Tentang “Puisi Paskah†Itu: Sebuah Penjelasan (2)
Apakah puisi ini tidak melanggar akidah Islam?
Jawaban saya: Tidak. Batas paling penting dalam dialog antar-agama adalah akidah: selama seorang Muslim masih berpegang pada akidah Islam, dia tetaplah seorang Muslim. Mengapresiasi tradisi keagamaan dan kepercayaan yang dianut oleh umat agama lain, termasuk tradisi perayaan Natal dan Paskah, misalnya, tidak menjadikan seseorang keluar
dari Islam, dan masuk Kristen; sebagaimana seorang Kristen yang mengapresiasi tradisi dan keyakinan Islam, tidak serta-merta menjadi seorang Muslim. Dalam masalah akidah, pembeda paling penting dalam hubungan Islam-Kristen adalah pandangan tentang sosok Yesus atau Nabi Isa. Seorang Muslim mempercayai Yesus sebagai nabi sebagaimana nabi-nabi yang lain, meskipun nabi dengan kedudukan yang amat spesial; sementara umat Kristen meyakini ketuhanan Yesus.
Saya sangat mengapresiasi iman dan tradisi teologi Kristen, dan saya banyak belajar hal baru dari tradisi agama ini. Tetapi saya tetap berpijak pada akidah pokok dalam Islam tentang sosok Yesus ini: Yesus adalah nabi, bukan Tuhan. Dalam puisi Paskah yang saya tulis, tak ada satupun kalimat yang menegaskan bahwa saya menyetujui pandangan Kristen mengenai ketuhanan Yesus. Saya hanya mengapresiasi momen penyaliban Yesus yang bagi saya, sebagai seorang Muslim, bisa dimaknai secara simbolis sebagai simbol “pengorbanan” yang besar.
Agama apapun, bagi saya, memuat simbolisme yang menarik, terutama melalui hari-hari besar yang menandai peristiwa penting dalam agama itu. Peristiwa haji dan Hari Raya Kurban yang sangat penting bagi umat Islam, misalnya, bisa memiliki “makna spiritual” yang mendalam bagi seorang Kristen jika ia berniat untuk, dan mau melakukan refleksi terhadapnya.
Bukankah dalam pandangan Islam, yang disalib di kayu palang itu bukanlah Yesus, melainkan orang lain seperti ditegaskan dalam Qur’an ayat 4:157? Masalah ini sebetulnya tidaklah sederhana, dan jawabannya tidak se-“konklusif” yang kita bayangkan. Yang berminat saya persilahkan membaca artikel lama yang ditulis oleh Prof. Mahmoud Ayoub yang dimuat dalam jurnal The Muslim World (April, 1980) berjudul: “The Death of Jesus: Reality or Delusion – The study of the death of Jesus in tafsir literature.” Saya akan sertakan secara terpisah artikel ini supaya bisa dibaca oleh teman-teman yang tertarik untuk mengkaji lebih jauh.
Seperti saya katakan dalam puisi Paskah itu, saya sebetulnya tidak terlalu tertarik pada (bukan: dengan) “debat teologi”. Selain melelahkan, debat seperti ini hanya menimbulkan kesalah-pahaman yang kurang perlu, serta kurang kondusif bagi upaya membangun hubungan antar-agama yang harmonis. Saya justru lebih tertarik pada “pemaknaan spiritual” atas momen penyaliban itu: “Mereka bertengkar tentang siapa yang mati di palang kayu./ Aku tak tertarik pada debat ahli teologi./ Darah yang mengucur itu lebih menyentuhku.”
Masing-masing umat bisa memberikan apresiasi pada momen-momen keagamaan yang dirayakan oleh agama lain. Hal semacam ini akan sangat positif untuk membangun suasana keagamaan yang dialogis dan saling menghargai. Tentu saja kita tak boleh beranggapan bahwa yang tidak melakukan hal-hal seperti ini, berarti tidak toleran. Sama sekali lagi, tidak. Saya hanya mengatakan: jika ada yang mau dan mampu melangkah “lebih jauh” untuk mengapresiasi tradisi agama lain, itu tindakan yang bagus.
Sekali lagi, saya tegaskan bahwa batas pokok dalam masalah dialog antar-agama adalah akidah. Masing-masing umat beragama berhak memiliki akidah yang berbeda, dan menghargai perbedaan itu. Tetapi perbedaan ini tidak harus menghalangi seseorang untuk mengapresiasi tradisi keagamaan pada agama lain. Bahkan apresiasi semacam ini diperlukan untuk membangun dasar-dasar dialog antar-iman yang lebih kokoh.
