Tempe H Farkhan Sejak 1969, Harganya Pernah 1 Ringgit di Jombang
Sore itu cuaca cukup bersahabat. Berlokasi sekitar 100 meter dari rumah H Farkhan tampak dua pekerja menata kedelai yang sudah diberi ragi. Satu menata di papan kayu dengan ditutup plastik. Sedangkan pekerja yang lain memasukkan kedelai ke dalam plastik.
Industri tempe rumahan milik H Farkhan ini berlokasi di Dusun Kandangan, Desa Kepuhkembeng, Kecamatan Peterongan, Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Pria kelahiran 1955 itu sudah merintis usaha tempenya sejak tahun 1969.
“Waktu itu saya usia 12 tahun, berjualan tempe lantaran memilih pekerjaan yang modalnya sedikit. Kendati demikian upahnya bisa segera saya manfaatkan hari itu juga,” kata Farkhan yang ditemani putrinya, Listy Nur Khafifah kepada Ngopibareng.id pada Jumat, 7 Agustus 2020.
Farkhan menyebut, kala itu dia menjadi tulang punggung keluarga bagi ketiga adiknya. Orangtua Farkhan telah meninggal dunia sejak 1965. Farkhan memilih menjadi buruh pencari rumput selama empat tahun.
Sementara itu, ide berjualan tempe tercetus setelah melihat keponakannya berjualan produk yang sama. Farkhan sempat belajar dan mengamati pembuatan tempe dari keponakannya selama tiga bulan. Farkhan lantas mencari resep formula untuk tempenya sendiri.
“Dulu tempe murni mahal dan masyarakat nggak mampu beli. Saya bereksperimen sendiri dengan mencampurkan kedelai dengan jagung putih, nasi yang dikeringkan, ketela pohon, dan gandum,” ujar bapak tiga anak itu.
Ragi Tempe dari Nasi Jagung
Untuk menemukan ragi yang tepat, Farkhan sempat memanfaatkan nasi jagung yang sudah dikukus. Kedelai yang sudah dicuci terlebih dulu ditakar ke dalam satu sendok makan.
Kemudian, kedelai tersebut diletakkan di daun waru. Setelah itu, kedelai dibalur dengan nasi jagung yang sudah dikukus agar menghasilkan bunga tempe. Bunga tempe yang menempel di daun waru inilah yang dijadikan sebagai ragi. Kedelai lantas dibiarkan di atas daun pisang selama satu hari dua malam.
“Saya dulu buat raginya menggunakan daun waru sebagai alasnya. Kedelai satu sendok saya masukkan ke daun lalu saya kasih nasi ampok agar banyak bunga tempenya. Itu hasil saya nyari-nyari sendiri,” jelas Fakhran.
Tempe yang siap dijual pun dibungkus ke dalam daun pisang dan jati. Pertama kali menjajakan dagangannya, Farkhan berkeliling menggunakan sepeda ontel ke lingkungan sekitar.
"Waktu itu produksi paling banyak 7 kilogram kedelai," jelas dia.
Lambat laun tempe buatan Farkhan semakin diminati dan memiliki pelanggan tetap. Di samping itu, sejak tahun 1985 Farkhan memilih ragi onggok yang dibelinya langsung dari Pekalongan. Ragi ini menurutnya berkualitas baik dan cocok dengan lidah orang Jombang.
Tempe Dibanderol Satu Ringgit Indonesia
Saat pertama kali jualan pada 1969, tempe produksi Farkhan dijual senilai satu ringgit atau setengah rupiah, Rp25. Hingga saat ini harga tempe mengalami perubahan hingga lebih dari 50 kali. Saat ini pembeli bisa menikmati tempe buatannya seharga Rp 7.000.
“Dulu saya masih tahu uang sen, ece, setali dan rupiah. Saya sendiri pertama kali jualan tempe itu satu ringgit Indonesia. Pada tahun 1969 kedelai harganya masih Rp25. Sekarang harganya jadi Rp 7.000,” bebernya.
Pada tahun tersebut tempe belum begitu populer di masyarakat. Tempe baru mendapat apresiasi pada tahun 1980-an. Seiring berkembangnya zaman, Farkhan juga terus berinovasi dengan memperbaiki kualitas tempe. Bahkan, Farkhan harus berkeliling di tiga kota sekaligus agar tidak kalah saing.
“Saya sampai belajar ke Sidoarjo, Malang dan Pekalongan agar tidak kalah saing. Saat itu pengrajin batik tergerus pabrik modern dan ambyar. Mereka lalu banting setir jualan tempe. Saya juga nggak mau kalah, tempe saya juga sudah punya izin sejak tahun 1980,” tegas Farkhan.
Maksimal Habiskan 1,5 Kuintal saat Pandemi Covid
Sebelum pandemi menyerang, pada tahun 2015 Farkhan bisa menghabiskan 4 kuintal kedelai setiap harinya. Namun, pada 2016 hingga 2020 produksi kedelai dalam sehari menurun menjadi 2 kuintal. Jumlah ini semakin merosot kala pandemi menjadi 1,5 kuintal.
Salah satu penyebabnya lantaran kompetitor lain yang sudah mulai menjamur. Selain itu, pasar tempatnya membuka lapak ditutup selama dua bulan. Hal ini berakibat pada pemutusan hubungan kerja dengan dua karyawannya. Terlebih, penjualan tempe hasil minus sejak Mei 2020.
“Sejak 2015 paling banyak habiskan 4 kwintal. Sekarang saat Covid mentok 1,5 kuintal. Biasanya yang beli untuk sarapan anak sekolah, tapi kan mereka libur jadi menyusut. Pasar juga ditutup jadi sampai minus dan merumahkan dua karyawan,” ujar Listy, mewakili sang ayah.