Tawassuth (Jalan Tengah) dan Demokrasi Kita
Tidak terasa bangsa Indonesia berhasil melewati jalan terjal, suatu drama politik yang menegangkan dalam beberapa bulan terakhir ini. Suatu diskursus politik yang keras; pro dan kontra terhadap isu perpanjangan periodesasi jabatan presiden menjadi 3 kali berturut-turut. Suasana tegang berakhir setelah Presiden Joko Widodo secara lugas menolak perpanjangan. Isyarat halus ala Solo sebelumnya tidak dipahami oleh pembantu dekatnya, mungkin karena jarak budaya atau alasan lainnya.
Sikap dan keputusan Presiden JKW itu selaras dengan prinsip jalan tengah atau teori pendulum yang bergerak kekanan dan kekiri dan pada akhirnya mencapai titik keseimbangan. Dalam istilah fiqh disebut “tawassuth“ atau jalan tengah yang mengandung makna tawazun (keseimbangan) dan adalah (keadilan). Luar biasa, dalam bulan Puasa, elite kita mampu menorehkan langkah elegan dengan mempraktikkan demokrasi sesuai dengan esensi Pancasila yaitu prinsip “keadilan” dan “musyawarah - mufakat“.
Namun dalam hari-hari mendatang kita masih akan menghadapi tantangan berat yang harus dilalui. Situasi politik dan ekonomi dunia yang berada dalam situasi tegang, mengakibatkan kondisi ekonomi nasional yang rentan. Dampak ekonominya sampai terasa ke lapisan bawah masyarakat yang mengakibatkan terjadinya kerawanan sosial yang mudah dibakar dan menimbulkan isu politik yang keras pula.
Pada hal sejak 2016, Indonesia juga mengalami polarisasi politik atau pembelahan sosial. Pada saat yang sama berkembang pula isu politik berupa kritik terhadap kebijakan pemerintah yang dianggap lebih pro-RRC. Ada sementara elit politik khususnya mantan militer dan profesi ekonomi, khawatir Indonesia masuk kedalam “jebakan hutang RRC“, sehingga bisa menimbulkan risiko politik dan keamanan serius.
Isu Politik yang Perlu Diperhatikan
Keduanya merupakan “isu politik“ besar yang perlu mendapat perhatian yang serius. Isu pertama yaitu polarisasi politik yang berujung pada politik idenititas bisa diatasi dengan menjadikan Kiai Makruf Amin sebagai Wapres, sehingga untuk sementara isu tersebut reda, meskipun belum tuntas. Dalam tulisan ini hal itu tidak dibahas karena sudah pernah disinggung dalam tulisan terdahulu.
Oleh karena itu, tulisan ini hanya membatasi pada isu hubungan Indonesia - RRC. Dalam hal ini saya berusaha bersikap tidak memihak dari dua pendapat yang berbeda antara pemerintah dengan elit politik atau mereka yang berseberangan dalam masalah ini sejak 2016. Mungkin kita tidak semua menyadari bahwa dampak negatif isu ini telah menimbulkan ketegangan elit nasional dan bahkan efeknya menimbulkan kerusuhan dalam pilpres 2019.
Setidaknya tiga ekonom senior mengingatkan betapa besarnya dampak dari strategi “One Bridge One Road“ yaitu DR Kwiek Kian Gie, DR Rizal Ramli dan DR Faisal Basri. Menkeu Sri Mulyani bahkan mengakui bahwa utang luar negeri telah menembus angka Rp 7000 Triliun. Di samping itu, dalam catatan WION (the World In One News), utang tersembunyi Indonesia kepada RRC dalam rangka pembangunan Kereta Api Bandung-Jakarta membengkak dari US $ 4, 2 m menjadi US $ 17,2 M yang akan berisiko jika terjadi krisis ekonomi di RRC. Di tengah situasi ekonomi dunia yang sulit saat ini, dampaknya dirasakan oleh kita semua.
Risiko dari pinjaman dari RRC tersebut merupakan suatu kerawanan politik yang menjadi kekhawatiran tersendiri. Soal pinjaman dari RRC ini telah digelindingkan dalam bentuk isu politik berupa tuntutan pengunduran diri presiden. Sesuai konstitusi presiden tidak bisa diturunkan ditengah jalan, kecuali jika melanggar konstitusi dan tidak mampu melaksanakan kewajibannya sebagai presiden.
Oleh karena itu dibalik tuntutan itu bisa dibaca agar presiden melakukan ressuffle kabinet dengan mengganti nama-nama yang selama ini dianggap menjadi biang kegaduhan politik. Jikalau isu perpanjangan jabatan presiden bisa diselesaikan secara elegan, maka isu hutang luar negeri bisa diselesaikan dengan baik juga. Kuncinya ada di tangan Presiden sendiri. Selama secara teguh mengedepankan prinsip keadilan dan tawassuth - atau win-win solution, maka “badai pasti akan berlalu“.
DR KH As'ad Said Ali
Pengamat Sosial Politik, tinggal di Jakarta.