Kebablasankah?
: Tentang dakwah rahmatan lil ‘alamin
Sebagian komentar menyatakan bahwa apa yang dilakukan oleh dua santri dalam video-clip puisi Paskah itu adalah bentuk “toleransi yang kebablasan”. Saya menghargai komentar semacam ini. Tetapi, dalam pandangan saya, ini bukanlah toleransi yang kebablasan karena masih dalam koridor akidah yang saya kemukakan di atas. Selama seorang Muslim tidak meyakini ketuhanan Yesus, dia tidak melanggar batas. Ini prinsip yang saya pegang. Kalau ada yang berbeda pandangan mengenai hal ini, monggo saja.
Komentar semacam ini tak saya pandang sebagai sikap “tertutup”, melainkan sebagai tanda kecintaan pada Islam. Seseorang yang jatuh cinta secara mendalam pada suatu hal, sangat wajar jika ia bersikap protektif terhadap yang dicintainya. Ini tindakan yang lumrah dan alamiah. Tetapi kiblat saya dalam “cinta” adalah Kiai Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, sosok yang (sama dengan Ignas Kleden) pikiran-pikirannya sudah mulai saya baca dengan penuh minat sejak masih menjadi santri di kampung.
Gus Dur adalah sosok yang menjadi kiblat saya dalam banyak hal, terutama dalam pemikiran dan tindakan, selain Cak Nur. Di antara sosok-sosok yang lain, Gus Dur menempati posisi yang teramat spesial dalam formasi pemikiran saya secara pribadi. Dia benar-benar “membentuk” saya secara intelektual sejak awal.
Saya dan ratusan, mungkin bahkan ribuan anak-anak muda NU lain yang tumbuh pada tahun-tahun yang sama (dekade 80an dan 90an), banyak belajar dari Gus Dur tentang hal penting: bersikap terbuka dan tidak cemas untuk melakukan “encounter”, perjumpaan, berdialog dengan teman-teman di luar Islam – terutama Kristen/Katolik. Persahabatan Gus Dur yang sangat lekat dengan tokoh-tokoh dari berbagai agama, terutama tokoh Hindu Bali, Ibu Gedong Oka, sangat mengesankan saya dan kawan-kawan lain saat itu. Saya belajar dari Gus Dur tentang mencintai Islam, termasuk mencintai tradisi NU, secara terbuka, bukan “cinta yang protektif” berlebihan.
Tentu saja mereka yang menempuh jalan “cinta protektif” ini tidak salah. Bahkan, seperti akan saya jelaskan lebih detil di bagian penutup tulisan ini, dalam setiap agama harus ada orang-orang yang menjalani “cinta protektif” itu sebagai bagian dari “keseimbangan alam”. Itulah hukum Tuhan di alam raya ini: hukum yang tak akan berubah kapan pun (wa-lan tajida lisunnati-l-Lahi tahwilan, demikian ditegaskan dalam Qur’an).
NU sudah menetapkan jalan dakwah yang sangat penting: yaitu dakwah untuk Islam rahmatan lil ‘alamin. Yaitu jalan dakwah yang menebarkan kasih sayang, rahmat bagi semua pihak. Tentu saja ajaran ini sudah tertuang sejak awal dalam Qur’an, dan dipraktekkan sejak dahulu oleh para wali dan kiai yang mendakwahkan Islam di bumi Nusantara. Tetapi istilah ini menjadi populer kira-kira sejak Muktamar NU di Jombang pada 2015. Saya yakin benar bahwa gagasan ini tidak mungkin lahir jika tidak ada sosok Gus Dur sebagai “game changer”, sosok yang benar-benar mengubah arah orientasi kultural, intelektual, dan politik dalam komunitas nahdliyyin sejak memimpin NU pada 1984.
Tentu saja tidak semua pihak dan kiai di NU ittifaq, menyepakati jalan yang ditempuh oleh Gus Dur. Kritik dan tentangan, “al-naqd wa al-radd”, selalu ada, dan ini adalah hal yang lumrah dalam tradisi NU. Nda usah Gus Dur. Lha wong pendapat-pendapat pendiri NU pun,
Hadlratus Syaikh Hasyim Asy’ari, tidak semuanya disepakati oleh para kiai lain. Kita masih ingat polemik antara Mbah Hasyim dan Kiai Faqih Maskumambang mengenai status boleh tidaknya (dalam kaca mata hukum fikih) menggunakan “al-naqus” atau kentongan sebagai penanda waktu salat. Ikhtilaf dan perbedaan dalam NU adalah hal yang biasa.
