Tentang Air Kencing, Kisah Sebagian Orang Saleh dari An-Nawadir
Syaiban adalah seorang penjual unta dan penggembala. Suatu hari, ia dilemparkan di depan hewan buas agar dimakan. Hewan buas itu mencium kehadiran dan melihatnya.
Lalu, ia ditanya, “Apa yang engkau katakan ketika engkau dilemparkan di depan hewan buas itu?”
“Aku berpikir perkataan ahli figh tentang bisa hewan buas," jawab Syaiban.
Menurut suatu informasi, Syaiban pernah berhaji bersama Sufyan ats-Tsauri, kemudian mereka menghadapi hewan buas. Dengan tanpa penolakan dari hewan tersebut, Syaiban memegang dan mengelusnya hingga hewan tersebut menjadi jinak di tangannya, dengan digerak-gerakan telinganya.
Bersamaan dengan itu, Syaiban berkomentar, “Demi Allah, seandainya tidak ada kekhawatiran tenar, akuletakkan selendangku di atas hewan ini, sampai pergi ke Makkah al-Musyarrafah.”
Suatu kabar menyatakan bahwa suatu waktu Imam Syafi'i dan Imam Ahmad lewat, sedangkan Syaiban sedang menggembala kambing.
“Niscaya, aku bertanya kepada si penggembala ini, agar tahu jawabnya?” ucap Imam Ahmad.
“Jangan mendekatinya!” kata Imam Syaffi.
“Aku harus melakukan itu,” ungkap Imam Ahmad.
Imam Ahmad mendekat, dan berkata, “Wahai Syaiban, apa pendapatmu tentang orang yang shalat empat rakaat dengan empat sujud, apa yang harus ia lakukan?”
Artinya..
“Wahai Dzat Maha Pengasih, wahai Dzat Maha Pengasih, yang mempunyai Arsy yang Agung, yang Memulai dan Mengembakkan, wahat Dzat Maha Melakukan segala sesuatu yang dikehendaki, aku meminta kepada-Mu dengan keagungan-Mu yang tidak dijangkau, dengan kerajaan-Mu yang tidak akan pernah sirna, dengan cahaya wajah-Mu yang memenuhi penjuru Arsy-Mu, dengan kekuasaan-Mu yang untuk menguasai makhluk-Mu, agar Engkau menjauhkan aku dari kepelekan orang-orang zhalim, semuanya."
Dalam sebuah risalah, Syaiban berada di rumah Abdullah alOusyairi yang dinamai dengan bait as-siba' (rumah hewan buas). Dinamakan demikian karena hewan-hewan buas datang ke rumah tersebut, lalu Abdullah al Ousyairi memberi makan dan minum, kemudian menjauh dari rumah tersebut.
Wudhu di Masjid
Sahal bercerita:
Suatu pagi, hari Jumat, aku berwudhu, dan pergi ke masjid. Aku sedikit terkejut, sebab orang orang sudah berkumpul di sana, Akan tetapi, aku kurang sopan, melangkahi orang-orang sampai dapat duduk di shaf awal. Aku duduk. Di sampingku ada seorang pemuda yang berparas tampan dan bersikap terpuji mendadak berkata, “Bagaimana keadaanmu, wahai Sahal?”
“Baik, semoga Allah Swt. memberikan kebaikan kepadamu," ungkapku.
Aku terkejut, sebab ia mengetahui tentang aku. Beberapa saat kemudian, rasa ingin kencing tidak tertahankan. Aku bingung, ingin keluar tetapi harus melangkahi orang-orang. Aku sudah tidak kuasa menahan lagi. Saat itu, pemuda di sampingku menoleh
kepadaku.
“Aku akan mengambil rasa sakit karena menahan kencingmu, wahai Sahal!" ucap pemuda itu.
“Ya, silakan,” terkejut tapi juga lega.
Pemuda itu melepaskan surban dari pundaknya. Ia menutupi aku dengan surban itu.
“Silakan berdiri, dan buanglah kencingmu di sini. Cepat! Sebab, shalat sebentar lagi dilaksanakan.”
Aku langsung pingsan. Setelah sadar, ternyata aku berada di pintu terbuka, dan seseorang memanggilku, “Silakan masuk, wahai Sahal. Dan, buanglah hajatmu!"
Aku masuk ke dalam ruangan besar yang terdapat sebatang kurma bersih berada di sampingnya, terdapat juga siwak, handuk, dan tempat istirahat. Aku melepas pakaianku, dan buang air kecil di sana. Aku berwudhu dan mengusap wajahku dengan handuk.
Tiba-tiba, sebuah suara memanggil, “Wahai Sahal, apakah engkau sudah buang air kecil?"
“Ya, sudah,” jawabku.
Selanjutnya, pemuda yang berada di sampingku itu membuka surbannya dariku. Aku terkejut, sebab aku duduk di tempatku semula, yaitu di masjid. Tidak ada seorang pun mengetahui peristiwa itu. Aku berpikir keras, antara membenarkan atau tidak atas kejadian yang baru saja aku alami tersebut.
Setelah shalat, aku mengikuti langkah pemuda itu, dan mencari tahu tentangnya. Di suatu tempat, ia masuk ke dalam rumah, tempat aku membuang hajat. Ia menoleh kepadaku.
“Apakah engkau sudah percaya, Sahal?” ucapnya.
“Ya, aku percaya,” jawabku.
Aku mengusap mataku, dan membukanya kembali untuk menambah keyakinanku. Setelah itu, aku tidak melihat bekas tentangnya sama sekali,
Semoga Allah SWT meridhai dan aku juga termasuk minassholihinn. Amin.
Demikian kandungan Kitab An-Nawadir.