Taufiq Ismail dan Jejak Kehidupan
Eksistensi kepenyairan Taufiq Ismail diakui masyarakat secara luas. Karya puisi-puisinya, cukup menggugah dengan bahasa sehari-hari.
Menggugah karena topik dan isu yang diangkat seringkali merupakan 'aspirasi masyarakat' secara luas. Ia bicara soal tinju, korupsi, negeri yang memalukan, dan permasalahan aktual lainnya.
Imam B Prasodjo, seorang sosiolog Universitas Indonesia (UI) mempunyai catatan menarik terkhusus berjudul "Taufiq Ismail, Alam Kubur, dan Jejak Kehidupan".
Berikut petikan dari catatan Imam B Prasodjo:
Taufiq Ismail telah lama saya kenal. Mungkin sejak awal tahun 1970-an saat saya menginjak remaja. Beliau generasi ayah saya. Entah mengapa pagi ini, setelah shalat subuh, tiba tiba raut wajahnya membayang di muka saya. Oh, rupanya saya sedang mengingat puisi puisi beliau yang pernah saya baca beberapa tahun lalu.
Ketika bersujud di saat shalat subuh pada pagi hari, saya memang sering terbawa pada renungan perjalanan hidup, termasuk membayangkan kehidupan kelak sesudah mati.
Mengapa?
Dalam telinga saya, selalu terngiang ucapan almarhum ayah saya yang pernah berkata begini: "Semua orang tahu bahwa ia akan mati meninggalkan dunia. Namun, hanya sedikit saja orang yang sempat merenungi, dan mau menyempatkan diri memikirkan kematian". Mungkin ini yang membuat saya di pagi ini teringat serangkaian puisi Taufiq Ismail, khususnya puisi puisi alam kubur, alam sesudah mati.
Saat membaca puisi beliau, saya selalu terbayang wajahnya. Dalam ingatan dominan saya, wajah penyair Taufiq Ismail, selalu tampak segar. Gerak-geriknya cekatan dan bicaranya selalu bersemangat. Ada enerji yang selalu memancar kuat dari wajahnya. Saat membaca puisi di atas podium, suaranya terkadang menggebu. Namun, pada tahun 2024 ini, usia beliau telah mencapai 89 tahun.
Saat hari Idul Fitri beberapa bulan lalu, saya melihat ada perubahan. Sinar mata beliau sedikit meredup, walaupun saat berbicara, artikulasi tetap tajam. Tak dapat dipungkiri, kerut kulit di leher dan dahi sudah tampak jelas. Rambutnya yang dulu hitam tebal, kini menipis, berubah warna menjadi abu-abu. Tapi semua yang melekat pada tubuhnya, masih tetap asli, tidak ada yang palsu. Luar biasa.
Setelah shalat subuh pagi ini, saya tergerak bangkit berdiri dari bersimpuh di atas sajadah, mencoba mencari tumpukan file yang berisi tulisan tulisan lepas puisi Taufiq Ismail yang pernah saya kumpulkan. Saya cari lembaran lembaran puisi yang beliau tulis tahun tahun terakhir ini. Banyak sekali yang terkait dengan alam kubur. Salah satunya berjudul “Zikrul Maut.” Ada bait yang berbunyi: “Ajal tak mengukur umur. Ajal tidak memilih tempat. Kecil ya mati. Muda ya mati. Tua apalagi.”
Kemudian, dalam puisi “Teka-Teki Orang Mati” bait pembukanya berisi sederet pertanyaan: “Siapa dari kita berdua yang lebih dulu mati? Aku atau engkau? Ketika aku mati, datangkah engkau menjengukku? Kita tak pernah tahu. Tidak diberitahu.”
Membawa ke Alam Lain
Membaca puisi berisi kalimat kalimat semacam ini, mudah sekali membawa kita ke alam lain. Benar saja, dalam pikiran saya, tiba tiba muncul bayangan wajah almarhum dan almarhumah Bapak-Ibu. Demikian juga wajah Mas Prib, kakak kandung saya yang juga telah meninggal dunia. Saya larut membayangkan orang-orang terdekat yang kini telah lebih dahulu melintasi pintu kubur. Dengan spontan, kedua bibir saya bergerak mengucapkan doa tanpa sedikit pun terdengar suara: “Wahai Tuhanku, ampunilah aku dan kedua orang tuaku, serta kakakku. Sayangilah mereka seperti mereka menyayangiku di waktu kecil". Membaca puisi bertema alam baka, memudahkan kita merenungi alam kematian.