Berkat terobosan-terobosan pemikiran oleh Gus Dur, dan berkat jalan dakwah rahmatan lil ‘alamin inilah kemudian kita menyaksikan, saat ini, banyak kiai dan aktivis NU di sejumlah kota dan daerah yang dengan kesabaran dan keberanian luar biasa membangun “jembatan dialog” dengan kalangan di luar Islam. Saya tak mau menyebut nama, tetapi saya tahu ada banyak kiai di berbagai daerah yang menjadi “gus dur-gus dur kecil” yang melanjutkan perjuangan Gus Dur untuk membangun hubungan dengan kelompok di luar Islam. Di Salatiga, Magelang, Yogyakarta, Solo, Semarang, Surabaya, dan kota-kota lain – saya melihat kiai-kiai seperti ini.
Langkah-langkah Gus Dur juga diteruskan, misalnya, oleh Ibu Sinta Nuriyah Wahid yang setiap bulan puasa mengadakan sahur bersama yang melibatkan aktivis-aktivis lintas agama. Sebagian dari kegiatan sahur Ibu Sinta itu bahkan diadakan juga di gereja. Sejumlah tokoh NU bahkan berkunjung ke Vatikan, pusat agama Katolik, dan bertemu langsung dengan Sri Paus. Pertemuan semacam ini disambut dengan hati yang lega oleh teman-teman Kristen karena menandakan adanya ‘alaqat al-tafahum wa al-ikha’, hubungan saling memahami dan persaudaraan yang otentik.
Puncak yang mengharukan dari semuanya, “the crowning moment”, adalah langkah Banser NU yang menjaga gereja pada setiap acara Natal. Seorang anggota Banser bernama Riyanto bahkan meninggal pada Desember 2010 karena menjaga Gereja Eben Haezer di Mojokerto. Saya sempat berziarah ke makamnya. Bagi saya, dia adalah pahlawan toleransi yang patut terus dikenang.
Karena reputasi semacam inilah NU kemudian dianggap sebagai pilar toleransi yang amat penting di Indonesia, selain Muhammadiyah. Nama NU menjadi harum karena sikapnya yang terbuka dan mengulurkan “tangan persahabatan” kepada tokoh-tokoh dari agama lain. Ini semua tidak mungkin terjadi jika tidak ada sosok bernama Gus Dur yang mengubah paradigma pemikiran dalam NU sejak tahun 80an.
Terobosan-terobosan Gus Dur ini tidak membuatnya lepas kendali dari tradisi NU. Gerakan Gus Dur tetap dalam koridor tradisi NU yang menjulur panjang ke belakang, ke sejarah Wali Songo yang sudah menanamkan benih-benih penghargaan kepada keragaman dan tradisi lokal. Gus Dur meneruskan kebijaksanaan yang luar biasa dari Sunan Kudus yang membangun menara masjid dengan arsitektur Hindu. Apa yang dilakukan teman-teman Banser saat ini adalah meneruskan saja apa yang sudah dimulai oleh Wali Songo dulu: dakwah rahmatan lil ‘alamin.
Salah satu santri yang tampil dalam video itu adalah anak seorang kawan saya, seorang kiai muda di Jakarta. Saya sendiri takt ahu siapa yang memproduksi video ini, tetapi saya menghargai upaya itu. Saya senang ketika santri putera dalam video itu membacakan Puisi Paskah dengan mengenakan peci (simbol kultural warga nadhdliyyin) dengan logo NU. Apa yang dilakukan santri cilik ini setara nilainya dengan keberanian Banser NU menjaga gereja saat Natal yang sudah berlangsung beberapa tahun – dan direstui oleh Gus Dur.
Bagaimana jika ada sikap yang berbeda?
Inilah bagian akhir dari tulisan saya. Bagian ini secara khusus saya akan gunakan untuk menjelaskan pandangan pribadi saya tentang bagaimana menyikapi pendapat yang berbeda dalam umat Islam, terutama dalam komunitas nahdliyyin. Gara-gara video Puisi Paskah ini, saya dibanjiri pertanyaan oleh teman-teman NU tentang bagaimana menjelaskan hal ini kepada masyarakat di bawah. Sebagian penjelasan sudah saya kemukakan di atas. Di bagian ini, saya hanya akan menjawab masalah yang satu ini: Bagaimana jika ada pandangan yang beda?
