Teater: “Bui” tidak Bisa Membui Waktu
Surabaya: Lumayan, di Surabaya masih ada pementasan drama. Setidaknya itulah kesan yang diperoleh, setelah menyaksikan pementasan grup Bengkel Muda Surabaya yang memainkan lakon ‘Bui’ karya Akhudiat tahun 1975, di gedung Cak Durasim komplek Taman Budaya Jawa Timur, Kamis (13/7) malam.
Disutradarai Karsono, naskah ‘Bui’’ termasuk favorit bagi grup-grup drama di Indonesia. Akhudiat sebagai penulis naskah, juga bersama Bengkel Muda Surabaya (BMS) pernah menyutradarinya tahun 1976. Dengan demikian BMS sudah dua kali mementaskan lakon ini dalam kurun waktu hampir 40 tahun.
Penonton penuh, jumlahnya sekitar 400 orang, termasuk Akhudiat. Karsono sendiri ikut bermain sebagai Tahanan 1, bersama tiga pemain lainnya masing-masing Saiful Arif ( Tahanan 2), Desemba Titaheluw (Sipir) dan Ilham Baday sebagai OB. Musik dimainkan Nasar Batati, Paksi, Berti dan Dindi.
Selama 60 menit penonton yang kebanyakan adalah anak-anak muda tidak beranjak dari tempat duduknya, baik di bawah maupun di balkon. Sesekali tertawa bareng ketika Tahanan 2 nyeletuk lucu.
Musik yang terdiri dari kentongan, kayu dan selembar seng dipukul sebagai ilustrasi sehingga hingar binger tanpa nada. Menurut Akhudiat, yang juga menonton di kursi barisan depan, musiknya sangat meneror penonton.
“Karsomo menerjemahkan ‘Bui’ dengan atmosfir yang tertekan. Gambaran masyarakat yang mengalami tekanan lahir batin. Akibatnya Bui jadi menyesakkan. Penghuni cari kesempatan sedikit peluang lewat bermain-main,” kata Akhudiat sebagai penulis naskah saat dimintai pendapatnya.
“Penonton ikut tertekan dengan diteror bunyi-bunyian berisik terus-menerus. Atmosfir yang menggerus nalar ini mengingatkan situasi-kondisi 1970-an yang gawat, nyaris gawat darurat karena ekonomi ambruk. ‘Bui’ menuturkan banyak orng tak bersalah,” tambahnya.
Salah seorang pemain ‘Bui’ saat disutradari Akhudiat tahun 1976, Sian Dyhs semalam juga menonton. Komentarnya, dialog-dialog antra Tahanan 1 dan Tahanan 2 itu kurangi imajinatif.
“Naskah ini sebenarnya bercerita tentang dua tahanan yang dikurung di dalam sel terpisah, tidak bisa saling bertemu muka. Yang bisa mereka lakukan adalah berkhayal. Nah khayalan atau imajinasi kedua tahanan inilah yang ada di naskah. Sementara tadi dipanggung kita melihat dua tahanan yang berdialog biasa, tidak sedang berkhayal,” kata redaktur Harian Memorandum ini.
“Terlalu instan, itu penilaian saya pribadi. Mungkin karena proses latihannya terlalu singkat, tak sampai dua minggu. Sedang kami dulu latihan berbulan-bulan, termasuk latihan vocal dan olah tubuh,” kata Sian Dyhs.
Saat pentas tahun 1976 dulu, empat pemainnya adalah aktor-aktor unggulan BMS yaitu Bawong SN (almarhum), Sian Dyhs, Wally Sherdil dan Hare Rumemper. Saat ini ketiganya berusia rata-rata 6o tahun.
Wally Sherdil memiliki kesan tersendiri ketika dulu ikut bermain ‘Bui.’ Sangat menyenangkan, katanya. Karena bumi adalah naskah yang penuh dengan bermain-main. Bebas, tidak ada tekanan.
“Naskah ‘Bui’ menurut saya adalah bagaimana kita bermain dengan waktu. Semakin serius kita, semakin cepat waktu berlalu dan semakin cepat segalanya menjadi layu. Sebaliknya, apabila kita bergembira segalanya akan jadi ceria, akan jadi baik dan menyenangkan di manapun berada . Dan bui tidak bisa membui waktu,” kata Wally Sherdil.
Apapun, Bengkel Muda Surabaya sudah mementaskan naskah drama lagi setelah bertahun-tahun terhenti. Persoalnnya, bagaimana setelah ‘Bui.’
Pementasan Bengkel Muda Surabaya ini menjadi bagian dari festival yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jawa Timur dengan tema “Membaca Akhudiat.” Selain Bengkel Muda Surabaya, juga tampil The Nine Theatre (Surabaya) yang menggarap lakon ‘Grafito’ dengan sutradara Harwi Mardianto dan Language Teater (Sumenep) menggarap lakon ‘RE’ disutradarai Mahendra. Ketiganya memainkan lakon karya Akhudiat.
Farid Syamlan, Ketua Komite Teater Dewan Kesenian Jawa Timur menegasnya, teater masih ada di Surabaya. Itulah semangatnya. (nis)
Advertisement