Tebakan Bola Gus Dur yang Jitu
KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur memang seorang yang ahli juga dalam hal olahraga. Terutama dalam olahraga sepak bola. Selaim kolom-kolomnya yang bernas ditulis di sejumlah media cetak, baik majalah maupun koran kuning, Gus Dur kerap menyampaikan gagasannya terkait sepak bola, khususnya saat digelar Piala Dunia.
Memang, olahraga sepak bola menjadi salah satu hobi penting Gus Dur selain melahap buku dengan hobi membacanya. Gus Dur kecil sudah sangat mencintai olahraga sepakbola mulai dengan kegemarannya bermain mengocek bola di pekarangan rumah bersama dengan Ayahnya KH Wachid Hasyim.
Greg Barton dalam “Buku Biografi Gus Dur”, mengisahkan: olahraga bola inilah yang mendekatkan Gus Dur dengan sang ayah yang merupakan tipikal Ayah Jawa yang biasanya cukup menjaga jarak dengan anak anaknya.
Kegilaan akan bola pun berlanjut saat Gus Dur bersekolah di al-Azhar University di Kairo Mesir. Saat itu, Gus Dur yang kecewa dengan kurikulum saat awal masuk al-Azhar karena mata kuliahnya sudah banyak beliau dapatkan saat di pesantren lebih memilih untuk tidak sering masuk kelas, dan lebih memilih hobi beliau dengan banyak menghabiskan waktu di perpustakan dengan membaca buku atau keluar masuk stadion dengan menonton bola.
Kedua hobi inilah yang menjadikan Gus Dur akhirnya tidak menamatkan kuliah di al-Azhar. Namun, dengan menggila olahraga bola Gus Dur menjadi ahli dalam hal sepak bola.
KH. Husein Muhammad, secara khusus mencatat hal itu dalam bukunya, "Gus Dur Dalam Obrolan Gus Mus". (Redaksi)
Perbincanganku dengan Gus Mus (KH Ahmad Mustofa Bisri) berlangsung tak teratur, mengalir saja. Topiknya bisa apa saja, tergantung yang tiba-tiba melintas dalam pikiran kami masing-masing. Tetapi, cerita tentang Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid) menyita hampir seluruh waktu perbincangan satu jam itu. Gus Mus dan aku tentu tak pernah mengerti, mengapa Gus Dur sering disebut dan diperbincangkan dengan indah. Nama Gus Dur masih saja disebut-sebut para pengagumnya. Boleh jadi, ada orang-orang yang tak suka bila kami mengagumi Gus Dur begitu rupa. Konon, ada yang bilang pujian itu berlebihan. Tetapi, bahkan boleh jadi ada orang yang mengambil cara sebaliknya: mencaci-maki Gus Dur sampai ke luar batas kewajaran. Keberadaan tubuh Gus Dur turut pula dihinakan, padahal Tuhan telah menciptakan tubuh itu seperti adanya. Keberadaan manusia adalah dihadirkan. Manusia tak pernah tahu, mengapa dia hadir di bumi ini dan seperti ini. Andai kata manusia bisa menciptakan dirinya, tentu dia menginginkan yang cantik, jelita, gagah, tampan, mungkin seperti Nabi Yusuf atau Omar Borkan Al-Gala atau Lee Min Ho, yang digila-gilai para perempuan di dunia, jika dia laki-laki. Atau, mungkin seperti Cleopatra, Mari Monroe, Kate Middleton, Suzy Miss dari Korea, dan lain-lain, jika dia perempuan.
Aku teringat puisi yang sering aku senandungkan dengan ritme thawil, ciptaan Imam as-Syafi'i ini:
وعين الرضا عن كل عيب كليلة
ولكن عين السخط تبدى المستويات
Bola mata pencinta menatapnya selalu indah, tak ada yang kurang.
Tetapi bola mata yang marah, menatap segalanya serba-tak sedap.
