Tembakau Jawa Timur Ibarat La Tierra Prometadora
Di mata para juragan tembakau dunia Indonesia itu ibarat La Tierra Prometadora. Sebuah tanah yang menjanjikan. Maka jangan heran jika Kuba, maupun negara-negara penghasil tembakau terbaik dunia, tak pernah alpa menoleh ke Indonesia saban kali mereka membutuhkan bahan baku cerutu.
_____________________
Jawa Timur punya Jember. Jember punya tembakau. Tembakau jadi salah satu komoditas unggulan Kabupaten Jember. Melalui potensi tanaman ini tembakau Kabupaten Jember sudah lama terkenal dan melegenda sebagai Kota Tembakau.
Jember adalah salah satu daerah produsen dan penghasil tembakau terbesar dengan produk yang berkualitas. Tidak hanya di pasar nasional, bahkan telah lama kota Jember dikenal negara-negara eropa seperti Jerman, Italia, Belanda dan Amerika Serikat.
Dunia internasional juga mengenal Besuki Na Oogst (BNO). Daun tembakau yang dihasilkan di Besuki, Jember ini sangat cocok dipakai sebagai pembalut/selubung, pengikat atau pembungkus, bahkan pengisi cerutu.
Tembakau Besuki yang turut mengharumkan nama Jawa Timur, unggul dalam karakter elastisitas, rasa, serta warna daun yang cokelat kehitaman.
Tembakau Jember paling banyak diekspor ke Bremen, Jerman.
Di Bremen, tembakau Jember dimanfaatkan terutama untuk bahan pembalut cerutu (dekblad). Dipakai juga sebagai bahan pengikat (binder) serta pengisi (filler) aroma cerutu yang berkualitas. Setelah berbentuk cerutu, tembakau dari Jember ini tidak kalah rasa dan aroma dari legenda cerutu seperti Kuba atau Amerika.
Lebih dari dua abad lamanya tembakau ada dan tumbuh di daerah Jember. Mulanya, adalah George Bernie yang mendapatkan hak erfpacht atau hak guna usaha untuk jangka waktu 75 tahun di daerah Jember di Jenggawah. Dia menggarap areal perkebunan ini untuk usaha perkebunan tembakau jenis BNO (Besuki Na Oogst).
Zaman pun berganti. Perkebunan tersebut lalu dikelola oleh badan hukum milik Pemerintah Hindia Belanda. Setelah pendudukan Jepang, perusahaan ini kemudian dinasionalisasikan.
Terhadap lahan perkebunan itu sempat timbul konflik antara petani dengan PT Perkebunan (PTP) XXVII. Konflik ini bisa diselesaikan. Petani memperoleh hak milik atas lahan tersebut. PTP XXVII, XIX, XXI, dan XXII pada tahun 1996 kemudian melebur menjadi PT Perkebunan Nusantara X.
Masyarakat setempat biasa menanam tembakau. Sampai-sampai tanaman tembakau menjadi trade mark Kabupaten Jember. Tidak mengherankan bila pemerintah kabupaten memakai daun tembakau sebagai salah satu gambar yang menghias lambang daerahnya.
Senada seirama dengan di Jember, tembakau juga merupakan tanaman perkebunan andalan bagi masyarakat petani Kabupaten Bojonegoro.
Ada dua jenis tembakau yang diusahakan oleh petani di wilayah ini, yaitu jenis Virginia dan Jawa. Areal tanaman tembakau pernah tercatat seluas 6.389 ha untuk tembakau Virginia dan 518 ha untuk tembakau Jawa.
Produksi tembakau di Kabupaten Bojonegoro pada tahun 2005 mencapai 8.676 ton, sedangkan pada tahun 2006 menurun menjadi 4.737 ton. Hal ini disebabkan adanya penurunan luas areal tanam sebesar 38,36 persen pada tahun 2006. Pemerintah Kabupaten Bojonegoro berusaha mengatasi masalah ini, sehingga pada tahun-tahun berikutnya produksi tembakau Kabupaten Bojonegoro dapat meningkat, mengingat tembakau Kabupaten Bojonegoro merupakan komoditi ekspor karena kualitasnya yang bagus.
