Tentang “Puisi Paskah†Itu: Sebuah Penjelasan (1)
Setelah video yang menampilkan dua santri yang membacakan Puisi Paskah yang saya tulis beredar-luas di sejumlah WAG, muncullah percakapan, perbincangan, pro-kontra yang lumayan seru, terutama di kalangan teman-teman NU. Dalam beberapa hari terakhir ini, saya menerima banyak sekali pesan melalui WA, menanyakan: Apakah benar saya menulis puisi yang dibacakan dalam video itu. Bahkan ada seorang teman NU dari Jawa Timur yang meminta saya agar secara khusus membuat pernyataan, entah melalui video atau tertulis, bahwa sayalah penulis puisi itu.
Tak lama berselang, portal berita Duta dari Jawa Timur menulis laporan mengenai video ini, dan memuat komentar Prof. Dr. H. Rochmat Wahab, seorang mantan pengurus PWNU Yogyakarta. Dan kemudian percakapan menjadi lebih “seru” lagi. Komentar Prof. Wahab sangat keras menentang puisi itu, dan video pembacaan yang menampilkan dua santri yang masih berusia sangat beli -- santri perempuan memakai jilbab, sementara santri laki-laki memakai baju koko dan peci yang memuat logo NU. Ini adalah gejala “liberalisasi” yang amat berbahaya dalam NU, kata Prof. Wahab.
Saya kira, salah satu sumber kontroversi dalam video ini adalah logo NU dalam peci yang dipakai oleh santri laki-laki itu. Seorang tokoh NU di tingkat pusat menyayangkan, kenapa harus membawa-bawa nama dan logo NU. Saya berandai-andai, jika tak ada logo NU di dalam video itu, mungkin tak akan ada percakapan seru seperti sekarang ini. Mungkin.
Semula saya malas memberikan komentar apapun mengenai soal video ini, meskipun banyak pesan yang masuk ke telepon genggam saya nyaris setiap hari sejak Jumat, 10/4, yang lalu – hari yang dikenal di kalangan umat Kristen sebagai Jumat Agung atau “Good Friday”itu, hari ketika Yesus atau Nabi Isa disalibkan. Beberapa hari ini saya diam saja, dan sama sekali tak tertarik memberikan komentar apapun, selain klarifikasi singkat yang berisi konfirmasi bahwa: Ya, saya menulis puisi itu, sekitar tujuh tahun lalu.
Tetapi, setelah berlalu beberapa hari, saya berubah pikiran: rasanya tidak baik jika saya diam saja tanpa memberikan penjelasan apapun. Akhirnya, saya putuskan untuk menulis penjelasan ini. Mungkin saja penjelasan ini tak memuaskan semua pihak, terutama pihak-pihak yang memang memiliki “posisi intelektual-teologis” yang berbeda dengan saya, dan cenderung tak menyepakati hal-hal semacam ini. Tetapi bagi saya, itu hal yang tak perlu dirisaukan. Perbedaan pandangan adalah yang lumrah di kalangan umat Islam, termasuk di kalangan nahdliyyin. Difference is a good food for a healthy society, perbedaan adalah makanan yang sehat untuk sebuah masyarakat.
Bagaimana sejarah munculnya puisi ini?
Puisi ini saya tulis sekitar tujuh tahun yang lalu, dan tidak saya niatkan sebagai sebuah puisi. Sebab, semula apa yang belakangan dikenal sebagai “puisi” itu berasal dari twit yang saya tulis persis pada saat momen Jumat Agung. Saya masih ingat, rangkaian twit yang belakangan dikumpulkan oleh seseorang (saya tidak tahu siapa) menjadi puisi itu saya tulis pada suatu pagi, menggunakan Blackberry (sekarang alat ini sudah nyaris “punah”), dan memakai aplikasi yang populer saat itu: Uber Twitter. Saya menuliskan “puisi” itu dengan “penghayatan” yang mendalam. Saya merasa, pagi itu saya seperti mengalami semacam pengalaman “teofani” (tajalliyat) yang mendadak. Setelah twit itu saya siarkan, saya sudah lupa sama sekali. Saya tak menduga bahwa twit-twit itu akan menadi “Puisi Paskah” yang digemari banyak kalangan, terutama teman-teman Kristiani.