Saya kembali merenungi bait bait kalimat dalam puisi Taufiq Ismail berjudul “Titik-Titik Baris Puisi.” Dalam puisi itu, ia berpesan pada kedua cucunya: “Kepada cucu-cucuku berdua. Aidan dan Rania. Datuk berpesan kepada kalian. Ada titik-titik nanti pada waktunya perlu diisi dalam puisi ini. Datuk berangkat tak kembali lagi. Pada hari- tanggal- bulan- tahun-jam- menit- detik. Tuliskan di sini: .............. Kemudian doakanlah Datuk. Dengan sebaik-baiknya doa. Mintalah dituntun Unda, Papa dan Mama.”
Mata batin saya seperti diajak menelusuri alam baka melalui kata-kata. Tapi, segenap indra terasa belum sepenuhnya masuk. Hati terasa begitu tumpul, belum secara penuh merasakan alam ghaib yang dicoba disajikan. Namun, tiba-tiba jantung saya terasa berdebar saat hati terbentur puisi berjudul “Suara Dari Dalam Kubur.” Dalam puisi itu, terdengar suara seseorang memanggil dari dalam kubur: “Wahai kawan yang masih di atas tanah. Dan masih berkeliaran. Hai kawan yang sibuk. Dan memandang awan. Berhenti sebentar. Dan lihatlah tanah di bawah kakimu. Kelak dia akan mengenalmu.” Suara itu menggema, menciptakan suasana mistis. Saya pun tercekam membayangkan masa depan yang gelap, penuh misteri, membawa rasa was-was.
Bagi orang yang terbiasa dengan pandangan “positivistik,” apa yang menjadi pembicaraan ini pasti dianggap nonsense, karena semua realitas hanya dianggap ada bila dapat dilihat, didengar, dirasa dan diraba. Alam ghaib yang berada di luar indra hanyalah fiksi atau imaji tanpa fakta. Karena itu, pada lembaran buku akademis yang beredar saat ini, sangat jarang ada kajian dan pembahasan tentang alam kubur atau kehidupan sesudah mati, walaupun setiap orang tahu, suatu saat, semua yang hidup pasti akan mati.
Kematian, hari kiamat dan alam kubur, dianggap bagian wilayah metafisik (beyond nature) yang menjadi kajian masa lalu. Saat ini, pengetahuan yang dianggap “berguna” dan “mencerahkan” hanyalah pengetahuan yang bersumber pada fenomena alamiah (natural phenomena) yang kebenarannya terverisikasi berdasarkan metoda empiris (empirical methods). Dengan dominannya pandangan ini, ilmu pengetahuan nyaris menghilangkan semua bentuk “non-material sciences.” Akibatnya, manusia modern seringkali kehilangan pegangan dan merasa hampa dalam menghadapi kematian. Kehidupan sesudah mati menjadi seperti “black box” yang penuh misteri. Bait bait dalam puisi ini dapat menjadi bagian penting dalam mengisi kehampaan itu melalui makna-makna yang terkandung di dalamnya. Namun, untuk menyelami kandungan puisi semacam ini, mau tak mau kita harus menggunakan paradigma berbeda, yaitu “paradigma keimanan.” Alam kubur (demikian juga alam rahim dan alam akhirat) adalah bagian kehidupan ghaib (the unseen) yang keberadaannya hanya bisa “dilihat dan dirasakan” bila kita dianugrahi cahaya keimanan. Dan cahaya keimanan itu adalah cahaya yang datangnya dari Tuhan yang tak semua orang mendapatkannya. Dalam al-Quran, Surat An-Nuur ayat 35 disebutkan:
“Cahaya di atas cahaya, Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu” (An-Nuur 35).
Hanya dengan cahaya itu, mata hati seseorang akan mampu meyakini adanya kehidupan alam ghaib (alam kehidupan ruh, kehidupan jin dan syaitan, kehidupan di hari kiamat dan kehidupan alam kubur). Bahkan, manusia yang meyakini keberadaan alam ghaib inipun tak serta-merta mampu memahaminya. Dalam al-Quran, juga disebutkan: “Dia (Tuhan) mengetahui yang ghaib, tetapi Dia tidak memperlihatkan kepada siapa pun tentang ghaib itu. Kecuali kepada Rasul yang diridhoi-Nya, ... (Al Jin 26-27). “Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang gaib; tak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri…” (QS Al-An’am:59).