Sementara untuk petani Madura, tanaman tembakau sudah tidak asing lagi dan merupakan tanaman idola masyarakat. Tanaman tembakau memiliki nilai ekonomis yang sangat tinggi dan ditunjang dengan kondisi alam dan tanah yang relatif kering. Iklim yang cocok ini memuat hampir seluruh masyarakat kabupaten Pamekasan memprioritaskan tanaman tembakau sebagai mata pencarian utama di musim kemarau maupun daerah kering.
Komoditas tanaman tembakau sebagian besar dipasarkan pada pasar regional, nasional maupun internasional, khususnya pada pabrik rokok Gudang Garam, Sampoerna, dan Djarum. Untuk tembakau Pamekasan bahkan memiliki citra rasa tersendiri dan biasanya digunakan sebagai bahan campuran dari tembakau yang ada di tempat lain.
Meski tembakau ibarat daun emas dan menjadi favorit para petani karena komoditasnya yang mahal, bukan berarti menanam tembakau lepas dari masalah. Selalu saja timbul persoalan krusial yang naga-naganya menjerat petani tembakau. Kasta paling rendah bagi mata rantai dunia bisnis pertembakauan.
Kalau disimak, sesungguhnya persoalan pertembakauan dari tahun ketahun selalu sama. Tidak pernah bergeser dan tergolong klasik. Dimana harga jual dipasaran sangat bergantung pada pihak pabrikan. Terutama raksasa-raksasa pabrik rokok.
Sebab itu, agar para petani tembakau yang notabene berada di kasta paling bawah tidak selalu pada pihak yang dirugikan, berbagai upaya dan terobosan terus dilakukan.
Pemeritah kabupaten seperti Jember, Bojonegoro, Pamekasan turut cawe-cawe dalam mengupayakan terobosan. Beberapa format terobosan bahkan sudah dijajal, salah satunya yang sekarang populer digunakan adalah konsep kemitraan. Yaitu kemitraan antara petani dengan pengusaha tembakau.
Meski sistem kemitraan populer dipakai, bukan berarti masalah petani dan pengusaha tembakau tuntas. Menurut Dr Widyastuti Soerojo, seorang pakar dari Tobacco Control Support Center - Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (TCSC-IAKMI) di Jakarta, kemitraan tetap meninggalkan masalah. Dengan sistem kemitraan, posisi tawar petani justru menjadi lebih rendah.
Para petani yang mengikuti program kemitraan telah memperoleh jaminan terbelinya tembakau oleh perusahaan yang mengadakan program itu pada suatu tingkat harga tertentu.
Para petani program kemitraan juga memperoleh pinjaman pupuk dan bibit dari perusahaan mitranya. Pinjaman itu harus dikembalikan pada saat panen telah dilakukan dan disetorkan.
Program kemitraan memberikan jaminan kepastian pembelian saat panen kepada para petani.
Namun demikian, tidak semua petani mau mengikuti program itu. Bahkan ada yang menolaknya. Petani memberikan alasan, jika mengikuti program kemitraan mereka tidak memiliki potensi untuk memperoleh pendapatan sampingan selain tembakau.
Pendapatan sampingan ini mereka peroleh dari menanam tanaman jenis polowijo seperti tomat, cabai, jagung, semangka, dan sebagainya di sekitar areal tanam tembakaunya.
Selain itu menurut petani program kemitraan ini memiliki aturan ketat. Ketatnya aturan acapkali membuat petani mengalami kerugian-kerugian. Misalnya: waktu petik yang ditunda dan ketidakpastian tingginya tingkat hasil tembakau hasil panenannya.
Di luar kerugian yang acap kali mendera petani itu, program kemitraan juga dipandang seolah-olah menghilangkan identitas mereka sebagai pemillik sah lahan tembakaunya. Nah! Lalu? (idi/bersambung)