Tekan Angka Pernikahan Dini, Banyuwangi Perketat Syarat Dispensasi Nikah
Pemerintah Kabupaten Banyuwangi berkomitmen untuk mencegah dan menekan pernikahan dini di kota ujung timur Jawa ini. Salah satu langkah yang ditempuh dengan memperketat pemberian dispensasi nikah.
Untuk langkah ini, Pemkab Banyuwangi melakukan MoU atau nota kesepahaman dengan Pengadilan Agama Banyuwangi.
Nota kesepahaman itu dilakukan oleh Kepala Dinas Sosial Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana (Dinas Sosial PPPKB) Banyuwangi, Henik Setyorini, Kepala Dinas Kesehatan Banyuwangi Amir Hidayat dengan Ketua Pengadilan Agama Banyuwangi, Husnul Muhyidin. MoU ditandatangani pada Rabu, 25 September 2024.
“Ini bagian dari program perlindungan anak dan peningkatan kualitas sumber daya manusia,” jelas Henik Setyorini, Kamis, 26 September 2024.
Dalam nota kesepahaman itu tertuang dua syarat tambahan yang wajib dipenuhi untuk mengajukan dispensasi nikah ke Pengadilan Agama. Pertama, mengantongi surat rekomendasi kematangan psikologis dari psikolog Din Sosial PPKB.
“Rekom tersebut bertujuan mengukur tingkat kematangan mental dari pemohon dispensasi nikah,” terangnya.
Syarat kedua, lanjut Henik, melampirkan surat rekomendasi hasil pemeriksaan kesehatan dan kematangan reproduksi. Pemeriksaan kesehatan itu nantinya difasilitasi oleh Dinas Kesehaatan Banyuwangi.
"Hasil asesmen nantinya akan menjadi pertimbangan hakim untuk menentukan pemohon layak diberi dispensi kawin atau tidak,” terangnya.
Henik menambahkan tujuan utama dari skema itu bukan dalam rangka mempersulit masyarakat. Sebaliknya, aturan ini bertujuan untuk melindungi anak-anak dari bahaya pernikahan dini. Menurutnya, pernikahan dini memiliki berbagai dampak negatif yang signifikan, baik dari segi fisik, mental, maupun sosial.
Remaja yang menikah dini umumnya belum siap secara fisik untuk kehamilan. Hal ini meningkatkan risiko komplikasi kehamilan dan melahirkan, seperti preeklamsia, kelahiran prematur, atau kematian ibu dan bayi.
Pernikahan dini, lanjut Henik, juga dapat menyebabkan tekanan mental. Seperti kecemasan, depresi, atau stres karena tanggung jawab rumah tangga yang berat di usia muda. Selain itu, kurangnya kesiapan emosional juga sering memicu ketidakbahagiaan dalam pernikahan dan berujung perceraian. Tingginya angka pernikahan dini di suatu daerah juga berbanding lurus dengan tingginya angka perceraian.
“Pernikahan dini cenderung meningkatkan risiko kekerasan dalam rumah tangga. Kurangnya pengalaman dan kedewasaan membuat mereka lebih rentan terhadap pengendalian atau eksploitasi dari pasangan,” bebernya.
Bahaya selanjutnya adalah kemiskinan. Karena kurangnya pendidikan dan kesempatan kerja, pasangan yang menikah dini lebih mungkin terjebak dalam siklus kemiskinan. Ini yang dapat berlanjut hingga generasi berikutnya.
Melalui MoU ini, Henik mentargetkan perkawinan usia anak, usia dini bisa ditekan. Sehingga dapat menekan angka perceraian, kematian ibu dan bayi, dan juga mampu menekan angka stunting.
"Kami berkomitmen untuk terus memantau dan mengevaluasi efektivitas program yang dilaksanakan, demi tercapainya tujuan jangka panjang dalam melindungi anak dan remaja,” pungkasnya.
Advertisement