Tentang Rudy Badil, Wartawan Senior yang Hari Ini Meninggal Dunia
Wartawan senior harian Kompas, Rudy David Badil, 73 tahun, meninggal dunia di Rumah Sakit Dharmais, Jakarta Barat, Kamis, 11 Juli 2019 pukul 07.13 pagi. Rudy adalah salah satu pendiri Warkop Prambors, sebelum akhirnya menjadi grup lawak Warkop DKI
Badil telah dipanggil menghadap Sang Pencipta. Banyak orang, terutama keluarga dan teman-temannya yang merasa kehilangan.
Salah satu yang merasa kehilangan adalah Suhartono, 63 tahun, warga Jalan Mawar, Kota Probolinggo. “Saya mulai mengenal Mas Rudy Badil saat mengelola Bentara Budaya Yogyakarta tahun 1980-an,” kata Suhartoyo memulai ceritanya, Kamis, 11 Juli 2019.
BBY didirikan pimpinan Harian Kompas, PK Ojong dan Jakop Oetama untuk mewadahi aktvitas seni dan budaya. Sekaligus mewadahi koleksi benda-benda seni budaya.
“Saat melamar kerja di Kompas Gramedia, saya ditempatkan di Bentara Budaya Yogyakarta, mulai 1984. Di situlah saya mengenal secara pribadi Mas Rudy, Mas Sindhunata, juga Om Pasikom (GM Sudarta, Red.),” ujar Gepeng, panggilan akrab Suhartono.
Gepeng yang lulusan Jurusan Lukis, Sekolah Tinggi Seni Rupa (STSR) Yogyakarta tahun 1982 (sekarang ISI Yogkarta) mengaku, masih ingat bagaimana BBY didirikan. Berawal pada 1982, toko buku Gramedia di Jl. Jendral Sudirman 56 Yogya pindah tempat ke sebelahnya (No. 54).
Bekas toko Gramedia ini kosong, dan direncanakan akan dijadikan toko roti . Namun, setelah pimpinan Kompas melihat ada ruang kosong di Yogya maka cita-cita lama untuk membuat sebuah lembaga kebudayaan akhirnya mendapatkan tempatnya.
“Bekas toko tersebut kemudian dijadikan Bentara Budaya, lembaga kebudayaan milik kelompok Kompas Gramedia,” ujar Gepeng.
Gepeng yang menguasai seni lukis (sungging wayang) ini kemudian bergabung pada Bentara pada 1984. “Di Bentara itulah saya mengenal Mas Rudy Badil sebagai guru sekaligus kawan akrab,” katanya.
Gepeng dan kawan-kawan pun sering diajak “berburu” benda-benda seni budaya di seantero negeri. “Saya pernah diajak blusukan ke Probolinggo, Madura, hingga mengusung orang-orang Asmat dan seni budayanya ke Bentara,” tambahnya.
Bahkan pertemanan berlanjut meski Gepeng telah mengundurkan diri dari Bentara. “Saat ke Bali, Mas Rudy sering mampir ke rumah saya di Probolinggo,” kata Gepeng.
Pernah tengah malam, Rudy mampir ke rumah Gepeng di Jalan Mawar, Probolinggo. Rumah joglo tanpa pagar itu gampang dimasuki. “Saya kaget, jendela rumah dilempari orang tengah malam. Ternyata ada wong sempel,” kata Gepeng sambil tertawa.
Di lain kesempatan, wong sempel itu kembali bertamu ke rumah Gepeng. Tapi kali ini di siang hari. Tiba-tiba Rudy yang peminat benda-benda seni itu mendatangi akuarium milik Gepeng yang berisi banyak ikan laut.
Ia kemudian menangkapi sejumlah ikan kakap berukuran sekitar setengah kilogram di akuarium. “Iwak kok dipelihara, ayo digoreng. Enak ini,” ujar Gepeng menirukan kekonyolan kawan akrabnya.
Gepeng yang saat itu pengusaha mebel antik dengan tujuan ekspor via Bali, tidak kaget dengan ulah Rudy. “Mas Rudy itu suka mlonco alias ngerjain orang. Saya pernah diplonco, ditinggal sendirian di lingkungan Asmat, disuruh menyelesaikan pekerjaan,” ujarnya.
Berkat tangan dingin Rudy, seni budaya Asmat pun bisa dipamerkan di Jakarta. “Sekitar 20 orang Asmat dan karya seni budayanya berhasil diboyong untuk pameran di Jakarta, tempatnya di gedung Depdikbud depan Stasiun Gambir, Jakarta,” kata Gepeng.
Sejumlah wartawan juga punya banyak kenangan dengan Rudy Badil. “Saya pernah ke rumah Mas Rudy Badil. Dalam kondisi stroke, dia masih bisa berbicara lancar menceritakan perjalanan hidupnya,” ujar Sunudyantoro, Redaktur Utama Tempo. Dia juga kolektor lukisan, mempunyai lukisan karya sejumlah pelukis terkenal, diantaranya karya Affandi, tambah Sunu.
Sujatmoko, mantan wartawan SCTV punya cerita lain. Ia mengaku pernah diundang bersama wartawan-wartawan lain oleh Badil. “Saat itu 2002, Mas Badil dan Mas Don Hasman mengundang para wartawan di Taman Safari, Cisarua, Bogor. Tujuannya menggagas forum konservasi flora fauna,” ujarnya.
Pertemuan berikutnya, para wartawan diundang di Ujung Kulon. “Saya mengira hanya diajak pertemuan terus pulang. Ternyata dalam pertemuan dua hari itu saya dan teman-teman diajak berjalan mengelilingi Ujung Kulon,” ujar Kokok, panggilan akrab Sudjatmoko.
Kokok yang saat itu reporter sekaligus kameraman mengaku dengkleh karena harus memanggul sejumlah peralatan kerja. “Kasihan, sampeyan sendirian tho, Dik,” sapa Badil saat itu.
Kepala Taman Nasional Ujung Kulon, Tri S yang mantan Kepala Taman Nasional Meru Betiri, Jember kemudian memanggil anak buahnya, untuk membantu Kokok.
Bagi Kokok, Badil sosok yang supel, sederhana tetapi ide-idenya brilian. “Termasuk ide brilian itu membentuk Forum Konservasi Flora Fauna,” ujarnya.
Rudy Badil memiliki banyak sebutan, termasuk sebagai wartawan petualang. Hari ini dia memulai petualangan barunya. (isa)
Advertisement