Teater Tanah Air ke Jepang, Anak-anak Stop Perang
Oleh: Yusuf Susilo Hartono
Di tengah dunia sedang tegang akibat perang Rusia-Ukraina, sekelompok anak Indonesia yang tergabung dalam Teater Tanah Air berteriak stop perang di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta.
Teriakan lewat lakon Help karya Putu Wijaya yang disutradarai Jose Rizal Manua, akan dilanjutkan pada festival teater internasional, The World Festival of Children's Performing Arts, di Toyama, Jepang, 30 Juli-3 Agustus 2022.
Cara sekelompok anak-anak itu meneriakkan stop perang, jauh dari gaya para politisi di DPR/MPR, apalagi demonstran jalanan yang sangar. Anak-anak itu meneriakkannya lewat sebuah nyanyian, gerak dan tarian yang berbasis dolanan di bawah bulan purnama.
Dolanan adalah tradisi turun temurun, tumbuh dan berkembang di tengah masyarakat nusantara (Indonesia) yang majemuk. Sayangnya dolanan yang penuh dengan nilai kearifan lokal, sudah mulai ditinggalkan, dan sedang tergerus oleh modernisasi global.
Belasan anak itu, mengenakan kostum dan rambut warna-warni. Selama satu jam, mereka tampil di Teater Besar TIM, dalam pementasan semacam "mohon doa restu", 16 dan 17 Juli 2022. Meski lakon Help banyak ketegangan, dan kesedihan di dalamnya, tapi anak-anak itu lebih banyak tampil ceria. Seceria permainan visual pada layar panggung, baik dari depan maupun belakang.
Dengarlah nyanyian mereka yang dilantunkan dipanggung dengan hiasan bulan purnama: //Oo..aa..ee..oo..lalala..// Di dunia selamatkan bumi/ hanya bisa memakai hati// Jangan lupa hilangkan kebencian/ kita bisa melakukan ini /dengan menari mengikuti irama//... //Sekarang saatnya/ untuk menghentikan perang /dengan lagu dan sajak/ jauhkan itu auman//.
Melihat itu, seorang penonton berbisik pada teman di sebelahnya: "Ah dasar imaji anak-anak! Menghentikan perang, cukup dengan lagu dan sajak". Kawan di sebelahnya hanya menjawab dengan senyum, dengan sorot matanya tak mau lepas dari panggung.
Sebelum dan sesudah menyanyi Perdamaian itu, 13 aktor cilik berusia enam hingga belasan tahun, menghadapi teror dua bandit bersenjata dengan gaya robot. Satu di antara bandit itu menembak bulan purnama, agar jatuh, dan dunia gelap gulita, supaya mereka tidak bisa bebas dolanan (bermain), menari, dan bernyanyi lagi.
Untunglah anak-anak ideologis Putu Wijaya sebagai penulis lakon, sebagai anak-anak yang banyak akal, suka gotong-royong dan pantang menyerah. Maka, sebelum bulan jatuh ke bumi, tangan-tangan mungil anak-anak, bergotong-rotong menahannya. Sehingga bulan selamat, lalu kembali ke langit dan bersinar.
Di atas panggung proscenium yang megah dengan ratusan pasang mata penonton (orang tua dan anak-anak), cerita mengalir, tanpa layar buka tutup sebagai pergantian babak. Keberadaan layar putih di tengah panggung, bisa multi fungsi.
Kadang sebagai "pintu" keluar masuk pemain. Kadang sebagai latar belakang imaji berbagai adegan. Kadang sebagai latar depan permainan teater visual yang meramu permainan cahaya dan warna seni rupa, ditingkahi berbagai ragam musik, gerak tari, hingga sastra lakon.
Dan pada saat tertentu, layar berfungsi sebagai langit bagi lingkaran putih besar (bulan purnama). Dengan garapan musik (Doni Irawan) yang enak didengar, garapan gerak yang rampak dimainkan oleh anak-anak, dan tata visual yang enak di mata, membuat pertunjukan ini bisa diapresiasi oleh anak-anak hingga nenek-nenek.
Sebagai sutradara garda depan teater anak, Jose Rizal terus bersiasat, agar pertunjukan Help di TIM dan Toyama, Jepang, nanti berbeda dengan pertunjukan sebelumnya pada festival teater anak di Jerman (2018). Siasat kali ini bahkan di luar bayangan Putu Wijaya sendiri. Bahwa penonton yang dibekali mainan pesawat dari kertas lipat, diberi kesempatan ikut melempar dua penjahat di panggung, sebagai bentuk solidaritas. Tidak cukup itu, ondel-ondel pun di bawa ke panggung, juga dimaksudkan untuk membasmi dua bandit berbaju robot itu.
"Ini simbol, untuk melawan kejahatan, selain dengan cara modern, penting juga dengan cara tradisi," ujar Jose yang ditemui usai pertunjukan.
Klimaks dari pertunjukan Help ketika anak-anak itu berhasil menangkap hidup-hidup dua bandit menyeramkan itu. Ternyata keduanya adalah nara pidana. Terbukti saat mereka memereteli baju robotnya, bandit itu memakai "daleman" celana panjang dan kaos panjang, bergaris-garis hitam putih yang merupakan seragam nara pidana.
Saat tulisan ini diturunkan, Jose Rizal dan tim sedang pontang-panting melanjutkan mencari sponsor agar bisa berangkat ke Jepang. Maklum untuk memberangkatkan 30 orang, mulai dari pemain, hingga sutradara, pihaknya butuh sekitar Rp600 juta. Semoga berhasil, supaya anak-anak itu nanti bisa meneriakkan selamatkan bumi dengan memaki hati, dan stop perang! Oo..aa..ee..oo..lalala. (Yusuf Susilo Hartono)
Advertisement