Teman untuk Ibu
oleh Windy Effendy
Ratri meletakkan telepon dalam genggamannya ke atas meja. Hatinya patah satu-satu. Pundaknya terasa semakin berat, setelah berhari-hari serasa memikul karung berisi batu. Ia harus menerima. Priyo, belum bisa pulang sampai akhir minggu ini, bahkan mungkin lebih.
Perlahan Ratri terduduk. Terasa ada gelenyar dingin merayapi punggungnya hingga ke belakang kepala. Tubuhnya terasa membeku. Lalu, bila air mata memaksa jatuh, ia sudah tak peduli.
Dua minggu yang lalu, Mba Tria menelepon. Ibu Mba Tria, yang berarti juga ibu dari suaminya, jatuh sakit. Tak ada yang bisa menemani. Lalu Priyo, suaminya, memutuskan untuk berangkat.
“Aku harus pulang ke Yogya, Ratri,” kata Priyo, sambil meletakkan cangkir kopinya yang setengah kosong. Pagi itu masih sunyi, bahkan burung-burung pun belum bernyanyi.
Ratri mendongak. Tangannya yang sibuk menata singkong rebus kesukaan Priyo di meja kecil tempat mereka biasa menghabiskan pagi berdua, sekejab terhenti. “Kapan?” tanyanya.
Priyo termenung sejenak, lalu berpaling pada Ratri. "Sore ini. Aku beresin dulu urusan di kedai, lalu berangkat."
Seketika jarak antara alis Ratri pun berkurang. "Lho. Ndak besok, atau lusa aja? Aku tidak bisa ikut kalau hari ini, siang nanti Adis ujian. Aku juga ada pesanan ayam bakar buat besok, kan." Muncul gelombang kekesalan yang tak terbendung. Ratri tahu, Priyo adalah anak kesayangan ibunya. Namun, setidaknya rencana meninggalkan rumah harus diatur sedemikian rupa agar tidak mengusutkan jadwal dan rutinitas operasional rumah dan dapur. Kedai Priyo pun juga tak bisa ditinggal lama-lama. Ratri membayangkan keruwetan yang terjadi bila Priyo tak setiap hari mengawasi usaha yang baru berjalan tiga bulan itu.
Bahu Priyo bergetar sedikit. Lalu ia menatap Ratri tajam. "Kamu tidak usah ikut. Di rumah saja, jagain Adis dan kedai. Secepatnya aku akan pulang. Asal Ibu sudah ada yang nungguin, aku akan segera pulang."
Oh, jadi begitu maksudnya. Ratri tak habis pikir bagaimana Priyo bisa menganggap sekuat itu dirinya. Mengurusi Adis, anaknya satu-satunya—termasuk antar jemput ke sekolah yang jaraknya hampir 6 kilometer dari rumah—ditambah dengan harus wira wiri ke kedai setiap hari, bukan perkara yang mudah. Sungguh, Ratri takjub menemukan bagaimana Priyo mempercayakan semua itu padanya.
Sebuah senyum tipis muncul di wajah lelaki berkulit gelap itu. "Aman, kan? Kamu pasti bisa. Lagian kesehatan Ibu sangat penting, aku harus segera mengatur urusan di rumah Yogya." Priyo meneguk kopinya sekali lagi, mengambil satu potong singkong rebus, lalu menghabiskannya cepat-cepat. "Aku siapkan koperku dulu. Sepagi mungkin aku ke kedai, begitu selesai aku akan langsung berangkat."
Tinggallah Ratri sendiri, termangu. Tanpa sempat mengatakan apa pun karena sibuk dengan keterkejutannya, Ratri harus menerima. Priyo pun tak main-main, siang itu juga berangkat ke Yogya membawa mobil mereka satu-satunya.
Itu terjadi empat belas hari yang lalu. Sejak itu, setiap hari Ratri selalu menelepon Priyo siang dan malam, menanyakan perkembangan ibunya. Ratri berdoa sekuatnya agar ibu mertuanya lekas sembuh dan Priyo segera pulang. Namun, yang didapatnya dari Priyo hanyalah sepotong demi sepotong informasi yang tak mampu dijahitnya. Ibu sudah mendingan, lalu terkadang menjadi: Ibu demam lagi. Begitu terus setiap hari.
