Tentang Politik Suharso Monoarfa, Ini Anekdot Fachry Ali
Pengamat sosial politik, Fachry Ali mempunyai daya pesona. Meski tak secara intens menulis opini, tapi ia intens menuliskan anekdot tentang sejumlah tokoh Indonesia. Yang kerap diungkap, terkait dengan tokoh-tokoh politik Islam.
Anekdot tentang politik dan Suharso Manoarfa kali ini, beda. ia tak lagi bicara soal tokoh pesantren, seperti Gus Dur dan hal-hal yang humoris lainnya. Ini petikannya:
Berita tentang keterpilihan Suharso Monoarfa ketum PPP, 20 Desember 2020. Ya, kawan saya Suharso Monoarfa pimpin Parpol. Dua hal yang saya ingat.
Pertama, ketika Harso minta pertimbangan saya untuk terjun ke dunia politik melalui PPP. Sebagai anak Gotontalo, meski lahir di NTB dan besar di Malang, Jawa Timur, Harso telah lama bersimpati kepad PPP.
Pada masa ketika ia masih tidak membayangkan diri sebagai politisi, Harso selalu mencetak kaus partai ini untuk disumbangkan pada massa kampanye dengan gratis. Maka, ketika Harso minta pertimbangan, saya hanya mengiyakan —dengan menyadari kecenderungannya di masa lalu.
Kedua, saya dan Iqbal Abdurrauf Saimima (almarhum) adalah yang pertama menulis PPP secara ‘akademik’ di Prisma awal 1980-an. Terbitan Prisma yang khusus memuat tulisan tentang partai-partai politik (PDI oleh Manuel Kaisiepo dan Golkar oleh Aswad Bahasuan) itu banyak menjadi pengajaran di fakultas-fakultas ilmu sosial politik berbagai perguruan tinggi Indonesia.
Sebagian karena terbitan Prisma itulah yang untuk sementara ‘paling lengkap’ menguraikan partai-partai politik awal Orde Baru itu.
Selamat So. Moga partaimu kembali berjaya. Dan yang lebih penting, tidak terperosok seperti ketua-ketua umum yang lalu.
Ada komentar dari warganet, Ridwan Monoarfa berada di Gorontalo:
"Buruh, Politik dan Oligarki". Sebagai Pemimpin dan aktivis buruh di Indonesia suatu keharusan memahami terpolanya atau terbentuk struktur sosial dan struktur politik di Indonesia.
Pembentukan struktur sosial atau kekuasaan dapat dipahami dari perspektif: "Negara dan Bisnis relasinya dengan Oligarki" (Dan oligarki yang saya maksudkan adalah mereka yang memiliki modal dan menggunakan kekuasaan untuk menambah pundi-pundi kekayaannya).
Struktur sosial dan kekuasaan ini di era Sukarno adalah mereka yang dekat dengan kekuasaan serta militer yang difungsikan dalam nasionalisasi perusahan-perusahaan Belanda. Dan di era Orde Baru Kroni Suharto, konglomerat cina dan anak-anaknya ( dan militer tersingkir)
Bagaimana dengan era reformasi? Struktur sosial ini masih berlanjut dan terhadap struktur kekuasaan mereka makin masif mengendalikan Negara. Dan bila tidak keliru mengutip pendapat Bang Fachry Ali bahwa: "Bila diera Soeharto negara mengendalikan oligarki dan di era reformasi Oligarki mengendalikan Negara".
Situasi tersebut di atas mengondisikan lagam kebijakan publik, ekonomi dan Politik . Dan dalam konteks tersebut di atas dapat dipahami kekuatan atau islam politik termajinalkan (mungkin yang tepat teralinasi) dari negara, baik secara ekonomi maupun politik .
Bagaimana pemimpin dan aktivis buruh merespon struktur kekuasaan dan sosial tersebut di atas?
Usul saya Pemimpin dan dan aktivis buruh terhadap lagam dari struktur kekuasaan dan sosial tersebut diatas merumuskan kembali peran mereka terhadap gerakan sosial politik. Hadirnya Gerakan Buruh dalam ruang publik (baca: kebijakan publik) tanpa pemahaman yang ajek tentang Negara dan Bisnis relasinya dengan Oligarki hanya menjadikan buruh ornamen kekuasaan yang meyakinkan oligarki bahwa buruh juga telah "diamankan" atau dalam konteks lain UU Cipta Kerja produk dari oligarki dalam memuluskan investasi dengan mengurangi hak-hak buruh yang kemudian diambil alih oleh negara bisa dilihat isue pesangon.
Sejarah itu bergerak dialektika antara majikan dengan buruhnya dalam konteks peradaban kapitalisme. Salam Sehat.