Tentang Ghibah dan Fitnah, Ini Dialog Nabi Isa dan Iblis
Selama ini kita mengira bahwa perbuatan ghibah hanyalah kesalahan biasa. Bahkan, menganggapnya bukan sebagai kesalahan. Saking seringnya lidah kita dipergunakan untuk menggunjing, mengungkap, dan menyebarkan aib orang lain. Atau saking ringannya jari-jari kita dipergunakan untuk menulis kata-kata umpatan dan hinaan kepada orang lain melalui media sosial. Na‘udzu billah.
Padahal, ghibah merupakan perbuatan dosa besar, sebab disebutkan dalam Al-Quran. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain, (Surat Al-Hujurat ayat 12).
Menurut para ulama, di antara kriteria dari perbuatan dosa besar adalah larangan dan ancamannya disebutkan langsung dalam Al-Quran. Namun, sebelum masuk kepada ancaman dan konsekuensi dari perbuatan tersebut, ada baiknya kita melihat bagaimana pengertian ghibah itu sendiri. Sebab, boleh jadi banyaknya orang yang berbuat ghibah karena belum mengenali batasan-batasannya.
Seorang sahabat pernah bertanya kepada Rasulullah SAW, “Apa itu ghibah , ya Rasul?” Ia menjelaskan, “(Ghibah itu) menceritakan saudaramu dengan sesuatu yang tidak disukainya.”
Seorang sahabat pernah bertanya kepada Rasulullah SAW, “Apa itu ghibah , ya Rasul?” Ia menjelaskan, “(Ghibah itu) menceritakan saudaramu dengan sesuatu yang tidak disukainya.”
Sahabat tadi bertanya lagi, “Bagaimana jika apa yang aku ceritakan itu benar-benar terjadi pada saudaraku?”
Dijawab oleh Rasulullah SAW, “Jika apa yang kauceritakan itu benar-benar terjadi, berarti kau telah mengghibahnya. Namun, jika apa yang kauceritakan itu tidak terjadi, berarti kautelah berbuat kebohongan padanya.”
Dari hadits di atas, dapat disimpulkan bahwa ghibah artinya menceritakan apa yang terjadi pada orang lain yang apabila terdengar oleh orang yang diceritakannya pasti tidak menyukainya, meski apa yang diceritakan itu benar-benar terjadi padanya.
Suatu hari, Siti ‘Aisyah pernah bercerita di hadapan Nabi SAW tentang seorang wanita. Terakhir, Siti ‘Aisyah memungkas, “Alangkah pendeknya wanita itu, ya Rasul!” Mendengar demikian, ia langsung menegur, “Sungguh kau telah menggunjingnya.” Pernyataan Rasulullah SAW itu mengisyaratkan bahwa apabila yang disampaikan Siti ‘Aisyah itu terdengar oleh wanita tadi, pasti tidak menyukainnya, meski keadaan wanita tersebut memang demikian adanya.
Anehnya, mengapa para pelaku ghibah seakan mendapatkan “kenikmatan” tersendiri saat melakukannya. Tidaklah mengherankan karena Iblis senantiasa menggoda manusia melalui berbagai pintu, termasuk dari ghibah ini.
Konon, bibir orang-orang yang senang berbuat ghibah , oleh Iblis dilumati dengan madu, sebagaimana dikisahkan Al-Ghazali dalam Mukâsyafatul Qulub. Tujuannya agar mereka selalu merasa “manis” saat membicarakan dan menyebarkan aib orang.
Dikisahkan, dalam sebuah perjalanan, Nabi Isa AS pernah bertemu dengan Iblis yang sedang membawa madu di salah satu tangannya dan membawa abu di tangan lainnya.
Ditanya oleh Nabi Isa, “Apa yang akan kaulakukan dengan madu dan pasir itu, hai musuh Allah?”
Iblis menjawab, “Madu ini akan kuoleskan pada bibir para ahli ghibah agar mereka merasa manis dan semakin giat melakukan ghibahnya. Sementara abu ini kubalurkan pada wajah anak-anak yatim, sehingga orang-orang merasa benci kepada mereka.” Wallahu ‘alam.
Demikian penjelasan Ustadz M Tatam Wijaya, dikutip dari situs resmi nu-online.
http://www.nu.or.id/post/read/102405/dialog-nabi-isa-dan-iblis-perihal-ghibah