Hingga Ratri merasa sangat lelah. Tak ada waktu baginya untuk beristirahat sejenak karena dua minggu terakhir hidupnya penuh dengan tugas yang tak habis-habis. Yang paling menjengkelkan untuknya, Priyo seolah lupa bahwa mereka punya kedai seumur jagung yang masih harus dijaga dan dirawat. Tak jemu Ratri mengingatkan, anak buahnya masih harus didampingi, cash flow masih harus diatur, stok bahan masih harus diawasi, dan masih banyak hal kecil lainnya yang membuat pening kepala karena harus diatur tiap hari. Setengah memohon, Ratri meminta Priyo segera pulang agar ia tak kalang kabut mengatur waktu mengecek kedai sekaligus mengantar jemput anak gadisnya. Sementara, sudah sejak bulan kemarin, Ratri menerima pesanan ayam bakar ingkung secara online untuk membantu menggemukkan pundi-pundi mereka. Pesanan sudah masuk, Ratri harus mengerjakannya di rumah. Rasanya ingin sekali Ratri membelah dirinya menjadi sepuluh.
Jawaban Priyo selalu sama. "Ibu belum ada temannya. Kasihan Ibu sendirian. Aku masih harus menemani Ibu." Selalu begitu.
"Sampai kapan?" tanya Ratri kesekian kalinya di telepon. "Kedaimu harus diurus. Jangan terlalu lama di sana." Dicobanya untuk mengingatkan Priyo lagi akan tanggung jawabnya sebagai suami dan pengusaha.
"Kamu kok melarang aku menemani ibuku sendiri? Orang tuaku satu-satunya!" Suara Priyo mulai meninggi.
"Aku tidak melarang, Mas. Cuma coba cari solusi yang lebih masuk akal. Cari suster atau bagaimana. Jadi bisnis kita juga jalan, Ibu juga ada yang nemenin." Ratri menahan suaranya agar kedengaran setenang mungkin. Soal hatinya yang bergejolak, biarlah hanya ia yang tahu.
"Mana bisa! Cari suster ndak segampang itu. Lagian repot harus ngajari ini itu. Sudah biar aku saja!" tukas Priyo.
"Mbak-masmu kan ada, Mas. Coba diajak ngobrol. Gantian njagain Ibu. Jangan kamu terus." Ratri menahan dirinya agar tak terisak, sementara tanpa kompromi air matanya mulai meleleh pelan. Cepat-cepat ia menghapusnya ketika sekelebat bayangan Adis tampak di sudut mata.
"Kamu ini gimana, sih! Mbak Tria dan Mas Haryo sibuk semua. Gendis juga sibuk sama bayi barunya. Masa dipaksa-paksa harus jagain Ibu. Cuma aku yang bisa!" Priyo membentaknya sebelum kemudian menutup pembicaraan itu.
Pembicaraan yang baru saja terjadi itulah yang membuat dunianya terhenti. Ketika kepalanya ingin meledak, Ratri ingin berteriak dan menjerit sekenanya. Kalau Priyo beranggapan hanya ia yang bisa menjaga Ibu, berarti tak ada lagi arti dirinya dan Adis di sini. Kalau mereka dianggap tidak penting oleh Priyo, maka untuk apa ada di sini menanti?
"Bu—" Suara Adis yang tercekat, terdengar di belakangnya. Cepat-cepat disekanya sisa hujan di pipinya. Ia berbalik.
"Ya, Dis?"
Wajah Adis tampak begitu tegang. "Ibu tidak usah sedih!" Tiba-tiba Adis berteriak. "Kalau Bapak belum mau pulang, Adis yang bantu Ibu!"
Ratri tergelak pelan. Dielusnya kepala anak gadisnya yang sudah semakin matang. Ratri tidak pernah meragukan Adis, tidak sekali pun. Hanya Priyo yang membuat ia tak yakin pada esok hari.
Jawaban yang sama masih diterimanya berhari-hari kemudian. Di antara itu, terkadang Priyo tak menjawab panggilannya. Pesan yang dikirim pun tak jarang baru berbalas esoknya. Ratri merasa ada yang hilang. Ada yang meluruh dari hatinya. Kekosongan yang terus-menerus lama-lama terasa biasa. Tidak bisa begini, sisa hidupnya tidak dihabiskan untuk melangut sendirian.