Gus Mus mulai bicara soal tebakan jitu Gus Dur dalam Piala Dunia 1998 antara Brazil vs Skotlandia. "Ketika pertandingan baru dimulai, Gus Dur menebak 2:1 untuk Brazil." Pertandingan permainan yang amat disukai berjuta-juta orang itu, kemudian memang berakhir dengan skor 2:1. Brazil menang atas Skotlandia. Horeee. Tebakan Gus Dur tepat. Banyak orang yang bicara soal ini waktu itu, bahkan masih dipertanyakan sampai hari ini. Mereka terkagum-kagum kepada Gus Dur. Ajaib, kata mereka. Gus Dur itu wali, kata yang lain. Tetapi, mungkin banyak orang yang tak paham soal ini, seperti juga banyak yang tak paham soal yang lain dari Gus Dur, termasuk aku sendiri. Aku membiarkan saja Gus Mus menjelaskan soal ini yang mungkin masuk akal, bukan karena kewalian Gus Dur, meskipun mungkin saja, atau karena hal lain yang misterius.
"Saat itu, Gus Dur tengah berbaring di atas tempat tidurnya. Gus Dur masih sakit, meski seperti tidak sakit saja. Gus Dur tidak berkeluh-kesah, bahkan tidak ada desah sedikit pun yang keluar dari mulut Gus Dur. Beliau ditemani istrinya, Ny. Sinta Nuriyah, dan empat anak perempuan serta adiknya dr. Umar Wahid. Mereka selalu setia menunggunya bergantian selama berjam-jam dan berhari-hari. Di luar kamar, banyak teman-teman Gus Dur yang datang dan ikut menunggu secara bergantian atau pulang-pergi. Selain mereka yang mencintainya itu, Gus Dur ditemani radio yang dipasang headset untuk telinganya. Dari alat itu, Gus Dur bisa mendengar segala peristiwa di mana saja, dari negerinya sendiri atau juga dari bagian bumi yang lain, yang dekat maupun yang jauh. Gus Dur sudah lama senang permainan sepak bola, sekaligus sering jadi pengamat, lalu menulis tentang permainan paling menyedot perhatian manusia di muka bumi itu, bahkan sampai hari ini. Maka, melalui radio itu, Gus Dur menyimak ulasan-ulasan para komentator, terutama para pelatih sepak bola dari mana saja."
"Lalu?" kataku seperti tak sabar ingin tahu akhirnya. "Nah, begitu Gus Dur merasa cukup memahami segala ulasan, prediksi-prediksi atau ramalan-ramalan para ahli bola dunia itu, Gus Dur bilang: pertandingan ini akan berakhir dengan kemenangan Brazil, dengan skor 2:1. Gus Dur mengatakannya seperti tak serius, sambil terkekeh-kekeh . He-he-he," jawab Gus Mus.
Aku tertawa kecil saja. Gus Dur selalu bisa cari akal dalam kondisi apa pun, termasuk dalam kondisi sakit yang menurut diagnosis para dokter mengkhawatirkan pun, untuk mengerti dan menjawab banyak hal. Gus Dur bukan hanya mengerti soal agama, perkembangan politik, sosial, budaya, sastra, musik, tetapi juga sepak bola.
Sebenarnya, aku menyimpan pertanyaan untuk Gus Mus soal sepak bola ini. Pertanyaan yang aku pendam lama. Apakah para kiai, khususnya ayah atau kakek Gus Dur, suka sepak bola? Apa benar, kakek Gus Dur sungguh-sungguh tak suka permainan sepak bola ini, seperti yang aku dengar dari santri kakekku, yang saat mondok di pesantren Tebuireng suka main bola di halamannya. Tetapi aku pikir, nanti akan menyita banyak waktu, sementara aku sedang ditunggui oleh waktu.
Menantu Gus Mus mendekatiku dan berbisik. "Nanti, pihak bus akan menelpon Kiai jika sudah siap." "Oh. Alhamdulillah. Siaplah. Terima kasih, ya." Aku jadi tidak khawatir tertinggal oleh busku.
Demikian dikutip dari buku KH. Husein Muhammad, "Gus Dur Dalam Obrolan Gus Mus, hal 69-71. Semoga bermanfaat.
Advertisement