Tentang Rasa Adil dan Para Brutus, 8 Hal untuk J.E. Sahetapy
Suatu hari, Frank Caprio, hakim ketua dalam pengadilan di Amerika Serikat, memanggil Yanelle Gorang. Seraya memasukkan tangan ke dalam jaketnya, Gorang pun memasuki ruang pengadilan.
Yanelle Gorang: Halo!.
Frank Caprio: Saya melihat Anda melakukan ini, dalam ruangan 70 derajat.
Yanelle Gorang: Saya gugup ketika datang ke mari...
Frank Caprio: Anda merasa gugup saat datang ke pengadilan?
Yanelle Gorang: Ya, ini kali pertama!
Frank Caprio: Oh, ini kali pertama Anda di pengadilan?
Yanelle Gorang: Ya
Frank Caprio: Sejauh ini, bagaimana kabar Anda? Oke?
Yanelle Gorang: Ya.
Frank Caprio: Baik?
Yanelle Gorang: Ya.
Hakim Ketua semula mengira Yanelle Gorang kedinginan. Namun setelah dikonfirmasi ternyata dia gugup karena ini kali pertamanya datang ke pengadilan. Kesalahan Gorang sehingga harus duduk di kursi pengadilan: pada suatu saat dia memarkir kendaraan selama empat malam di lokasi yang sama. Hakim Frank bertanya mengenai alasan Gorang memarkir mobil di tempat umum selama empat hari berturut-turut.
Yanelle Gorang menjelaskan bahwa atas dasar dia tidak memiliki spot parkirnya sendiri. "Saya baru pindah kerja di daerah Santana pada tanggal 5 Oktober. Sedang baru bisa mengajukan tempat parkir pada bulan November. Jadi, saya tidak memiliki spot untuk parkir mobil. Ya, akhirnya saya parkir di jalan". Ketika itu, Gorang sedang mengurus stiker untuk perizin parkir.
Karena kesalahan itu, akhirnya Gorang pun dikenakan denda 200 dolar AS. Namun karena Gorang saat itu belum memiliki pekerjaan, dia boleh membayar 20 dolar AS. Setelah dikonfirmasi ternyata Gorang hanya tinggal berdua dan merupakan ibu tunggal dari seorang bayi berusia 10 bulan.
Di ruang hukum itu ditonton banyak orang. Alhasil ada penonton yang memberikan 25 dolar AS untuk membayar denda ibu tunggal tersebut. Tak hanya itu, hakim pun terenyuh dan memberikan 50 dolar AS dari uang sumbangan yang diberikan kepada Gorang untuk menjaga anaknya.
Gorang pun tak kuasa meneteskan air matanya dan berjanji akan membalas membantu orang yang kesusahan di masa yang akan datang.
Kita menyaksikan suatu pengadilan yang indah. Proses pengadilan yang menggerakkan hati nurani: nilai kemanusiaan. Betapa indah ruang pengadilan di sini. Keindahan yang didapat karena ada rasa adil dalam proses pengadilan. Rasa kemanusiaan menjadi orientasi utama. Bukankah demikian sesungguhnya supremasi hukun yang sedang ditegakkan. Pengadilan memberi ruang setiap orang mendapat keadilan dan rasa adil.
Keindahan dalam proses pengadilan demikian sesungguhnya kita idamkan di negeri Pancasila: Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Kenyataan demikian yang menjadi obsesi setiap warga bangsa hingga kini. Sayangnya, dalam pasang-surutnya rezim di Indonesia, rasa adil dan keadilan itu masih sebagai slogan dan harapan semata.
Tentu kita tak hendak berharap utopia. Tapi, kondisi yang indah di tengah masyarakat, harus terus menerus diperjuangkan setidaknya pada titik mendekati ideal.
1. Tengara J.E. Sahetapy
Jacob Elfinus Sahetapy pernah mengingatkan bahwa Reformasi Hukum sejak Orde Baru yang ditumbangkan para mahasiswa dan aktivis perubahan sosial, telah dikhianati dan disabot para Judas dan para Brutus. Reformasi, terutama di bidang penegakan hukum, terus berjalan di tempat atau tersok-seok sepanjang jalan sambil menunggu ajalnya.
