Tata Krama Politik yang Ambruk, Halim HD: Partai dan Re-Publik
"Partai yang selama ini telah menjadi alat bagi pemilik dan pengelola kapital, serta partai telah menjadi kumpulan orang orang yang hanya berpikir mengelola proyek untu dirinya sendirinya."
Seorang networker kebudayaan, tak sekadar bicara soal kesenian. Halim HD, penulis yang tinggal di Solo, mencoba memberikan refleksi atas perayaan demokrasi yang telah berlangsung di Indonesia.
Khusus untuk ngopibareng.id, Halim HD kali ini menulis tentang "Partai dan Re-Publik" yang mendedahkan ihwal tata krama dalam politik di negeri ini yang telah ambrool alias jebol. Begini lengkapnya:
Kenapa Sulawesi Selatan (Sulsel) yang dianggap lumbung Partai Golkar tidak mampu mendongkrak Nurdin Halid (NH) ke kursi gubernur? Kenapa pula 10 (baca: sepuluh!) partai pengusung pasangan Appi-Cicu, calon walkot Makassar bisa dikalahkan oleh Kolo Kosong (KOKO)?
Ada apa dengan kehidupan partai di Sulsel dan Makassar? Kemenangan KOKO dan kegagalan NH bisa menjadi bahan renungan dan bisa menjadi cermin untuk berkaca dan melakukan otokritik serta introspeksi.
Partai partai memang harus lebih tahu diri dan menyadari eksistensi dirinya yang bukan hanya rapuh, tapi lebih daripada itu, mengalami krisis berat, degradasi citra secara akut.
Partai yang selama ini telah menjadi alat bagi pemilik dan pengelola kapital, serta partai telah menjadi kumpulan orang orang yang hanya berpikir mengelola proyek untu dirinya sendirinya. Didalam partai itulah suara warga hanya dijadikan barang perdagangan atas nama wishfull thinking.
"Dampak dari kondisi partai yang kian membusuk ini berakibat kepada cara cara partai yang tidak peka kepada aspirasi warga, sama sekali tidak mendengarkan kata hati nurani."
Dari cara-cara partai juga kita mengetahui bagaimana jual beli posisi, dan bagaimana mahar politik menjadi sesuatu yang lazim. Dari kehidupan partai kita menyaksikan ketiadaan fatsoen politik, ambroolnya tata krama kehidupan, nilai tidak lagi bermakna, dan nilai berganti dengan angka demi ambisi.
Saya yakin bahwa sesungguhnya ada orang partai yang menyadari kondisi ini. Tapi segelintir orang yang eling, sadar, hanyalah sepercik buih di antara jutaan gelembung racun politik yang sudah memasuki rongga tubuh politisi dan memenuhi ruang ruang kehidupan mereka.
Dampak dari kondisi partai yang kian membusuk ini berakibat kepada cara cara partai yang tidak peka kepada aspirasi warga, sama sekali tidak mendengarkan kata hati nurani.
Masalahnya, bagaimanakah mengembalikan enerji murni partai agar warga bisa dengan semangat penuh kenikmatan mencecap enerji itu, menyatukan diri sebagai bagian dari proses demokratisasi dan pembaharuan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Pertanyaan itu hanya bisa dijawab oleh mereka yang memiliki spirit revolusioner, spirit yang mampu dan bisa membongkar struktur kehidupan politik yang telah membusuk. Spirit revolusioner itu mesti diwujudkan dalam kehidupan politik yang didasarkan kepada etika dengan iringan cita-cita untuk meraih kehidupan berbangsa yang adil.
Pada sisi yang lain, partai harus mengembalikan dirinya kepada habitat politik profesional melalui sistem kaderisasi yang otentik n genuine, bukan asal comot karena ada sejumlah tumpukan angka. Selama ini partai gagal dalam kaderisasi karena penetrasi kapital dan feodalisme-dinasti serta intrik faksi-faksi yang berakibat terciptanya kanibalisme politik.
Bukankah kegagalan NH juga diakibatkan kanibalisme politik yang akhirnya menjadi bumerang dirinya?
Mengembalikan posisi dan kondisi partai yang berakar kedalam aspirasi bukanlah perkara gampang. Proses ini harus dilalui dalam jangka panjang n dengan menunjukan watak dan martabat politisi dalam wujud pengabdian kepada warga.
Jika partai tidak mampu merevolusi dirinya, maka roda sejarah akan menggilasnya melalui wujud gerakan warga seperti bentuk KOKO atau Golput. Dan hal itu artinya partai menuju tubir jurang kehidupan, dan akan akan dikutuk oleh berbagai generasi sebagai lobang hitam pembusukan. (HHD)
Advertisement