Tata Ruang Bijak ala Rumah Adat Bali
Oleh Iva Hasyim
Jika sedang berkelana di Bali, rumah adat khas pulau ini pasti akan menarik perhatian setiap orang. Termasuk saya sendiri yang tak pernah bosan, selalu ingin berpose dengan latar bangunan yang penuh dengan ornamen cantik dan memesona. Berangkat dari kekaguman itulah, rasanya kurang afdol jika saya hanya sekadar berfoto dan tidak mencari tahu lebih dalam tentang keunikan rumah adat Bali. Terutama dari sisi tata ruangnya, ada apa saja yang ada di balik penataan bangunan menurut adat Bali ini.
Tantangan untuk menulis tema kearifan lokal menjadi suatu kegelian tersendiri, menurut saya. Dengan mudah, segala yang berbau jaman dulu atau adat dianggap sebuah kearifan lokal atau local wisdom. Ini adalah sebuah simplicity yang sebenarnya tidak bisa hanya dipahami secara sederhana bila hanya berpijak pada unsur waktu. Dari yang saya pelajari, kearifan lokal adalah sebuah pandangan dari komunitas atau masyarakat di sebuah wilayah yang mungkin telah berlangsung dalam kurun waktu tertentu.
Pandangan masyarakat ini merupakan manifesto dari konteks pergumulan manusia sebagai makhluk sosial dengan sesama makhluk yang bernyawa, alam semesta, dan keyakinannya. Yang terpenting, kearifan lokal harus memiliki nilai-nilai luhur yang seharusnya dirawat karena nilai inilah yang dapat mengajarkan sisi-sisi humanisme yang sering terlupakan.
Tri Hita Karana
Saya mencoba menggali lebih dalam tentang rumah adat bali. Sebuah konsep masyarakat luas yang menjadi faktor mencapai kebahagiaan (Wiana,2007:5) yang terdiri dari tiga penyebab, yakni harmonisasi manusia dengan Tuhan, sesama manusia, dan alam lingkungan.
Istilah ilmu tata cara untuk penempatan bangunan rumah adat Bali disebut Asta Kosala Kosali. Tata ruang yang bijak menurut arsitektur adat Bali atau Asta Kosala Kosali harus mempunyai filosofi Tri Hita Karana, yang artinya bagaimana manusia mencapai sebuah kebahagian yang paripurna dalam kehidupannya. Falsafah ini bagus diterapkan pada seluruh sendi kehidupan, tidak hanya pada aturan dalam membangun rumah. Adanya harmonisasi dari 3 aspek: Palemahan, yang merupakan hubungan manusia dengan alam semesta; Pawongan, sebagai relasi manusia dengan manusia; dan Parahyangan, sebagai relasi vertikal manusia dan Sang Pencipta.
Lebih tepatnya, Tri Hita Karana adalah sebuah ajaran bagaimana membangun hubungan harmonis antara tiga elemen penting yang ada di kehidupan manusia. Ajaran inilah yang diintegrasikan oleh para arsitektur adat Bali pada model tata ruang pembangunan fisik, terutama rumah pada tahapan perencanaan, pembangunan, dan perawatannya.
Ornamen-ornamen bernilai seni yang ada hampir di setiap rumah akan memanjakan mata kita, meski bentuk dan kualitas bahan mengikuti kelas sosial si empunya. Tiga makna yang penuh filosofi ini dapat dijumpai pada bagian-bagian rumah adat di Bali.
Setidaknya ada 8 bagian rumah adat Bali yaitu Angkul-angkul, Aling-aling, Pura Keluarga, Bale Dauh, Bale Gede, Bale Manten, Pawarengan, dan Jineng. Seluruh bagian ini terbagi mulai dari gerbang masuk sampai paling belakang rumah.
Angkul-Angkul
Angkul-angkul yang berfungsi sebagai gerbang pintu masuk rumah. Menurut masyarakat Bali, sebutan lain dari gerbang pintu keluar masuk rumah ini adalah kori. Ciri khas dari kori mirip dengan gapura yang diberi ornamen ukiran khas Bali.