Tokoh kita ini, suka bicara ceplas-ceplos! Tapi, ia tidak sedang mengibul: ia bicara apa adanya, fakta sesungguhnya di masyarakat. Ia tegas berpendapat, Reformasi Hukum harus mengejawantahkan Pancasila. Kita suka ketika JE Sahetapy bicara di depan publik. Ia adalah hati nurani kita, yang mendamba suatu masyarakat yang menjadi cita-cita Founding Father negeri ini.
Sahetapy adalah hati nurani kita bersama di masa ketika kita melewati era reformasi. Sayang, praktis semua aparat penegak hukum sudah tercemar dan pimpinan bangsa ini seperti sudah lumpuh berpikir untuk bertindak. Yang dipikirkan cuma pencitraan yaitu lain di mulut lain di hati, itu saja yang berkesan.
Meskipun telah ditetapkan dalam undang-undang tentang putusan pengadilan ”Demi Keadilan berdasarkan ke-Tuhan-an yang Mahaesa”, para hakim melaknatkan Tuhan dengan tetap memutus perkara dengan cara memeras, menerima suap, KKN (korupsi-kolusi-nepotisme) dan melalui rekayasa ”power by remote control”. Tentu saja, ada perkecualian -- di mata Sahetapy, dalam bahasa hukum Belanda: ”de uitzondering bevestigen de regel”.
Bila Pancasila adalah ”Weltanschauung” Bangsa dan Negara atau juga disebut sebagai ”Staatsfundamentaalnorm”, maka seharusnya putusan pengadilan adalah ”Demi Keadilan berdasarkan Pancasila”, sebab di situ dicantumkan juga sila Kemanusiaan dan Keadilan Sosial.
Tepat sekali, Sahetapy mengucapkan dalam bahasa bukan Indonesia: “De regering is radeloos, het volk is redeloos, het land is reddeloos". Artinya: Pemerintah sudah berputus asa, rakyat (di akar rumput) sudah tidak bisa berpikir lagi, negara ini sudah tak tertolong lagi. Waktulah yang akan mengungkap ini semua, percaya atau tidak!
Demikian Prof (Em) Dr JE Sahetapy, SH MA, "Reformasi Hukum Harus Mengejawantahkan Pancasila" dalam buku "Dialektika Pembaruan Sistem Hukum Indonesia". Jakarta: Sekjen Komisi Yudisial RI, 2012.
2. Hati Nurani Bicara
Tokoh Kita bicara blak-blakan. Tak peduli siapa di depannya. Kita menyaksikan ketika Yusril Ihza Mahendra disemprotnya. Saat menjabat Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Kabinet Gotong-Royong, Yusril “mengeluhkan” persoalan yang sangat sensitif: minimnya gaji seorang menteri. “Gaji 19 juta perak itu tak berarti apa-apa,” ujar Yusril.
Pernyataan Yusril menjadi umpan lambung, langsung disambut para politikus. J.E. Sahetapy, yang saat itu menjabat sebagai anggota Komisi II DPR (membawahi bidang hukum), langsung angkat bicara. Tokoh Kita menilai Yusril tak pantas mengeluhkan soal gajinya. Sahetapy menuding Yusril terlalu menghamburkan gaji untuk kepentingan Partai Bulan Bintang, partai yang menjadi kendaraan politiknya. Kalau tak cocok dengan gaji, “Yusril sebaiknya mundur dari kabinet".
Sahetapy adalah kita, hati nurani yang bicara ketika keadilan terkoyak. Daya kritisnya sangat tajam. Ia mewakili hati nurani rakyat ketika tampil dalam acara Indonesia Lawyer Club (ILC) di TVOne. Kita menyaksikan pendapat dan kritikannya terhadap pelbagai kasus, isu-isu hukum dan politik di acara asuhan Karni Ilyas itu.
3Urat Takut yang Putus
J.E. Sahetapy meninggikan nada melafalkan tikus di lema politikus. Di mata Syafi'i Maarif, sosok Sahetapy sudah putus urat takutnya, menyampaikan kebenaran. Kita pun teringat Taufik Abdullah, sejarawan yang orang Minang, suka blak-blakan bicara itu.
Suatu ketika, Sahetapy sengaja datang dari Surabaya, berbaju batik coklat lengan panjang dan pantalon hitam. Ia menenteng tas hitamnya ke pangggung, yang banyak berisi kliping. Kita menyaksikan dalam acara televisi ini, amat banyak kalimat dan kata yang dinarasikan oleh profesor hukum ini. “Saat ini politik tanpa batin.” “Republik Indonesia ini sudah amburadul.” “Republic of Corruptions.”
