Tegakkan Diplomasi Fikih, Ini Penjelasan Dubes RI di Arab Saudi
KH Dr Agus Maftuh Abegebriel, Duta Besar RI di Arab Saudi, mengungkapkan, diplomasi haji adalah diplomasi tertua dalam sejarah hubungan Indonesia dan Saudi. Bahkan, interaksi dua bangsa Nusantara dan Timur Tengah ini sudah terjalin jauh sebelum Saudi dan Indonesia berdiri.
"Karena kesakralan diplomasi haji ini, maka penyampaian pembatalan keberangkatan jamaah haji Indonesia tahun ini kepada pemerintah Arab Saudi harus dengan memakai diksi dan narasi yang “muqtadhal hal” alias pas, etis serta mewakili suasana kebatinan kedua bangsa ini," tuturnya.
Menurutnya, faktor keterbatasan diksi dan narasi dalam kamus diplomasi konvensional, maka sebagai lurah para pelayan jamaah haji Indonesia, saya menyampaikan keputusan pembatalan tersebut dengan memakai “diksi fiqih” yang saya yakini lebih mengena dan senyawa dengan epistemologi Arab Saudi.
"Karena Arab Saudi mayoritas memakai mazhab Hanbali, dalam menjelaskan pembatalan jamaah haji Indonesia tahun ini, saya memakai pendekatan dua kitab penting dalam Mazhab Hanbali yaitu Al-Mughni karya Ibn Qudamah dan Kasyaf al-Qina an Matan al-Iqna’ karya Al-Bahuti," kata tokoh yang pernah Pesantren Mranggen Demak Jawa Tengah dan Dosen di UIN Sunan Kalijaga.
Kedua karya besar ini menjelaskan bahwa syarat “keamanan/amniyyah” adalah merupakan salah satu variable “istita’ah/mampu” dalam melaksanankan haji. Karena sekarang ini sedang terjadi “globalized virus” yang mengancam jiwa maka kriteria “mampu” belum terpenuhi dan kewajiban itu menjadi gugur.
Dengan penjelasan ini, Arab Saudi sangat menghargai dan mengapresiasi sikap Indonesia yang menempatkan aspek “al-khifadl ala an-nafsi” menjaga keselamatan nyawa sebagai prioritas utama (aulawiyyah).
"Kenapa harus saya lakukan diplomasi fiqih? Karena saya berusaha belajar dari para Dubesnya Kanjeng Nabi Muhammad SAW seperti Dihyah al-Kalbi RA, Amer Omayyah al-Dhamri RA serta Abdullah As-Sahmi RA yang sangat memahami dan menguasai suasana kebatinan sebuah negara yang akan mereka kunjungi," tutur Agus Maftuh.
Nabi juga pernah berpesan: Bicaralah kepada mereka dengan bahasa dan logika mereka. Bisa juga difahami ini perintah untuk para “Sufara/para wakil negara” agar bisa berbicara dan memahami epistemologi serta peradaban negara dimana mereka ditugaskan. Inilah yang mendorong saya untuk melakukan “diplomasi fiqih Hanbali” ketika berkomunikasi dengan para petinggi Kerajaan Arab Saudi.
"Seandainya Arab Saudi bermazhab Syafi’i, pasti akan saya lakukan diplomasi fiqih mulai Fathul Qarib, Fathul Muin, Fathul Wahhab, Tuhfatul Muhtaj, Mughnil Muhtaj, Nihayatul Muhtaj serta tak ketinggalan Raudhatut Talibin dan al-Muhadzab yang semua sanad keilmuannya saya terima dari Romo Kiai Ahmad Muthohar Abdurrahman, Futuhiyyah Mranggen dari Syeikh Yasin al-Fadani, dari Syeikh Mohammad Ali bin Husain al-Maliki dari Abid Al-Maliki dari Syeikh Bakri Syatha dan seterusnya sampai para mushannif/penulis karya-karya tersebut.
"Alhamdulillah epistemologi fikih pesantren sangat membantu saya dalam melaksanakan diplomasi haji di Arab Saudi ini," tutur Santri Diplomat ini.