Teater Gandrik Tak Bergantung Seorang Pemain
Pementasan naskah lakon Para Pensiunan sesungguhnya mempunyai perjalanan panjang. Baik dalam proses maupun dalam pementasannya. Teater Gandrik Sambang Suroboyo, agaknya yang paling seru dalam menghadapi problem kreativitas seni, khususnya jagat seni pertunjukkan.
Melalui naskah lakon yang disusun Agus Noor dan Susilo Nugroho, Teater Gandrik mementaskan Para Pensiunan di Ciputra Hall, Surabaya, 6-7 Desember mendatang.
"Kebetulan, saya bersama Pak Jujuk yang menjadi sutradara," tutur Susilo Nugroho, merendah.
Susilo Nugroho sebenarnya dedengkot Teater Gandrik. Demikian pula Jujuk Prabowo. Keduanya sejak awal bersama Heru Kesawa Murti (almarhum) merupakan generasi pendiri teater berpangkal di Jogjakarta sejak 1983 itu.
Susilo Nugroho pula yang melakukan adaptasi dari naskah awal Para Pensiunan, dan digarap bersama Agus Noor untuk dipentaskan di Surabaya, kerja sama ngopibareng.id. Adaptasi dimaksud adalah kesesuaian dengan lokasi pementasan.
Ketika di Surabaya, Gandrik akan menyesaikan dengan selera publik di Kota Pahlawan, termasuk pengkayaan dengan gaya ludrukan yang khas, antara serius dan humor yang kental. Demikian menjadi bagian penting dari kerja kreatif Treater Gandrik.
Meski begitu, dalam pementasa kali ini, Teater Gandrik masih tak bisa melupakan Djaduk Ferianto, sebagai sutradara sebelum meninggal dunia pada 14 November lalu. Yang paling bisa dinikmati, dalam pementasan di Surabaya, adalah karya ilustrasi musik yang digarap adik kandung Butet Kartaredjasa itu.
Lepas dari itu pula, keluarga besar Teater Gandrik masih segar menyimpan pesan-pesan dari putra seniman legendaris Bagong Kussudiardjo (almarhum).
Pesan dan wasiat
Teater Gandrik di mata Djaduk Ferianto, telah memberikan banyak pengalaman berkomunitas.
Butet, salah satu pelakon utama dalam Para Pensiunan 2049 sempat sakit, dalam pementasan di Jakarta, April 2019. Jantungnya anfal ketika pementasan sebelumnya, Kanjeng Sepuh di Jakarta. Kondisi itu tak membuat Djaduk panik.
“Selain Butet, ada teman-teman yang lain. Jadi bukan berarti Gandrik adalah Butet,” kata Djaduk, ketika itu.
Kenyataannya ketika Butet sakit, pemain diganti, dan latihan tetap berjalan.
Bagi Djaduk, Gandrik tak bergantung pada satu orang saja. Melainkan kerja sama seluruh tim. Kerapkali seorang pemain double casting. Seperti salah seorang pemain yang bernama Kusen Ali, yang sempat memerankan tokoh yang diperankan Butet ketika latihan.
“Meski sasar susur dengan dialog yang gak hafal". Demikianlah kenyataannya ketika itu.
Begitu pula Djaduk sebagai sutradara pun bersiap double casting.
“Kadang menggantikan Butet, Kusen, Broto. Itu problem manajemen,” kata Djaduk, dalam pengakuan semasa hidup.
Memang, dalam tradisi teater di barat, untuk memerankan sosok tokoh adalah proses menjadi. Semisal, memerankan sosok Hamlet berarti si aktor menjadi Hamlet.
Berbeda dengan di Indonesia yang menggunakan konsep sebagai, bukan menjadi. Semisal memerankan Hamlet berarti aktor berperan sebagai Hamlet.
Demikianlah, sehingga keluar masuk peran. Demikian pula kenyataan dalam proses kreatif Teater Gandrik.