Upaya Pedagang Pecel Semanggi Benowo Bertahan di Kota Surabaya
Jarum jam menunjuk pukul 05.30, ketika Laji mulai memanen semanggi di belakang rumahnya, Jumat 14 Februari 2020. Lahan seluas 200 meter itu, mampu menghasilkan 10 ember semanggi, cukup untuk kebutuhan berjualan pecel bagi istri Laji, Tatik Farika, selama dua hari. Kegiatan itu sudah dilakoni sejak tahun 2011, setelah sawah Laji tergusur pembangunan kota, di tahun 2006.
“Sekali panen bisa dapat sepuluh ember kecil semanggi. Itu cukup untuk dua hari," kata Laji, laki-laki berusia 43 tahun, Jumat 14 Februari 2020.
Di saat yang sama, Tatik Farika sedang menyiapkan kerupuk dan bumbu pecel semanggi di dapur rumahnya. Ada 200 kerupuk kacang yang digoreng sejak pukul 04.45, lima kilogram ketela rambat matang hasil rebusan, cabai blender yang siap pakai, dan setengah kilogram kacang dan gula merah. Kebutuhan itu jadi modal jualan Tatik di halaman Masjid Akbar Surabaya, untuk dua hari.
"Sabtu dan Minggu saya berjualan di Masjid Akbar. Lumayan, kalau ramai bisa untung Rp500 ribu," kata Tatik. Sebungkus pecelnya dihargai Rp 10 ribu.
Pagi itu, Tatik duduk lesehan di dapurnya. Ada Rika, anak perempuannya, membantu meracik bumbu pecel semanggi.
Sawah tergusur pembangunan
Berjualan pecel semanggi jadi upaya Tatik menambah pemasukan untuk keluarganya. Sedikitnya ada 100 pedagang pecel semanggi di lingkungannya. Pemkot Surabaya sendiri menjuluki wilayahnya sebagai Kampung Semanggi Benowo. "Karena produksi semanggi di sini terbanyak di Surabaya," kata Tatik.
Perempuan asli Surabaya itu mengingat, sebagian besar penduduk Kampung Semanggi awalnya adalah petani. Ia dan suaminya, memiliki sawah seluas 400 meter persegi. Lahan sepetak itu memenuhi kebutuhan pangannya, sejak 1996 hingga 2006.
Hasil Laji berjualan buah, cukup untuk menghidupi Tatik dan dua anaknya, selain padi, jagung, dan kacang, hasil panen dari sepetak sawah, untuk dikonsumsi sendiri.
Namun, tahun 2006, sawahnya hilang tergusur proyek Perumahan Bukit Palma Citraland Surabaya. Tak hanya Laji, banyak sawah milik warga Kampung Semanggi lainnya juga ikut tergusur. Pemborong membeli sawahnya dan milik warga lain yang terdampak. Saat itu, anak keduanya masih berusia 1 tahun.
Tahun bertambah, kebutuhan keluarganya juga meningkat. Sementara, tak ada lagi sawah untuk membantu pendapatan.
Perempuan berusia 42 tahun itu pun memutar otak menambah pemasukan keluarganya. Tahun 2011, ia mulai menjual pecel semanggi. Sebab, banyak tetangganya juga berjualan semanggi. Sayur semanggi didapat dari rumah orang tuanya, sedangkan daun pisang untuk pincuknya, dibeli dari pasar.
Pagi itu, ia berkisah. Tangannya sibuk memotong ketela rambat di dapur rumahnya, di RT 03/RW 07. Rumahnya berseberangan dengan musala nurul iman. Dindingnya bercat putih. Terparkir mobil merah Honda milik keluarga Tatik di halaman depan.
Kampung semanggi
Ia melanjutkan, tahun 2012 warga di kampungnya membentuk koperasi. Lembaga perekonomian kolektif di akar rumput itu pun bernama "Koperasi Kampung Semanggi", mengingat ada banyak warganya yang menanam tumbuhan itu.
Namun, butuh waktu lima tahun agar potensi Kampung Semanggi ditengok Pemkot Surabaya. Tahun 2017, pemkot memberikan pelatihan mengolah semanggi menjadi aneka bentuk pangan, seperti jus dan nugget, serta cara mencuci semanggi dengan bersih.
"Setelah acara selesai, ada warga yang mengadu untuk disahkan nama kampungnya. Akhirnya sama pemkot dikasih papan nama, ada perbaikan jalan dan dibangun taman”, ingat Tatik.
Beberapa bulan berselang, camat setempat meresmikan nama Kampung Semanggi. Hingga kini, kampung Tatik dikenal sebagai penghasil semanggi terbanyak di Surabaya.
Diobrak Satpol PP
Aktifitasnya mengolah bumbu dan menyiapkan barang dagangan, dilakukan saban Jumat. Hari Sabtu dan Minggu jadi agenda rutinnya mengais untung dari berjualan pecel semanggi di halaman Masjid Al Akbar.
Meski tak jarang, bukan untung yang diraih jika dagangan mereka diobrak Satpol PP.
Seperti minggu lalu, 8 Februari 2020. Di siang yang mendung itu, Tatik terkejut mendengarderu mesin truk milik Satpol PP datang mendekat.
Tak lama berselang, datang anggota Satpol berseragam hijau lengkap. Dengan hati bergetar dan tergopoh-gopoh, Tatik mengangkat seluruh jualannya sambil berlari meninggalkan posisi jualannya. Beruntung ia dibantu rekan jualannya.
“Akhir-akhir ini sering datang Satpol pp. Katanya agar tidak mengganggu jalan, hati saya bergetar dan kaget setiap mereka datang. Penjualannya sendiri turun 50%” terang Tatik.
Ia menambahkan, “Saya memilih duet berdua agar kalau diobrak saya mudah ngeringkesi dan pindah tempatnya. Nanti hasil jualan juga dibagi berdua”
Meski demikian, ketika diobrak ia dan rekannya hanya pindah lokasi. Jalan sekitar lima puluh meter bergeser ke arah depan Hotel Narita.
“Kalau diobrak pindah dikit depan hotel Narita atau bluebird. Nanti pindah ke Masjid lagi, kalau diobrak ya pindah ke depan hotel lagi” tutupnya sambil tertawa.
Advertisement