Secara bentuk, angkul-angkul atau kori tidak memiliki pakem tertentu untuk ukuran lebar dan ketinggian karena menyesuaikan dengan kebutuhan si pemilik rumah. Ada kori yang mempunyai anak tangga, ada juga yang tidak, tergantung kebutuhan. Zaman dulu kori selebar 2 orang dewasa atau sekitar 50-100 meter banyak dijumpai, tetapi saat ini bisa berukuran lebar satu mobil.
Ada 3 aspek makna yang kita bisa pelajari dari gerbang angkul-angkul, yaitu:
1. Keamanan, yang tentu saja adalah tujuan normatif seperti lumrahnya gerbang-gerbang atau pagar pintu rumah lainnya. Uniknya pada rumah adat Bali biasanya ada simbol yang disebut apit lawang dengan ditandai patung Druapala yang menyerupai raksasa dengan membawa senjata/gada.
2. Estetika, yang merupakan manifestasi dari identitas sosial ekonomi dari si empunya rumah. Semakin tinggi kasta akan semakin mewah, dilihat dari ukiran dan bahan yang digunakan untuk membangun kori. Sedangkan pintu gerbang sebuah tempat agama atau pura yang disebut dengan kori agung akan berbeda dengan rumah biasa.
3. Magis. Yang menarik dan berbeda dengan gerbang-gerbang lain, makna ini menunjukkan angkul-angkul tidak boleh dibangun sembarangan. Setiap pembangunan harus berkonsultasi dengan pemangku adat untuk menentukan kesesuaian dengan arah mata angin. Masyarakat Bali mempercayai bahwa pintu gerbang yang tertutup akan dapat menghindari hal-hal tidak baik masuk ke rumah, termasuk kekuatan-kekuatan gaib.
Gerbang atau angkul-angkul atau kori dapat memggambarkan rupa atau wajah yang mudah dilihat oleh siapa pun. Kearifan yang bisa diambil menurut saya adalah adanya dua poin penting, yaitu kejujuran dan konsistensi. Kejujuran bisa diartikan demikian: jika wajah yang ditampakkan menarik, semakin ke dalam akan demikian adanya. Sedangkan konsistensi dilihat dari adanya model gapura atau angkul-angkul yang dapat disesuaikan dengan kondisi kemampuan ekonomi pemilik rumah, jadi tidak perlu mengada-ada.
Kompleks Mini
Sudah dua sore berturut-turut, saya dan kawan-kawan mendapatkan berkah karena dijamu makan malam di sebuah rumah adat Bali. Kebetulan pemiliknya adalah sahabat-sahabat perempuan yang aktif dalam menyuarakan situasi perempuan dalam budaya Bali. Kedua sahabat saya ini sama-sama dipersunting oleh lelaki Bali berkasta Brahmana.
Dari kunjungan dua malam inilah, saya menikmati sekali tata ruang kompleks mini mereka. Saya mengamati bagian-bagian rumah yang ada sisi dalam pagar. Ruangan-ruangan yang ada sangat menarik karena tidak terkumpul dalam satu atap.
Mulai dengan bangunan yang ditunjuk sebagai bangunan suci. Bangunan yang digunakan sebagai tempat untuk memuja Tuhan Hyang Widhi ini disebut dengan Pura Keluarga. Letak bangunan ini biasanya di pojok sebelah timur lahan.
Teman saya bercerita bahwa orang Bali lebih sering menemui tamu di luar bangunan keluarga, di bangunan yang disebut dengan bale dauh. Bangunan ini biasanya dibangun di bagian barat dengan bentuk menyerupai joglo yang disangga oleh beberapa pilar. Nyaman sekali berada di sana karena dikelilingi oleh taman dengan berbagai tanaman, termasuk pohon Kamboja. Bale dauh ini juga berfungsi sebagai tempat tidur anak laki-laki remaja. Bisa dikatakan bangunan ini berfungsi sebagai ruang tamu bila pemilik berasal dari kasta atas. Bale dauh bisa juga berfungsi sebagai bale gede yang dapat digunakan sebagai tempat berkumpul untuk merayakan perhelatan adat.