Video Puisi Paskah ini, seperti sudah saya kemukakan di awal tulisan ini, dikritik oleh Prof. Wahab dari Yogyakarta. Banyak kawan-kawan di NU yang keberatan, meskipun yang setuju juga tak kalah banyak. Saya senang ada kritik atas video dan Puisi Paskah saya ini. Diskusi pemikiran menjadi hidup, dan percakapan di kalangan warga nahdliyyin berkembang lebih luas. Ini adalah al-hikmah al-makhfiyyah, hikmah yang tersembunyi di balik perbedaan: menghidupkan diskusi pemikiran. Yang tidak tepat adalah jika masalah ini “digoreng” untuk tujuan sensasi.
Saya menganjurkan, setiap perbedaan pemikiran di NU janganlah disikapi dengan cara seperti “kelompok di luar sana” menyikapi perbedaan, yaitu digoreng, diplintir di luar konteks, dibumbui dengan hal-hal lain yang non-pemikiran. Setiap perbedaan pemikiran haruslah dijadikan bahan diskusi dan sarana untuk mengeksplorasi pendapat dan argumen. Menggoreng udang bagus, tetapi “menggoreng” perbedaan untuk tujuan-tujuan yang kurang pas, sama sekali tidak bagus.
Di dalam NU, menurut saya, haruslah selalu ada perimbangan antara dua pihak: pihak yang “galak” dan pihak yang “lunak”. Saya menggunakan paradigma yang dipakai oleh Imam Abdul Wahhab al-Sya’rani (w. 1565), seorang ahli fikih asal Mesir, sufi pengikut tarekat Syadhiliyyah dan pengagum pikiran-pikiran Ibn ‘Arabi (w. 1240).
Dalam kitabnya yang banyak di-“balah” atau diajarkan di pesantren-pesatren NU berjudul “al-Mizan al-Kubra”, Imam al-Sya’rani meletakkan paradigma yang penting untuk menyikapi perbedaan mazhab fikih dalam Islam. Gagasan itu saya sebut sebagai Paradigma Sya’ranian yang intinya bisa diikhtisarkan sebagai berikut: Seluruh perbedaan dalam mazhab fikih bisa diperas dalam dua “timbangan” (mizan) besar, yaitu timbangan takhfif (lunak) dan timbangan tasydid (galak). Mari saya kutipkan kalimat Imam al-Sya’rani yang menarik berikut ini:
وَانْظُرْ كَيْفَ يَتَجَادَلُوْنَ وَيُضَعِّفُ بَعْضُهُمْ أَدِلَّةَ بَعْضٍ وَأَقْوَالَ بَعْضٍ، وَتَعَلُوْ أصْوَاتُهُمْ عَلَى بَعْضِهِمْ بَعْضًا، حَتَّى كأنّ الْمُخَالِفَ لِقَوْلِ كُلِّ وَاحِدٍ قَدْ خَرَجَ عَن الشَّرِيْعَةِ، وَلايَكَادُ أحَدُهُمْ يَعْتَقِدُ ذلِكَ الوَقْتَ أنَّ سَائِرَ أئِمَّة المُسْلمِين عَلَى هُدًى منْ رَبِّهم أبَدًا، بِخِلَافِ صَاحِبِ هٰذِهِ المِيْزَانَ، فإنَّهُ جَالِسٌ عَلى مَنَصَّةٍ فى سُرُورٍ وطُمَأنِيْنَةٍ كالسُّلْطان، حَاكِمٌ بِمَرْتَبَتَيْ مِيزانِه علَى كلٍّ ًمِنْ أقوَالِهِمْ لا يَرَى قَولاً واحِدًا منْ أقوَالهِم خارِجًا عنْ مَرْتبتَيِ المِيزَانِ من تَخْفيفٍ أو تَشْديْدٍ، بلْ يرَى الشَّريعَة قابِلَةً لكلِّ مَا قالُوه لِوُسْعِهَا
Secara garis besar, kutipan ini bisa diikhitsarkan sebagai berikut: seseorang yang memahami “mizan” atau timbangan paradigmatik yang dipakai oleh Imam Sya’rani akan “santai” memandang perbedaan di antara para ulama mazhab – perbedaan yang begitu sengitnya sehingga digambarkan oleh beliau sebagai cekcok yang membuat salah satu pihak memandang pihak lain telah keluar dari agama. Dengan timbangan ini, seseorang akan merasa tenang menghadapi perbedaan-perbedaan “keras” seperti itu karena dia mampu melihat hakekat di balik perbedaan tersebut.
