Tawarkan Gencatan Senjata pada Kelompok Etnis, Ini Fakta Myanmar
Kekuasaan junta Militer Myanmar menawarkan gencatan senjata selama satu bulan usai mereka terlibat pertempuran dengan kelompok etnis bersenjata di perbatasan.
Selama gencatan senjata itu, militer tetap memberikan respons keras atas aksi yang dianggap mengganggu keamanan dan administrasi pemerintahan. Demikian dilansir Associated Press, Kamis 1 April 2021.
Militer Myanmar berhadapan dengan kelompok-kelompok etnis bersenjata di area perbatasan.
Beberapa di antaranya adalah Tentara Arakan di Rakhine dan Tentara Kemerdekaan Kachin yang menyerang pos-pos Militer Myanmar di kota Shwegu.
Kelompok etnis bersenjata tersebut telah menyatakan bahwa mereka menolak kudeta Myanmar dan akan membalas aksi junta militer.
Situasi Myanmar kian tidak menentu akibat gejolak setelah kudeta militer.
Kelompok oposisi meminta bantuan kepada milisi etnis supaya ingin melindungi mereka dari kejaran aparat Myanmar.
Gejolak itu membuat kelompok milisi Myanmar, baik yang masih aktif maupun sudah membubarkan diri, ikut terseret dalam pusaran konflik.
Hal itu terbukti dengan meningkatnya frekuensi kontak senjata antara kedua belah pihak.
Mereka merangkul kelompok etnis minoritas bersenjata untuk meningkatkan tekanan pada pemerintah militer. Mereka ingin membentuk tentara federal sebagai penyeimbang angkatan bersenjata pemerintah.
Sejumlah kelompok besar, termasuk Kachin, Karen di timur dan Tentara Arakan secara terbuka mengecam kudeta tersebut dan menegaskan akan membela pengunjuk rasa di wilayah yang mereka kuasai.
Sementara itu tawaran gencatan senjata dari militer belum mendapat respons. Tidak ada reaksi langsung terhadap pengumuman gencatan senjata dari pasukan etnis minoritas.
Setidaknya 536 orang tewas sejak kudeta 1 Februari lalu. Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik Myanmar mengatakan jumlah korban sebenarnya kemungkinan jauh lebih banyak.
Tiga Kelompok Etnik Bersenjata
Tiga kelompok etnik bersenjata di Myanmar menyatakan bersedia bergabung dengan seluruh kelompok etnik untuk memerangi junta militer. Ketiga kelompok etnik bersenjata tersebut adalah Arakan Army (AA), Tentara Aliansi Demokratik Nasional Myanmar (MNDAA), dan Tentara Pembebasan Nasional Ta'ang (TNLA).
Ketiganya membentuk aliansi yang dinamakan Brotherhood Alliance alias Persaudaraan Aliansi sebagaimana dilansir The Irrawaddy, Selasa 30 Maret 2021.
Brotherhood Alliance menyatakan, pihaknya siap bergabung dengan seluruh kelompok etnik jika pembunuhan brutal terhadap demonstran anti-kudeta terus berlanjut.
Pada Senin lalu, Brotherhood Alliance mengutuk junta militer Myanmar saat korban tewas Myanmar mencapai 510 orang di seluruh negeri.
AA sendiri merupakan kelompok etnik bersenjata yang memperjuangkan otonomi yang lebih besar di Negara Bagian Rakhine. AA telah menjadi salah satu kekuatan paling tangguh yang menghadapi militer Myanmar, alias Tatmadaw, selama dua tahun terakhir.
Pertempuran antara AA dengan Tatmadaw terus meningkat sejak November 2018 hingga awal November 2020. Konflik tersebut menimbulkan ratusan korban dari warga sipil dan menyebabkan lebih dari 200.000 orang mengungsi.
Baru-baru ini, junta militer mencabut AA dari daftar kelompok teroris setelah pertempuran antara kedua belah pihak dihentikan pada November.
Juru bicara AA Khaing Thukha mengatakan kepada The Irrawaddy bahwa sudah saatnya keompok etnik bergandengan tangan untuk melindungi warga sipil yang ditindas junta militer.
“Kami harus melakukan yang terbaik untuk melindungi nyawa dan harta benda orang-orang yang tertindas,” kata Khaing.
Dia menambahkan, pasukan keamanan Myanmar memperlakukan warga sipil dengan sangat kejam.
“Warga sipil yang tidak bersalah ditembak secara brutal dan dibunuh oleh militer setiap hari,” sambung Khaing.
Khaing bertutur, AA mengutuk keras tindakan tidak manusiawi yang dilakukan polisi dan tentara Myanmar terhadap warga sipil.
Advertisement