Betapapun kehidupan sesudah mati (alam ghaib) adalah bagian dari rahasia milik Tuhan, namun rasa keingin-tahuan manusia terhadap hal ini terus tumbuh, bahkan di kalangan ilmuwan modern pada saat ini. Walaupun kajian tentang kehidupan sesudah mati (life after death) bukanlah kajian utama para ilmuwan modern, namun tak sedikit dari mereka yang terus mencoba melakukannya.
Belum lama ini (2014), misalnya, sekelompok tim peneliti yang pimpinan Dr. Sam Parnia dari Stony Brook Medical Center, State University of New York, Amerika, melakukan penelitian terhadap 2.060 pasien pada 15 rumah sakit di UK, Amerika Serikat, dan Austria yang mengalami kasus “henti jantung” (cardiact arrest). Dari 2.060 pasien itu, ada 140 pasien yang memenuhi syarat untuk diinterview setelah mereka selamat dan “kembali hidup” setelah mengalami serangan cardiact arrest. Hasilnya, 46% dari mereka, menyatakan mengingat berbagai kejadian setelah mereka secara klinis dinyatakan mati.
Berbagai kejadian itu dapat dibagi ke dalam 7 tema, yaitu: rasa takut; hewan/tumbuh-tumbuhan; sinar terang; kekerasan/penyiksaan; deja-vu (menjumpai peristiwa yang seakan pernah dialami); keluarga; dan berbagai kejadian pasca cardiact arrest. Kemudian, 9% dari para responden diinterview itu juga mengingat apa yang disebut “near death experiences”, dan 2% responden memiliki kesadaran penuh mengingat berbagai kejadian yang secara jelas dapat mereka “lihat” dan “dengar” (mengalami apa yang disebut “out-of-body experiences.”)
Yang paling menarik, dalam studi ini adalah adanya seorang pasien berusia 57 tahun yang mampu menceriterakan secara akurat apa yang ia lihat dalam ruangan rumah sakit dalam interval waktu tertentu saat secara klinis ia sudah dinyatakan meninggal. Dr. Sam Parnia mengungkapkan kepada The Telegraph: “The man described everything that had happened in the room, but importantly, he heard two bleeps from a machine that makes a noise at three minute intervals. So we could time how long the experienced lasted for...He seemed very credible and everything that he said had happened to him had actually happened.” (Orang tersebut mengambarkan apa saja yang terjadi dalam ruang [rawat], dan yang terpenting, dia mendengar tanda suara dari mesin yang berbunyi setiap interval tiga menit. Jadi, kita dapat mengukur waktu berapa lama pengalaman [mengalami kejadian yang ia ingat] itu berlangsung...Dia terlihat sangat terpercaya dan apa saja yang ia katakan terjadi pada dirinya, pada kenyataannya memang terjadi).
Hasil studi ini menyimpulkan bahwa ketika pasien secara klinis telah dinyatakan meninggal (karena detak jantungnya telah terhenti dan tak terjadi pernafasan), ada indikasi terdapat bentuk “kesadaran” lain. “Otak” terlihat seperti masih bekerja, saat beberapa menit pasien dinyatakan “meninggal.” Ada kemampuan mengingat kejadian setelah “kematian”. Hasil studi ini memberikan pertanda bahwa ada “kehidupan” sesudah terjadinya kematian.
Tentu saja, hasil studi ini memicu perdebatan. Namun, apapun pandangan tentang ada tidaknya kehidupan setelah kematian, setiap orang dewasa umumnya mengerti bahwa perjalanan hidup di dunia ini, suatu saat akan berakhir dengan kematian. Persoalannya, “tahu tentang kematian” tidak sama dengan “siap menghadapi mati.” Bagi yang tidak siap, tak mustahil akan mengalami gangguan emosional termasuk rasa frustasi, gelisah, dan bahkan dipresi. Rasa percaya diri dalam menghadapi kehidupan mendatang, atau bersikap pasrah, berserah diri, dapat mengurangi terjadinya gangguan emosional saat menghadapi kematian.