Kira-kira setahun atau dua tahun kemudian (saya lupa persisnya), rangkaian twit-twit saya itu kemudian menyebar (bahasa sekarang: viral) pada saat perayaan Paskah sebagai sebuah puisi yang utuh. Saya tak tahu siapa yang mengumpulkan dan merangkai twit-twit itu, dan siapa yang pertama kali menyebarkannya. Sejak itu, puisi itu secara rutin beredar setiap tahun pada saat perayaan Paskah, terutama pada momen Jumat Agung. Saya senang sekali bahwa kawan-kawan Katolik/Kristen menggemari puisi ini. Bahkan ada sebagian kawan Katolik yang berseloroh bahwa ada tiga puisi Paskah: puisi Rendra, Joko Pinurbo, dan puisi saya. Puisi Paskah yang saya tulis tentu menempati posisi yang spesial karena digubah oleh seorang Muslim.
Kenapa saya menulis puisi ini?
Saya, sejak usia muda, saat menjadi aktivis di era 90an dahulu, era ketika Gus Dur masih sangat aktif sebagai intelektual Muslim paling top di Indonesia yang terlibat dalam kegiatan-kegiatan dialog antar-iman, memang sudah berminat untuk mempelajari an mengapresiasi tradisi keagamaan dari agama-agama dan kepercayaan di luar Islam. Agama Kristen dan Yahudi termasuk di antara dua agama yang paling menarik perhatian saya. Saya bahkan sengaja belajar bahasa Ibrani secara khusus agar bisa membaca kitab Torah dalam bahasa aslinya – meskipun masih “grothal-grathul”, belum lancar.
Saya memiliki banyak sekali teman-teman Katolik/Kristen, dan saya juga mengagumi sejumlah intelektual yang berasal dari dua tradisi keagamaan itu, seperti YB Mangunwijaya, Franz Magnis Suseno, Ignas Kleden, Daniel Dhakidae, Eka Dharmaputera, Th. Sumartana, A. A. Yewangoe, dll. Karena itu saya tertarik untuk mempelajari keyakian dan tradisi keagamaan yang mereka anut. Saya berpikiran: jika saya berteman dengan seseorang dengan akrab, dan saya tidak mencoba memahami “lebih dalam” tradisi keagamaan dan spirtualitas dia, agaknya kok kurang lengkap.
Puisi Paskah yang saya tulis itu adalah bagian dari cara saya mengapresiasi tradisi keagamaan teman-teman saya yang beragama Katolik/Kristen. Beberapa hari yang lalu, Dr. Ignas Kleden mengirim pesan yang mengharukan via WA kepada sbb:
“Mas Ulil yang Budiman, terima kasih buat sajakmu tentang Jumat Agung yang kami rayakan hari ini. Ucapan terima kasih ini bukan lantaran simpatimu yang tulus kepada sebuah peristiwa iman Kristen yang terpenting, tetapi untuk kerendahan hatimu yang bersedia belajar dari mana saja, dari siapa saja, tentang pengorbanan sebagai tanda kasih Allah bagi semua kita. Sudah saya teruskan ke STF Ledalero-Maumere melalui adik saya Romo Leo Kleden. Penghuninya menyambut hangat puisimu ini. Salam.”
Sedikit selingan soal Dr. Kleden: Dia adalah salah satu intelektual Katolik yang saya kagumi sejak lama. Saya membaca dan menikmati tulisan-tulisan dia sejak masih usia belia, sejak masih menjadi santri di sebuah dusun di Pati: Cebolek. Salah satu tulisan panjang dia yang saya sukai, dan baca berulang-ulang (karena tidak paham!) adalah kata pengantar dia untuk bunga rampai yang memuat tulisan-tulisan Soedjatmoko berjudul “Etika Pembebasan”. Tulisan-tulisannya yang disiarkan melalui jurnal Prisma pada tahun 80an juga saya baca dengan penuh antusiasme. Adalah kebahagiaan yang luar biasa besar bagi saya, menerima “compliment” dan apresiasi dari intelektual yang saya hormati ini. Saya amat terharu.
Jatibening, Rabu, 15/4/2020 (Bersambung)
Advertisement