Sahetapy mengutip kliping Koran pada 2005. Ia membacakan kalimat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY): “Bahwa reformasi harus struktural dan kultural.” Seketika juga ia mempertanyakan kalimat itu, dengan kutipan majalah Newsweek, “SBY no man of action.” Kita diingatkan akan sosok Slamet Imam Santoso, dikutip Sahetapy pernah memopulerkan istilah NATO, No Action Talk Only. “Nah SBY itu NATO, “ ia melanjutkan kalimatnya, “Kalau ada cermin yang bisa bicara SBY itu ngaca dan mengatakan sayalah orang yang paling hebat dan keren. Maka menjawablah cermin itu bahwa ada orang lain yang lebih baik dan mulia. Maka lemeslah SBY”
Kita pun tertawa dibuatnya. Bukan karena lucu, tapi karena malu.
Soal kemacetan urusan memberantas korupsi di Tanah Air, Sahetapy mengibaratkan kepada mata air. “Air kotor selalu dari hulu. Tidak pernah ada cerita air kotor dari hilir". Dengan kata lain pemberantasan korupsi memang harus dimulai dari yang teratas.
Tokoh Kita menyitir kata hikmah: Makin tinggi sisi kerohanian seseorang, makin besar pula kebinatangannya. Kalimat itu diteruskan dengan keadan hukum negeri ini yang sudah rusak parah. Lagi-lagi kita diingatkan ketika seorang hakim bersumpah seraya menyebut atas nama Tuhan yang Mahaesa. Bagi Sahetapy, seharusnya demi keadilan berdasarkan Pancasila. Karena selain Ketuhanan, di Pancasila ada kata kebijaksanaan. Nenek-nenek mengambil 2 buah kakao, tak langsung diputus penjara.
Jadi hukum kita sudah diperkosa. Anomie, tidak bernorma lagi. Berharap pada politisi? Politician is gangster. “Simak saja, kini 173 kepala daerah bermasalah korupsi.”
4.Kritik Perguruan Tinggi dan Dunia Akademik
Ranah perguruan tinggi dan dunia akademik pun tak lepas dari sorotannya. Sahetapy seakan sulit mencari harap. Ia mengingatkan kembali ada keluarga yang harus tergusur dari sebuah pemukiman, karena anaknya jujur, tidak menyontek di saat ujian nasional, sebagai fakta nyata buruknya peradaban. “Saat ini ada 60 ribu dosen yang tak layak jadi dosen.” “Urusan plagiat dalam membuat tugas akhir di perguruan tinggi juga tinggi. Padahal plagiat itu ama dengan maling.” Banyak kalimat-kalimat tajam, kritis, satir yang disampaikannya.
Profesor Sahetapy, lebih 40 tahun menjadi dosen di Fakultas Hukum Universitas Airlangga. Suatu ketika, seorang calon hakim dari Gorontalo mengaku sebagai salah seorang muridnya. Sang calon pun menerima semprotan kata-kata yang keras: “Ya, memang. Tapi saya malu punya murid seperti Anda, karena menjawab pertanyaan apakah pernah masuk parpol, tidak mengaku. Ternyata dalam CV, Anda pernah aktif di Golkar.” Demikian Sahetapy yang tidak pernah ragu menyatakan yang benar itu benar dan yang salah itu salah.
Sikap nurani yang kritis pun tercermin ketika ia mengajukan pertanyaan kepada Benjamin Mangkudilaga -- seorang yang cukup populer sebagai hakim yang jujur dan sederhana -- tentang hadiah rumah yang diterima Benjamin. Tidakkah itu menimbulkan konflik kepentingan?
Memang, banyak orang bertanya dan mengharapkan kapan semua itu berakhir. Apakah politikus picisan yang seolah-olah tidak bermoral dan apakah negarawan-negarawan yang sok bermoral, masih mau ikut terus menipu rakyat. Itulah sebabnya Anonymous pernah menulis bahwa “Politicians are like diapers. They should both be changed frequently and for the same reason.” Bagi Sahetapy, apa yang mau diharapkan dari moralitas politisi, bila sewaktu bersekolah di SMA dikenal sebagai jago nyontek. Orang sering lupa bahwa nyontek adalah embrio dari KKN.
