Dengan menjadi semuanya sama dalam pikiran dan keinginan? Tentu menjadi sesuatu yang mustahal.
Yang bisa diperjuangkan adalah bagaimana kita membangun tujuan bersama. Menghargai perbedaan untuk mencapai kehidupan bersama yang memakmurkan dan membuat kita semua bahagia.
Dalam teori sosial, perbedaan adalah sumber perubahan. Dengan adanya perbedaan akan terjadi dialektika gagasan. Kemampuan bangsa dalam mengelola berbagai perbedaan ke dalam tujuan yang sama bisa menghasilkan kemajuan.
Dalam agama, perbedaan bisa dianggap rahmat. Tentu jika perbedaan itu bisa dikelola dengan baik sehingga menghasilkan manfaat. Namun jika perbedaan dengan masing-masing mengunggulkan perbedaannya bisa saja menghasilkan mudlarat.
Pilihannya tentu tinggal pada diri kita semua. Keberagamaan adalah fakta historis dan sosial yang dimiliki bangsa Indonesia. Mengingkari keberagaman ibaratnya akan menjadikan kita ahistoris dan anti sosial.
Seperti halnya lagu, dibutuhkan komposer, musisi, dan arranger yang mampu menjadikan berbagai klotekan dari beragam bunyi menjadi musik yang harmoni. Menjadikan lagu indah yang enak untuk dinikmati.
Pilpres 2019, 17 April mendatang pada dasarnya memilih seorang komposer, musisi, atau arrager yang bisa mengharmonikan perbedaan-perbedaan. Memilih pemimpin yang tidak punya potensi untuk memaksakan kehendak pribadi maupun kelompoknya.
Bisakah? Rasanya kita telah teruji berkali-kali untuk tetap menjadi Indonesia seperti yang dibayangkan para pendiri bangsa. Negeri yang bisa mengelola berbagai perbedaan dalam satu bangsa Indonesia. (Arif Afandi)
Advertisement