*
Rumah ibu mertuanya terlihat begitu lengang dari depan. Namun, ada beberapa pasang sandal kulit sederhana berjajar di batas teras. Suara gelak tawa tipis terdengar dari dalam rumah. Sepertinya mereka jauh di ruang dalam, yang artinya siapa pun itu, sudah akrab dengar keluarga mertuanya. Lamat-lamat dikenalinya suara Priyo.
Pintu depan yang terbuka membuat Ratri masuk saja, sambil mengucap salam perlahan. Tak ada yang menjawab. Namun, suara-suara itu terdengar semakin jelas.
"Kalau begitu minggu depan saja, Bu Bismo." Jelas Ratri mendengar suara Priyo berkata. Ditiimpali suara dua perempuan tergelak pelan. Ratri mengenali satu suara ibu mertuanya, tetapi entah siapa yang seorang lagi. Diurungkannya niat untuk mengulangi salam lebih keras. Ratri beringsut mendekat ke pintu tembusan ruang tengah yang terletak di ujung ruang tamu yang luas itu. Perlahan, jangan sampai bersuara.
"Wes ora tahan to, kowe, Pri?"
Suara Priyo tertawa kecil. "Mboten, Bu. Biar Ibu cepat ada temannya aja. Ini kan sudah Jumat. Mungkin bisa kita resmikan di hari Selasa atau Rabu. Ora popo, to, Dik Rus?"
Ratri menahan napas sambil kian merapat di dinding berwarna hijau muda itu. Ada apa ini? Ibu mertuanya terdengar sehat. Priyo juga terdengar baik-baik saja.
"Injih, Mas Pri. Saya manut," jawab sebuah suara mungil yang mendayu. Suara-suara yang lain pun terdengar lagi dalam tawa.
"Yo wes, Mbakyu. Aku siapkan dulu. Selasa juga bisa. Kita buat sederhana aja, to. Biar Rusmi segera pindah ke sini, bisa menemani ibumu, Pri. Kamu ndak buru-buru pulang ke Surabaya, to?" Suara yang tak dikenalinya itu seperti berkeliaran di udara dan mencekik Ratri dengan kalimat yang baru saja terucap. Ratri membekap mulutnya sendiri. Jangan, jangan menjerit sekarang.
Priyo mendehem. "Mboten. Jangan kuatir, Bu Les. Bulan depan saja saya balik ke Surabaya. Prioritas saya sama Ibu sekarang—" Lima detik sunyi. "—sama Dik Rus."
Sekali lagi, mereka tertawa.
Mengepal tangan Ratri. Air mata menitik satu walau sudah sekuatnya menahan. Sebulan lebih ia menanti kabar yang tak kunjung datang, hingga bertekad menemui Priyo di ujung Condongcatur, dan akhirnya menemukan apa yang harusnya ia tak boleh tahu.
Air matanya boleh terburai semaunya, tetapi tidak di sini. Ratri beringsut ke pintu depan. Dicubitnya lengan kiri keras-keras agar air matanya lenyap.
"Assalamu’aikum, Bu!" Ratri berteriak keras dari teras depan dekat pintu ruang tamu.
Tiba-tiba senyap, lalu gemerisik orang mendekat terdengar.
"Ratri?!" Priyo muncul dengan wajah tersambar petir.
Ratri tersenyum. Ia tahu matanya mungkin merah, tetapi kacamata akan menutupi.
"Mas Priyo."
Senyum Priyo terlihat begitu kecut. Dari balik lelaki itu, perlahan muncul sebuah sosok mungil yang berwajah teduh, bermata bening, dan tersenyum lembut padanya. Tangannya menyentuh lengan Priyo. Ibu mertua dan perempuan bernama Bu Bismo itu pun muncul kemudian.
"Siapa, Mas?"
Ratri tersenyum tipis. Rupanya berita penting tidak sampai di wilayah ini. "Saya istri Mas Priyo, Mbak." Ia berpaling pada Priyo. "Ini suster buat Ibu, Mas? Atau buat kamu?"
Ditatapnya wajah-wajah pasi di hadapannya. "Ibu, saya pamit. Ibu sudah ada temannya, kan? Mas Priyo juga tak perlu kembali ke Surabaya, Bu. Saya urus semuanya nanti. Selamat ya, Mas. Jangan pernah datang lagi."
Ratri membalikkan badan dengan langkah ringan, seringan hatinya yang baru.