5. Penjaga Nurani Hukum dan Politik
Tokoh Kita lahir pada 6 Juni 1932 di Saparua, Maluku. Ia lahir dari pasangan guru, ia menyelesaikan SMA di Surabaya. Seorang penjaga nurani hukum dan politik.
Ia sangat prihatin pada komitmen dan integritas para penegak hukum. Dalam dunia politik, politik tanpa moral dan fatsoen atau etika akan menjerumuskan bangsa ini. Ia melihat situasi dan kondisi Indonesia masa kini, ibarat “Rumah Sakit Gila”, dihuni sebagian orang yang sudah “gila dan setengah gila” (gila kekuasaan, KKN, pangkat, dan jabatan) serta tidak bermoral dan tidak lagi memiliki integritas.
Kesederhanaan, kejujuran dan keteladanan Tokoh Kita ini membuat apa yang dikatakannya menjadi lebih bernilai dan berbobot serta rasa kebenarannya menjadi sangat nyata.
6.Soal Pelik Masa Kecil
Ketika masih kecil, Sahetapy sudah harus menghadapi masalah pelik. Kedua orangtua yang dicintainya harus berpisah. Ayahnya suka main judi, ibunya minta cerai akibat tidak tahan menanggung beban. Sang ibu, Nona C.A. Tomasowa, menikah lagi dengan W.A. Lokollo setelah berpisah lebih kurang 12 tahun dengan suaminya.
Dalam situasi demikian, Sahetapy kecil selalu rajin belajar. Ia memulai pendidikan formalnya di sekolah dasar yang didirikan ibunya sendiri yakni Particuliere Saparuasche School. Dari ibunya yang sekaligus gurunya itulah Sahetapy banyak belajar nasionalisme dan keberpihakan kepada rakyat kecil.
Tapi akibat meletusnya perang pada 1942, sekolahnya sempat terputus menjelang akhir kelulusannya. Empat tahun berikutnya, 1947, barulah ia kembali ke sekolah sampai lulus Sekolah Dasar. Lalu ia pun masuk SM dengan kurikulum 4 tahun. Menjelang lulus, peristiwa RMS (Republik Maluku Selatan) meledak. Akhirnya Sahetapy pindah ke Surabaya, bergabung dengan kakaknya, A.J. Tuhusula-Sahetapy. Di Kota Pahlawan inilah ia menamatkan SMA.
Setamat SMA, sebenarnya ia tertarik masuk Akademi Dinas Luar Negeri (ADLN). Namun ibunya tidak sependapat. Selain itu, ada pula yang menawarinya masuk sekolah pendeta, tapi ibu pun tidak setuju. Akhirnya, ia masuk Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada di Surabaya (yang kemudian menjadi Fakultas Hukum Universitas Airlangga).
Semasa kuliah, Sahetapy termasuk mahasiswa yang cerdas. Ia juga menguasai bahasa Belanda. Tak heran bila kemudian ia dipercaya menjadi asisten dosen untuk matakuliah hukum perdata di fakultasnya. Kepercayaan dekan Fakultas Hukum Universitas Airlangga ketika itu Profesor Gondo-wardoyo, tidak hanya sampai di situ. Bahkan begitu Sahetapy lulus kuliah, ia ditawari kuliah di Amerika Serikat. Kesempatan itu tidak disia-siakannya. Ia pun menyelesaikan studinya di AS dalam dua tahun dan segera balik ke Indonesia.
Namun celakanya, setelah ia tiba di tanah air, Sahetapy harus menerima tuduhan konyol. Ia diisukan sebagai mata-mata Amerika oleh kelompok kiri kala itu yang dimotori oleh PKI. Sampai-sampai ia tak diperbolehkan mengajar. Lalu setelah PKI tumbang, ia juga tidak langsung boleh aktif mengajar. Sebab ada pula isyu lain yang menyudutkannya, sehingga Sahetapy harus tabah “menganggur” meski resminya ia adalah dosen FH Unair. Kondisi ini tidak membuatnya frustrasi. Bahkan semakin menempa semangatnya untuk membela rakyat kecil.
Buah dari kegigihan dan ketulusannya, beberapa lama kemudian ia diperbolehkan mengajar kembali. Sampai kemudian pada tahun 1979, Sahetapy terpilih menjadi Dekan Fakultas Hukum Unair.