Untuk itu, merenungi kehidupan secara cerdas sebelum datangnya kematian adalah bagian penting dalam mengasah kecerdasan spiritual (spiritual intelligence) kita. Semakin tinggi kecerdasan spiritual seseorang, semakin cerdas orang itu dalam menggali makna, nilai dan tujuan hidup yang tengah dijalani. Kesibukan yang begitu padat dan rutinitas dalam melakukan kegiatan sehari-hari (termasuk rutinitas dalam melakukan ritual ibadah), seringkali tak memberikan waktu pada kita untuk berkontemplasi. Padahal, kontemplasi adalah bagian penting dalam mengasah hati dan kalbu kita guna meningkatkan kualitas batin kita. Dalam kaitan inilah, merekam dan menghidupkan kembali kisah-kisah keteladanan hidup orang-orang yang sudah mendahului kita dapat menjadi alat penting dalam mengasah kecerdasan spiritual yang kita miliki. Kisah-kisah keteladanan hidup dapat menjadi acuan kita dalam mengisi kehidupan yang masih tersisa.
Kisah-kisah keteladanan hidup, ternyata terasa berbeda saat direkonstruksi melalui bait-bait puisi. Saya larut membaca kisah-kisah hidup yang tertuang dalam puisi Taufiq Ismail yang berjudul “Resepsi Baca Puisi di Balai Kota Rotterdam,” “Mengenang Pak Yuti dan Bu Tri,” “100 Baris Puisi Mengenang Sahabat Kita Rendra,” dan ”Mengenang Ibuku Menyiar di RRI Yogya, 1947.” Semua kisah kehidupan yang diceriterakan ini, adalah kisah keteladanan seseorang selama menjalani hidup sebelum mati. Rekonstruksi kisah keteladanan berfungsi sebagai pengingat agar langkah kehidupan selalu menapak di jalan yang penuh makna. Bagi saya, itulah mengapa puisi-puisi ini ditulis.
Kumpulan puisi Taufiq Ismail dalam tema ini, tak hanya bicara wilayah ghaib yang menjadi misteri. Ada beragam perilaku penyebab kematian sia-sia yang dicoba direkam. Melalui beberapa puisi seperti “Angka Masuk Kubur Tiap Hari,” “Indonesia Keranjang Sampah Nikotin,” “Perokok Adalah Serdadu Berani Mati,” dan “Bebaskan Bangsa dari Pembunuhan Asap Rokok!,” Taufiq Ismail berupaya menghentikan kedunguan perilaku yang banyak dipraktikkan di negeri ini. Demikian juga, melalui puisi “Lonceng Tinju,” “Kleng! Kleng!,” dan “Yang Menetes Yang Meleleh,” ia memprotes keras penyelenggaraan “olah raga tinju” yang ia anggap sebagai arena barbarik mengadu sesama manusia.
Saya membaca, kumpulan lembaran lembaran lepas puisi Taufiq Ismal ini jelas bagian dari pantulan reaksi dan refleksi Sang Penyair dalam menanggapi beragam peristiwa historis yang ia anggap penting dalam hidup, termasuk peristiwa politik yang sarat dengan pertempuran ideologi.
Jelas, Sang Penyair tidak hidup dalam ruang hampa, tetapi berinteraksi dengan beragam kejadian, pemikiran dan bahkan ideologi yang berkembang. Ini tercermin dalam puisi “Sebentar Lagi Sebentar Lagi,” “Hoax” dan juga “Mengenang Pak Yuti dan Bu Tri.” Karena itu, “text” yang tertuang dalam puisi, harus dibaca dengan melihat “context”-nya.
Saat kita membaca karya puisi Taufiq Ismail, terkadang kita dengan mudah dapat membaca sikap politiknya. Karena lembaran lembaran ini adalah kumpulan karya sastra berbentuk puisi, kompleksitas masalah yang digambarkan seringkali tereduksi dalam bait dan kata-kata singkat. Atau bahkan terlalu singkat. Pikiran dan rasa, mustahil dapat diungkapkan sempurna karena puisi memiliki keterbatasan dalam penggunaan kata. Akibatnya, pandangan penyair dalam merespon masalah sosial dan politik sering terasa hitam-putih dan simplistis.
Setuju atau tidak setuju, itulah bahasa puisi, di satu sisi mampu memberi benang merah pemikiran secara jelas dan indah, tapi di sisi lain memiliki banyak keterbatasan. Namun, terlepas dari persoalan ini, Sang Penyair sendiri adalah manusia biasa, yang memiliki kelebihan dan keterbatasan. Letupan emosi dan sikap politiknya juga sangat ditentukan oleh informasi yang ia terima. Dan informasi yang mengalir pada diri seseorang, termasuk pada dirinya, memang tak pernah sempurna. Bukankah begitu?
Sumber: aku fb #imam b prasodjo
Advertisement