Kemudian ada kamar manten atau bale daja yang menghadap ke sebelah utara dengan jendela di sebelah timur. Tujuan penataan ini adalah agar sinar matahari bisa masuk sehingga banyak mengantarkan vitamin D di pagi hari. Selain berfungsi sebagai kamar tidur, bangunan ini juga berfungsi sebagai kamar pengantin baru.
Dari tata ruang bangunan di atas, tergambar adanya hubungan manusia dan manusia lain dalam segala aktivitasnya, termasuk aktivitas internal keluarga pemilik dan aktivitas lain bersama orang lain yang tak memiliki hubungan keluarga.
Komplek mini ini dijadikan acuan oleh kedua sahabat saya dalam membangun hunian rumahnya. Yang membuat saya kagum, rumah seluas 13 are ini hanya dihuni oleh dua orang yang sudah lanjut usia dan dua ekor anjing. Ada juga seorang pekerja rumah tangga yang pulang setiap sore menemani mereka di sana. Mereka mengakui bahwa biaya perawatan rumah itu cukup tinggi. Mereka pun mengakui bahwa rumah itu terlalu besar untuk dua orang lansia, sementara anak-anak mereka sudah memilih tinggal di Eropa.
Pawaregen dan Jineng
Dalam penataan ruangan di rumah adat Bali, ada yang dinamakan paon atau pawaregen, yang artinya dapur dan lumbung tempat menyimpan bahan makanan. Bahan makanan yang disimpan masih merupakan hasil bumi seperti padi, jagung, atau beras. Lokasinya berdekatan dengan tempat penyimpanan gabah yang sudah dijemur, yang disebut jineng atau klumpu.
Dapur sendiri juga terbagi menjadi 2 bagian, terbuka dan tertutup. Dapur terbuka digunakan untuk memasak dan yang tertutup menjadi tempat penyimpanan makanan yang sudah dimasak. Tata letak dapur atau paon ada di bagian belakang, biasanya di bagian barat laut atau selatan. Selain itu, juga bisa diletakkan di samping barat pintu masuk rumah karena dianggap sebagai kediaman dewa api yang akan membantu proses masak-memasak yang selalu membutuhkan api.
Sedangkan lumbung atau sumur diletakkan di sebelah timur pintu masuk karena sesuai dengan kekuasaan dewa air. Maknanya adalah agar sumbernya terus lancar dan tidak mampet. Meskipun bagian dapur atau lumbung terletak di belakang, tetapi penataan dan nilai-nilainya tetap luhur dan penuh dengan filosofi. Hal ini sangat berbeda dengan kiasan dari kata dapur yang sering diartikan sebagai kondisi yang tersembunyi maka tak perlu indah, sehingga dianggap harus terletak di belakang dan tak terlihat. Namun, untuk tata ruang Bali, makna negatif tentang dapur tadi tidak berlaku.
Bangunan dan Lingkungannya
Selain bagian yang mewakili arsitektur bangunan fisik, rumah-rumah adat di Bali selalu dihiasi oleh pohon Kamboja. Pohon yang eksotik dengan bunga-bunga yang berbeda warna. Kepentingan menghadirkan pohon Kamboja adalah selain untuk mempercantik juga sekaligus sebagai pendukung sarana beribadah bagi umat Hindu. Bunga Kamboja yang mekar di bulan purnama dianggap sebagai sebuah pencerahan dan menjadi sarinya alam sehingga akan membawa kebaikan. Tata bangunan yang khas dan saling terhubung juga pemilihan tanaman yang khas merupakan kearifan lokal yang masih banyak ditemui di kawasan pemukiman di Bali.
Filosofi Tri Hita Karana harus dirawat dan diwariskan sampai kapan pun, meskipun tidak harus berupa rumah adat Bali. Lebih jauh lagi, prinsip ini akan membuat kehidupan menjadi lebih baik bila diterapkan dalam semua segi kehidupan. [WR-ed]
Advertisement