7.Sempat Jadi Birokrat
Di samping menjadi dosen, Sahetapy yang menulis disertasi berjudul “Ancaman Pidana Mati Terhadap Pembunuhan Berencana” sempat menjadi birokrat. Ia pernah menjadi anggota Badan Pemerintahan Harian (BPH) Provinsi Jawa Timur dan sempat pula menjadi asisten Gubernur Jawa Timur, Mohammad Noor.
Suami Lestari Rahayu, disamping sangat kritis -- semasa berprofesi dosen dan birokrat maupun saat menjadi anggota legislatif -- adalah seorang yang sungguh bersahaja dalam hidup sehari-harinya.
Ia tinggal di sebuah rumah di kompleks perumahan dosen Universitas Airlangga, Jalan Darmahusada III Surabaya. Rumah itu sendiri jauh dari kesan mewah. Perabotannya biasa saja. Misalnya, sofa di ruang tamunya bukanlah dari jenis sofa berharga ratusan ribu rupiah. Sehari-hari, untuk mendukung kegiatannya, ia mengendarai mobil Kijang.
Kesederhanaan ini tidak berubah saat ia menjadi anggota DPR dari PDIP pada zaman reformasi yang masih kental praktik korupsi. Saat beberapa rekannya, setelah menjadi anggota DPR, tiba-tiba menjadi mewah dengan mobil-mobil mewah. Sahetapy justru masih kerap jalan kaki dari tempat tinggalnya, sekitar satu setengah kilometer dari Gedung DPR.
Waktu itu, ia memang tinggal di tempat kerabatnya, dan mengaku tidak ada taksi yang lewat di lingkungan tersebut. Itu membuatnya harus jalan sekitar lima ratus meter sebelum bisa menemukan taksi. Tapi, karena jarak ke Gedung DPR makin dekat, tidak ada taksi yang bersedia mengantarnya. Jadi, ya, terpaksalah berayun tungkai.
Tentu, berjalan kaki di Jakarta yang terik membuatnya berkeringat. Karena itu setiap hari ia memakai kaos, baru setelah sampai di ruang kerjanya ganti baju yang dibawanya. Ia juga tergolong orang Indonesia yang tidak suka memakai jas. Ia pun tidak termasuk anggota DPR yang memikirkan soal tunjangan mobil, sehingga dari semua perilaku dan sikapnya, banyak pihak menjulukinya penjaga nurani hukum dan politik.
J.E. Sahetapy, bapak tiga anak dan satu anak angkat ini memang seorang tokoh yang masih memiliki integritas nurani dalam penegakan hukum dan kebenaran. Hal ini terlihat dari sikapnya sehari-hari.
8. Kenangan Akhir
Ketika ada kabar J.E. Sahetapy meninggal dunia, Selasa 21 September 2021 pagi, kita seolah diingatkan dengan pepatah Jawa. "Dudu sanak dudu kadang yen mati melu kelangan". Bukan sanak bukan saudara namun bila meninggal dunia kita pun merasa kehilangan.
Ia adalah hati nurani kita bersama. Figur yang selalu terjaga integritasnya. Tokoh yang mengingatkan kita akan pentingnya kita membangkitkan rasa malu bila melanggar hukum. Demikian semua orang harus memiliki rasa malu jika hendak melakukan sesuatu yang melanggar hukum. "Coba saja bayangkan, sekarang ada profesor yang gaji besar tapi masih korupsi juga. Itu tidak punya rasa malu!"
Di tengah tergerusnya rasa malu, kita menyaksikan suatu ironi: rasa bersalah ketika telah melakukan pelanggaran hukum. Buila seseorang tak memiliki rasa bersalah maka sekalipun telah disumpah untuk menduduki sebuah jabatan, ia akan tetap melakukan tindakan korupsi.
Rasa malu dan rasa bersalah (bila melalui proses pengadilan), itulah yang harus dikedepankan. Tapi, berbalik dengan pesan itu, kita senantiasa menyaksikan seseorang yang telah terbukti korupsi masih bisa tertawa dan bicara heroik di depan kamera televisi.
Ironi memang di depan mata kita. Selamat jalan, Prof Sahetapi! (Riadi Ngasiran)
Advertisement