Yang dimaksud dengan hakekat di sini adalah bahwa semua perbedaan di antara para ulama bisa dikembalikan kepada dua “timbangan” pokok: timbangan galak dan timbangan lunak. Keduanya, dalam pandangan Imam al-Sya’rani, bersumber dari ajaran Kanjeng Nabi Muhammad SAW. Imam Sya’rani menyebut timbangan “spiritual” semacam ini sebagal “al-Mizan al-Sya’raniyyah,” timbangan Sya’rani (Sha’ranian scale).
Meskipun timbangan ini dikemukakan oleh Imam al-Sya’rani dalam kerangka perbedaan mazhab fikih, tetapi tak ada salahnya jika kita memakai timbangan atau paradigma Sya’ranian ini dalam masalah-masalah sosial yang lebih luas, terutama dalam menghadapi perbedaan-perbedaan di lingkungan NU, juga di kalangan umat Islam secara umum.
Dengan menggunakan “al-Mizan al-Sya’raniyyah” ini, saya ingin melihat bahwa tradisi intelektual dalam kalangan NU selalu diwarnai oleh dua model pendekatan dan pendapat: ada pendapat yang galak, ada pendapat yang lunak. Ada mode kiai yang “adaptative” dan lunak seperti Kiai Abdul Wahab Chasbullah; ada kiai yang “rigid” dan keras seperti Kiai Bisri Syansuri. Dalam setiap tahapan sejarah NU, dua model kekiaian ini selalu hadir, dan itu adalah pertanda yang amat baik.
Meskipun saya, secara pribadi, kebutuhan dalam NU untuk pendekatan yang memakai “timbangan takhfif”, lunak, adaptatif, dan kontekstul dalam situasi saat ini jauh lebih besar. Karena itu, saya lebih menyukai jenis pemikiran keagamaan yang mengarah kepada timbangan semacam ini, ketimbang “timbangan yang galak”. Meskipun, demi keseimbangan sosial, timbangan yang terakhir itu haruslah tetap ada. Seperti komentar seorang kiai ketika melihat kontroversi Gus Dur pada tahun-tahun 80an: NU itu seperti bus dengan penumpang besar; sang supir harus tahu kapan menginjak pedal gas, kapan menginjak pedal rem.
Bagaimana seseorang menafsirkan kesimbangan dua pedal ini dalam kehidupan nyata, bisa berbeda pendapat. Sesuatu yang dianggapa “kebablasan” orang tokoh A, belum tentu dipandang demikian oleh tokoh B, dan begitu juga sebaliknya. Sebab, terjemahan keseimbangan ini tidak mengena maksim atau kiadah yang “pasti”; masing-masing orang bisa mengajukan interpretasi yang berbeda. Di sini, terbuka perbedaan pandangan yang luas. Asal berlangsung secara sehat, perbedaan semacam ini sangatlah sehat dan baik-baik saja.
Setiap kelompok sosial dan kebudayaan, agar tetap eksis, membutuhkan dua jenis pendekatan seperti ini. Jika pendekatan yang “galak” dan kaku terlalu menonjol, kelompok itu akan mengalami kebuntuan, karena susah mengadapatasikan diri dengan perubahan. Tetapi jika yang menonjol hanyalah pendekatan yang “takhfif”, lunak saja, kelompok sosial itu akan kehilangan jati diri, karena terlalu diserap oleh perubahan-perubahan zaman yang cepat. Keseimbangan antara dua “timbangan” inilah yang akan menjamin setiap komunitas tetap eksis, ada, tegak – dia dia beradaptasi, tetapi dengan tetap berpegang ada “core doctrines and values”, akidah dan nilai-nilai pokok.
Falsafah ini sudah tertuang dalam yargon yang sangat populer dalam NU: al- muhafadzah ‘ala al-qadim al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah – merawat tradisi lama yang baik, dan mengadopsi inovasi baru yang lebih baik. Sekian.***
Wal-l-Lahu a’lam bissawab.
Jatibening, Rabu, 15/4/2020
Advertisement